Pesan Dari Konsumen

Asuransi

Bank

Telepon & Ponsel

Perjalanan

Mobil & Motor

Toko & Restoran

Properti & Hotel

Jasa Pengiriman

Penerbangan

Elektronik

Listrik & Air

Kesehatan

Ragam Pesan

 

SITUS MITRA

Daftar Alamat

Punya Masalah?

Logo Bisnis

Biografi Anda

Pustaka eBook

Kliping Media

Mailing List

Kliping Surat Pembaca Dari Berbagai Media Massa

 

 

Penerbangan (8)

1| 2| 3| 4| 5| 6| 7| 8| 9

 

Merpati Nusantara Mengecewakan

Tanggal 1 Juni 2003, kami (rombongan) melakukan perjalanan dengan rute Belitung-Jakarta dengan menggunakan pesawat Merpati.

Sebelumnya kami berencana membeli tiket pergi pulang dari Jakarta-Belitung-Jakarta, namun menurut travel agent kami yang di Jakarta, kondisi seat Belitung-Jakarta penuh. Menurut salah seorang staf travel agent kami ini, biasanya kalau langsung booking dari Belitung untuk rute Belitung-Jakarta bisa dapat seat. Akhirnya kami meminta staf tersebut untuk melakukan hal itu, dan ternyata kalau langsung booking ke Belitung bisa dapat seat, tetapi dengan perbedaan harga tiket yang lebih mahal. Bila beli di Jakarta, travel ini memberi harga tiket untuk Belitung-Jakarta Rp. 325.000, namun harga tiket yang kami peroleh dari Belitung adalah Rp 391.000.

Kemudian kami disarankan untuk membeli tiket tersebut langsung di Kantor Merpati ketika kami sampai di Belitung, dengan membawa catatan yang menyatakan reservasi Belitung- Jakarta kami sudah OK.

Ada beberapa hal yang membuat kami tidak nyaman, yaitu (1) mengapa harus langsung booking ke Belitung baru bisa dapat seat, sedangkan di Jakarta kondisinya penuh? Padahal, reservasi Merpati dikatakan online. (2) Mengapa perbedaan harga bisa sedemikian besar antara Jakarta dan Belitung? (3) Kami tidak merasa aman dengan membawa hanya secarik kertas tanpa konfirmasi reservasi yang semestinya.

Kami harap pihak Merpati dapat memberi penjelasan mengenai hal di atas. 


Berlarut, Urusan Bagasi Lion

Karena ada tugas dari perusahaan, saya harus ke Jakarta untuk mengikuti pelatihan. Sangat gembira akan bertemu dengan teman-teman, tetapi bukan kegembiraan yang ada, malah kesedihan. Saya berangkat dari Batam (2/8/2003) dan sesampainya di Bandara Cengkareng, travel bag saya tidak ada di bagasi. Oleh Bapak Wildan, saya ditanyai dan dibuatkan laporan kehilangan barang dan diberikan dana Rp 400.000 untuk pembelian kebutuhan pelatihan keesokan harinya.

Tanggal 5 Agustus, saya kembali ke Batam dengan menggunakan Lion Air juga. Sebelum berangkat, saya telah memberikan data barang dan harga kepada salah seorang petugas berseragam yang juga menangani kasus saya, dan beliau mengatakan masa cari 1,5 bulan.

Setelah 1,5 bulan, saya mencoba menanyakan dan ternyata masih belum ditemukan. Bapak Wildan mengatakan, masa cari adalah tiga bulan. Namun, sudah tiga bulan berlalu, tetap saja barang-barang belum ditemukan, dan oleh Bapak Wildan kasus saya sudah diserahkan ke Ibu Lili di Bagage Training Centre dan meminta kembali data barang serta harga barang yang hilang.

Klaim dilanjutkan ke Ibu Kenny dan sudah disepakati proses klaim dana barang yang hilang akan sudah saya terima melalui transfer bank tanggal 24 Desember 2003. Tanggal 24 Desember 2003, dana tidak ada yang masuk. Ibu Kenny, setelah dikonfirmasi, sedang cuti.

Oleh Ibu Lia, klaim tersebut juga tidak terselesaikan sampai saat ini, padahal sudah lebih dari enam bulan, kabar penggantian barang saya yang hilang tidak ada. Oleh sebab itu, saya minta kepada pihak Lion Air tolong segera mungkin klaim barang saya diselesaikan, gunakan limit waktu yang baik agar pelanggan tidak kecewa, bahkan sampai marah, karena pihak Lion terlalu lambat dalam menyelesaikan masalah.

