Pesan Dari Konsumen

Asuransi

Bank

Telepon & Ponsel

Perjalanan

Mobil & Motor

Toko & Restoran

Properti & Hotel

Jasa Pengiriman

Penerbangan

Elektronik

Listrik & Air

Kesehatan

Ragam Pesan

 

SITUS MITRA

Daftar Alamat

Punya Masalah?

Logo Bisnis

Biografi Anda

Pustaka eBook

Kliping Media

Mailing List

Kliping Surat Pembaca Dari Berbagai Media Massa

 

 

Penerbangan (7)

1| 2| 3| 4| 5| 6| 7| 8| 9

 

Menunggu "Refund" Garuda

Tanggal 5 April 2001 saya beserta rekan kerja mendapat tugas kantor pergi dari Jakarta ke Batam. Tiket saya dari BTM- JKT dan JKT-DPS (PP) tertinggal di restoran hotel, dan saat kembali tiket sudah hilang. Saya melapor ke Garuda city check-in, di Hotel Mandarin juga. Sudah mengisi form kehilangan tiket dan tiket diblok oleh Bapak Nurdin selaku petugas check-in, dan telah mengirim telex ke Garuda pusat untuk memblokir. Kemudian kami mengurus laporan kehilangan di Kepolisian Sektor Kota Lubuk Baja. Akibat musibah itu, terpaksa kami harus membeli sendiri tiket sebagai pengganti tiket yang hilang.

Setelah selesai tugas, kami mengurus kehilangan ke Vayatour, tempat membeli tiket. Bapak Mury dan Vayatour telah mengurus dengan melengkapi semua dokumen yang diperlukan. Garuda dan Vayatour menerangkan, kami harus menunggu enam bulan sampai masa berlaku tiket habis dan tidak digunakan. Setelah enam bulan menunggu kami menanyakan kembali ke pihak Vayatour. Menurut penjelasan Vayatour, pihak Garuda belum menindaklanjuti. Sekarang sudah dua tahun lebih menunggu, jawaban dari Garuda dan Vayatour selalu memping-pong kami. Garuda selalu bilang tanyakan ke Vayatour dan Vayatour selalu bilang Garuda belum menindaklanjuti. Nanti Garuda akan menghubungi konsumen.

Hingga kini kami tak pernah dihubungi pihak Garuda. Terus terang, selaku pelanggan Garuda dan member GFF.120140646 kecewa atas pelayanan Garuda dalam hal refund tiket yang hilang. Perusahaan tempat kami bekerja selalu menggunakan Garuda dalam transportasi udara, tetapi tidak ada pelayanan berarti dari Garuda atas pelanggan setianya. Apakah Garuda tidak akan memproses refund tiket yang hilang. Karena, menurut informasi dari Vayatour, banyak refund tiket yang tidak pernah selesai. Mohon penjelasan dari pihak Garuda.


Dengan Lion, Koper Hilang

Tanggal 17 Juni 2004, kami sekeluarga (delapan orang) pulang berlibur dari Bali naik Lion Air (JT011) dari Denpasar ke Jakarta. Check in lebih awal 1,5 jam dari jadwal take off. Bagasi sebanyak tujuh koper dan masing-masing mendapat nomor klaim bagasi. Penumpang penuh (sekitar 150 orang, menurut keterangan petugas Lion Air). Setibanya di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng-kami duduk agak belakang di urutan kursi nomor 27 dan 28-begitu keluar pesawat, kami langsung menuju Bagage Claim Belt untuk mengambil bagasi.

Ternyata koper penumpang telah beredar (biasanya penumpang menunggu). Namun sampai selesai, ternyata dua koper tetap tidak keluar alias hilang. Kami langsung melaporkan ke Lost & Found Lion Air (Bapak Mardanus), dan saat itu juga dikonfirmasikan ke Denpasar untuk pengecekan. Ternyata laporan dari Denpasar berupa faksimile menyatakan bahwa dua bagasi tersebut sudah masuk dan terangkut bersamaan dengan pesawat tersebut (JT011).