Tolong kasus kehilangan barang jangan sepertinya didiamkan. Itu hak kami. Jadi, jangan pelanggan yang sudah kena musibah tertimpa tangga lagi karena harus menghubungi pihak Lion Air untuk menanyakan status barang dan klaim barang, apalagi harus interlokal.


Koper Hilang di Bagasi MAS

Saya ikut dalam rombongan Expo Indonesia di Namibia (Afrika). Perjalanan dari Jakarta (21/6) yang diatur Tima Travel menuju Kuala Lumpur menggunakan pesawat Malaysia Airlines (MAS) dengan nomor penerbangan MH 0722. Perjalanan dengan MAS mengecewakan karena sampai 24 Juni atau tiga hari setelah tiba di Windhoek, ibu kota Namibia, koper saya yang berisi pakaian dan perlengkapan kerja tidak ditemukan. Kisah hilangnya koper itu berawal ketika akan memasuki pesawat di Bandara Soekarno- Hatta. Saat itu, kru kabin MAS mengatakan bahwa koper saya terlalu besar dan kemudian mengarahkan untuk memasukkan ke dalam bagasi. Saya memperoleh slip bukti bagasi MH H 288069.

Ketika turun di Bandara Kuala Lumpur, saat ditanyakan kepada kru pesawat tentang koper tersebut, kru itu menjelaskan, turun saja dulu nanti bisa dicek melalui petugas di darat dalam lingkungan bandara. Setidaknya saya dua kali menanyakan keberadaan koper kepada petugas MAS di lingkungan Bandara Kuala Lumpur. Setelah dicek, diperoleh jawaban, koper sudah ditangani dan akan diteruskan hingga Windhoek, Namibia. Dan, pengecekan masih dilakukan di pintu terakhir sebelum memasuki pesawat di Kuala Lumpur.

Setelah mengutak-atik komputer, petugas dengan nada yakin menjelaskan, koper dengan slip bernomor sama sudah dinaikkan ke pesawat yang akan terbang ke Namibia setelah singgah di Johannesburg (Afsel). Namun, setiba di Windhoek, Namibia, ternyata koper saya tidak terangkut. Berbagai upaya pencarian yang melibatkan staf KBRI di Windhoek, Namibia, hingga 24 Juni 2003 belum juga membuahkan hasil. Diharapkan tanggung jawab MAS bersama Tima Travel atas kasus ini.


Lion Air Tidak Jujur

Saya terbang ke Surabaya dengan pesawat Lion Air (4/8). Karena pergi bersama bayi (16 bulan), maka saya memesan tiket kelas bisnis, dan mendapatkan tiket kelas "L" (menurut agen perjalanan, kelas "L" merupakan kelas kedua termahal). Sementara untuk kelas "Y" (termahal) sudah penuh. Namun, saya menjadi bingung, ketika naik ke pesawat, tempat duduk yang ada semuanya adalah kelas ekonomi, tidak ada kursi bisnis seperti penerbangan lain. Pada waktu itu saya menunggu, barangkali ada servis yang berbeda, namun ternyata tidak.

Jika penerbangan tersebut adalah untuk kelas ekonomi seluruhnya, untuk apa menjual tiket dengan harga berbeda? Bukankah ini merupakan semacam penipuan? Bagaimana dengan gembar-gembor Lion Air selama ini dengan promosi "harga jujur"? Satu hal lagi. Setahu saya, infant seat belt harus diberikan langsung oleh pramugari kepada penumpang yang membawa bayi. Namun, dalam penerbangan ini, anehnya saya harus meminta terlebih dahulu, baru diberikan.


Nomor Kursi Sama Garuda

Saya dan dua rekan bermaksud menghadiri sebuah pertemuan penting yang berlangsung di Nusa Dua, Bali, tanggal 16 Agustus pukul 13.00. Jauh hari sebelumnya, 20 Juli, kami melakukan booking tiket pesawat Garuda Indonesia melalui kantor pusat Garuda (telepon 23519999). Mendapatkan status confirmed dengan nomor booking QM8FIU dengan pesawat GA 406 yang akan berangkat tanggal 16 Agustus pukul 10.40. Tanggal 5 Agustus, kami melakukan pembelian tiket di kantor Garuda di Gedung Dharmala Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Setelah tiket di tangan, kami merasa yakin tidak ada hambatan dalam keberangkatan. Pada hari keberangkatan, 16 Agustus, kami tiba di Bandara Soekarno-Hatta pukul 09.00, langsung check in di counter Garuda Indonesia, mendapatkan boarding pass, masing-masing dengan nomor tempat duduk 14A, 14B, dan 14C.

Dengan adanya boarding pass merasa yakin tak ada hambatan dalam keberangkatan. Sekitar pukul 10.00, penumpang dipersilakan naik ke pesawat. Kami masuk dengan tertib dan menempati tempat duduk masing-masing. Pada saat itu, ada tiga penumpang lain yang memegang boarding pass dengan nomor duduk yang sama, yakni 14A, 14B dan 14C. Terjadi ketegangan, dan kami berenam dipersilakan menunggu sambil berdiri di dalam pesawat dalam waktu cukup lama. Klimaksnya, kami bertiga diharuskan turun dari pesawat, tanpa alasan jelas.

Kejadian ini amat merugikan, karena kami merasa dipermalukan di depan umum, seolah-olah merupakan penumpang liar dengan tiket palsu. Padahal, kami telah melakukan semua prosedur sesuai standar penerbangan.

Kemudian kami harus menunggu untuk diberangkatkan pada penerbangan berikutnya, yang menyebabkan tidak dapat menghadiri pertemuan penting yang telah dirancang dengan baik sejak jauh hari. Meski pada saat itu petugas Bandara mewakili pihak Garuda Indonesia telah mengakui bahwa kesalahan ada pada mereka, namun hal itu tak dapat menghilangkan kerugian moral dan material.

Kami tidak bisa mengerti maskapai penerbangan sekelas Garuda Indonesia menangani penumpang secara tidak profesional. Kami trauma menggunakan pesawat yang bermotto "kini lebih baik", dan ternyata melakukan kesalahan "konyol" dan fatal.


Tiket di "Cancel" Merpati Jakarta

Tanggal 4 Juli, saya membeli tiket Merpati Surabaya-Kupang (pp) untuk tanggal 16 Juli, di Kantor Merpati Jalan Angkasa, Jakarta. Tiket dibayar tunai dengan status OK, dan oleh petugas saat membayar saya diminta melakukan konfirmasi ulang tanggal 15 Juli ke Merpati Surabaya. Tanggal 14 Juli siang, saya ditelepon petugas Merpati Jakarta menanyakan, kepastian keberangkatan dan saya jawab sudah dalam perjalanan ke Surabaya, dan diminta melapor kembali di Merpati Surabaya. 

Namun, yang terjadi tanggal 15 Juli, saat saya konfirmasi ulang di Surabaya, ternyata tiket sudah di-cancel oleh petugas Merpati Jakarta. Tidak tahu alasan apa, Merpati Jakarta melakukan hal itu terhadap tiket saya. Ketika saya ngotot bahwa tiket berstatus OK, lalu oleh Merpati Surabaya diminta untuk menunggu. Sambil menunggu, saya interlokal ke Merpati Jakarta dan dijawab, tetap di-cancel tanpa memberikan alasan, meski didesak berkali-kali. 

Akhirnya oleh Merpati Surabaya diusahakan menjadi status OK kembali (dilakukan oleh Ibu Linda). Kepada manajemen Merpati, itulah citra Merpati dengan Get the feeling-nya. Dapatkah manajemen mengadakan penertiban untuk perbaikan citra? Sunarso Pabuaran Indah Blok J1 No 9 Cibinong, Bogor 16916 Tikus di Studio 21 Blok M 

Hari Senin (29/7) saya dan teman-teman nonton hemat di Studio 21 (theater 3-film Minority Report) Blok M Plaza, Jakarta Selatan. Di bangku sejajar G (dekat dinding sebelah kanan), saat pertengahan film, ada tikus yang akan turun dari sisi atas dinding sekitar dua baris di depan. 

Sejak melihat tikus itu konsentrasi saya dan teman-teman menjadi terganggu, karena takut tikus itu akan turun dan berjalan di antara kaki. Tapi beruntung, hingga akhir film tidak ada tanda-tanda tikus itu akan turun ke lantai, sehingga kami merasa tenang kembali. Apakah kebersihan gedung bioskop tidak diperhatikan oleh pengelola?


Penumpang Anak di Garuda

Saya mengantarkan anak bernama Luvi berusia delapan tahun, Minggu 29 Juni, ke Bandara Soekarno-Hatta untuk tujuan ke Palembang dengan pesawat Garuda (GA 112) pukul 10.20. Ketika waktu menunjukkan pukul 09.40, pengumuman boarding dan kami meninggalkan bandara dengan tenang.

Tetapi, betapa terkejutnya saya ketika mengetahui pesawat di-delay dan anak perempuan saya menunggu sendirian di ruang tunggu dengan alasan pesawat mengalami kerusakan pada salah satu jendelanya.

Akhirnya putri saya berangkat pukul 14.10. Dapat dibayangkan betapa khawatirnya saya, sedangkan pihak Garuda tidak dapat berbuat apa-apa. Disayangkan perusahaan penerbangan sekaliber Garuda mempertontonkan kualitas servis seperti itu, barangkali lain kali lebih baik naik bus saja. Hal tersebut merupakan promosi buruk untuk Garuda Indonesia.