Pada saat yang sama Bapak Agus juga meminta petugas di Cengkareng untuk memeriksa kembali di kabin pesawat JT011, tapi nihil. Lion Air berjanji untuk memberikan perkembangan usaha pencarian, tetapi ternyata kalau kami tidak follow-up ke pihak Lion, mereka tidak berbuat apa-apa. Padahal dari awal saya sudah sarankan untuk mengecek juga kepada para penumpang JT011 agar tidak berlarut-larut, siapa tahu tidak sengaja terbawa oleh penumpang lain, tetapi pihak Lost & Found Lion Air bersikeras mencari di Denpasar maupun ke penerbangan lain meski hasilnya nihil.

Ibu Lili (person in charge) yang ditugaskan untuk memberikan laporan kepada kami mengatakan bahwa hasil pengecekan pihak Lion Air di Denpasar hasilnya nihil. Di Penumpang Lion Air JT011 Denpasar-Cengkareng juga nihil, dan dengan penerbangan yang lain juga nihil. Tinggal satu lagi yang belum dicari, yaitu keterlibatan orang dalam.


Bagasi Lion Ambil Sendiri

Tanggal 5 Mei 2004, ibu saya (Ny Sujinab) dengan cucunya (Shinta) menggunakan jasa penerbangan Lion Air jurusan Jakarta - Yogyakarta dengan penerbangan pukul 19.45 WIB. Pukul 21.30 WIB saya menerima telepon dari ibu yang mengabarkan, sudah sampai rumah di Yogya tetapi bagasi berupa sebuah koper telah hilang dan telah dilaporkan kepada petugas di Bandara Adi Sutjipto, Yogyakarta. Mengingat ibu sudah lanjut usia dan di Yogya hanya tinggal dengan cucunya yang masih kecil, saya esok harinya (6 Mei 2004) berupaya menghubungi kantor Lion Air di Jakarta dengan harapan bila tas dimaksud ditemukan agar bisa dikirim langsung ke rumah Ibu di Yogya.

Saat saya telepon ke kantor Lion Jakarta disarankan untuk langsung menghubungi ke kantor Lion di Bandara Soekarno Hatta (telepon 55915065), yang saat itu diterima Sdr Kuntoro yang merespons dengan sangat baik, serta mencatat nomor bagasi (No 145567) dengan janji akan menelusuri keberadaan tas dimaksud serta akan dikirim langsung ke alamat di Yogya.

Siang harinya pihak Lion menelepon ke rumah saya di Jakarta memberitahukan, tas telah ditemukan dan akan dikirim ke Yogya dengan penerbangan JT556, sehingga kurang lebih akan sampai pukul 17.00 WIB. Namun esok harinya (7 Mei 2004) saya telepon Ibu dengan maksud konfirmasi, saya diberitahu bahwa kemarin direpotkan dengan beberapa kali telepon ke Lion Air di Adisutjipto untuk menanyakan tasnya tetapi tidak diangkat, dan baru sore harinya ditelepon bahwa koper sudah di Bandara Adisutjipto dan harus diambil sendiri. Sama sekali tidak sesuai komitmen awal bahwa tas akan diantar ke rumah. Apakah memang ini standar pelayanan Lion? Seorang tua yang tidak ada pendamping dan tidak ada kendaraan harus repot ke bandara bukan karena kesalahannya, tetapi karena keteledoran pihak Lion Air.


"Over Stay" Versi Imigrasi

Telah berulang kali saya membaca di media cetak, tentang pengunjung dari luar negeri yang datang ke Indonesia dipersulit oleh petugas Imigrasi Bandara Soekarno-Hatta. Kejadian berikut ini menimpa anak saya. Anak perempuan saya dengan kedua anaknya berkunjung ke Jakarta, dan tiba tanggal 13 Juli 2004. Suaminya menyusul tanggal 28 Juli 2004. Semuanya berkebangsaan Belanda dan tinggal di Frankfurt. Tanggal 13 Agustus 2004 mereka akan pulang ke Frankfurt dengan penerbangan Lufthansa (LH 779). Ketika itu saya masih berada di ruang pengantar Bandara Soekarno-Hatta. Telepon genggam saya berbunyi, dan suara anak saya terdengar minta pertolongan karena dipersulit oleh petugas Imigrasi.