Bagasi di Batavia Air

Kami sekeluarga penumpang Batavia Air penerbangan Padang-Jakarta (7P582) pada tanggal 29 November 2003. Berangkat dari Padang seharusnya pukul 12.50, ditunda menjadi pukul 13.30, tiba di Jakarta pukul 15.00. Saat mengambil bagasi, ternyata koper pecah dan tidak bisa dipakai lagi. Padahal, waktu check in koper masih baik. Pecahnya koper mungkin dibanting atau ditindih barang yang lebih berat. Pada label nomor bagasi terdapat tulisan "tas pecah" yang saya tidak tahu maksudnya.

Pelayanan Batavia Air mengecewakan. Seharusnya Batavia Air menjaga barang penumpang tetap baik, tidak rusak, meski pada musim liburan panjang seperti sekarang. Jangan sampai peak season dijadikan alasan bekerja seenaknya.


Keselamatan Penumpang Garuda

Tanggal 15 sampai 18 Mei 2003, saya, suami, dan anak (5 tahun) berlibur ke Yogyakarta dengan menggunakan Garuda Indonesia (GA) Jakarta-Yogya pp. Reservasi dilakukan secara langsung ke Garuda 24 jam di (021) 23519999 dengan kode booking QD6CN4. Karena membawa anak lima tahun, pada saat reservasi saya minta dibookingkan nomor tempat duduk terdepan untuk kemudahan naik/turun pesawat. Pihak reservasi memberikan tempat duduk Nomor 10 D/E/F untuk penerbangan (GA 2062, 15 Mei). Sehari sebelum keberangkatan, melakukan city check-in di Kantor Garuda Hotel Indonesia, dan boarding pass dengan sudah di tangan sejak 14 Mei sore. Pada hari keberangkatan, kami lapor kembali di counter check-in Bandara Soekarno- Hatta sambil memasukkan bagasi dan berjalan lancar.

Akan tetapi, saat sampai di atas pesawat, kami mendapati tempat duduk Nomor 10 D/E/F posisinya di sebelah emergency exit pesawat, berarti anak kecil dilarang duduk di tempat itu. Oleh awak kabin kami dipindahkan ke tempat duduk Nomor 12 D/E/F. Kami tidak berargumentasi untuk hal itu, karena prosedur tersebut perlu dilakukan untuk keselamatan penumpang. Ternyata di tempat duduk Nomor 10 A/B/C ada seorang anak kecil lainnya (beserta dua orang dewasa), dan mereka pun akhirnya diminta mundur beberapa tempat duduk ke belakang oleh awak kabin. Untuk kasus kami, bagaimana bisa dari 30 orang staf GA (bagian reservasi, city check-in, dan counter check-in) tidak ada seorang pun yang mengerti bahwa tempat duduk di sebelah emergency exit dilarang untuk anak kecil. Atau staf GA tersebut sebetulnya mengerti prosedur keselamatan yang ada, hanya saja mereka memang tidak peduli dengan keselamatan penumpang.


Pemotongan Tiket oleh SQ

Pemberangkatan anak kami (Anggi Marhot Steuanus Sagala) dengan Singapore Airlines ke Melbourne (27/12/02) dibatalkan. Tiket Singapore Airlines (SQ) yang dikeluarkan oleh PT Hudaya Safari Travel (No Tiket 6183641 227 644), tidak dibayar ganti rugi, malah dipotong lagi sebesar 44 dollar AS, dengan rincian biaya void ticket (30 dollar AS), secure tax ticket (7 dollar AS), dan biaya administrasi tiket (7 dollar AS). Sisa harga tiket sebesar 626 dollar AS, diterima tanggal 24 Februari 2003, yang berarti ditahan selama 59 hari.

Padahal, anak kami sekitar dua jam sebelum keberangkatan, telah melapor. Hak kami sebagai konsumen Singapore Airlines benar-benar dirugikan. Padahal selama ini kami mengetahui, bahwa manajemen Singapore Airlines cukup bagus dan peduli terhadap konsumennya. Tapi kenyataannya, hal seperti tersebut yang terjadi. Mohon perhatian dan tanggung jawab SQ atas hak konsumen.


 

Sumber Kliping: Kompas - Media Indonesia - Suara Pembaruan - Republika - Suara Karya - TEMPO interaktif - Gatra - Kompas Cyber Media - Bisnis Indonesia

Bahan Kliping: Forum Pemerhati Masalah Konsumen

 

 

1
Hosted by www.Geocities.ws