Saya bergegas masuk ke arah kantor Imigrasi dan menemui anak serta menantu saya, di kantor Imigrasi bandara tersebut. Menurut penjelasan anak saya, dia dituduh over stay" oleh petugas konter Imigrasi dan harus membayar denda US$$ 20/hari/orang. Pimpinan pada waktu itu dengan tanda pangkat seperti Letnan Satu (dua strip) sedang mencatat tanggal-tanggal anak saya berada di Indonesia (over stay versi petugas Imigrasi). Ketika melihat kemunculan saya, petugas itu seperti bingung dan mengatakan, bahwa anak saya tidak over stay. Saya jelaskan, untuk menghitung hari dengan jari saja sudah cukup dan dapat dilakukan murid SD kelas 4.

Pada waktu itu saya sempat mengingatkan kepada petugas bersangkutan, bahwa tindakan kalian seperti ini memalukan bangsa dan negara. Rupanya, sebelum kedatangan saya si pimpinan sengaja menulis-nulis untuk mengulur waktu agar pada saat boarding penumpang terpaksa membayar tuntutannya. Sayang saya sendiri tidak mendengar ucapan petugas konter kepada anak saya yang berbunyi: "Keenakan sih tinggal di Indonesia." Apakah ucapan ini diajarkan pada waktu latihan sebelum bertugas di lingkungan Bandara Soekarno - Hatta? Kapan Dirjen Imigrasi akan menindak para petugas semacam ini?


Bagasi Hilang di Garuda

Saya penumpang pesawat Garuda tujuan Denpasar-Jakarta (GA 407) tanggal 1 Oktober 2004 sungguh kecewa dengan manajemen Garuda. Kekecewaan berawal karena hilangnya sebuah koper yang termasuk dalam kargo rombongan grup band saya. Hal ini sangat janggal karena dari seluruh barang yang tercatat dalam bagasi rombongan, hanya koper saya (bag tag number GA 694164) yang tidak ada.

Saya tidak habis pikir, Garuda sebagai perusahaan penerbangan nasional yang memiliki reputasi internasional masih saja melakukan keteledoran yang memalukan. Masalah ini langsung saya laporkan kepada bagian lost and found di Bandara Soekarno-Hatta. Dan diberikan lembaran property irregularity report (PIR) berwarna merah muda, yang menurut keterangan petugas, formulir ini merupakan standar prosedur bagi pengguna jasa pesawat yang kehilangan bagasi.

Setelah mengisi formulir tersebut, saya diharuskan menunggu selama tujuh hari dan baru bisa mengajukan klaim. Selama tujuh hari itu saya rutin menelepon ke bagian lost and found bandara untuk mengecek perkembangan pencarian barang dimaksud, tanpa satu kali pun ada inisiatif dari pihak Garuda untuk memberi kejelasan.

Pada saat saya mengajukan klaim di kantor Garuda di Jalan Gunung Sahari Raya, Jakarta, yang diterima Ibu Gina, saya tetap tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Apalagi dengan entengnya dia memberikan solusi, yaitu berupa penggantian uang Rp 100.000/kilogram atas barang yang hilang berdasarkan kebijakan perusahaan dan peraturan pemerintah. Pencarian tetap berlanjut sampai jangka waktu dua tahun ke depan, tanpa mau peduli akan kerugian yang ditimbulkan terhadap saya.

Jika Garuda menanggapi sebuah kepercayaan penumpang seperti yang dikatakan Ibu Gina tersebut, apakah agak berlebihan jika lebih baik semua barang bawaan rombongan saya dibawa ke kabin pesawat. Apa arti sebuah jalan keluar dengan penggantian yang ditawarkan, karena bukan itu yang saya butuhkan. Tapi penjelasan soal keberadaan koper saya beserta isinya, yang mungkin tidak berarti bagi manajemen Garuda namun sungguh berarti bagi saya. Di samping oleh-oleh pesanan keluarga juga barang pribadi yang tidak berguna bagi orang lain.

Mungkin saya merupakan korban yang kesekian dari peristiwa sejenis. Mengapa manajemen Garuda tidak belajar dari waktu ke waktu? Kapan manajemen Garuda menjadi pintar dan canggih di tengah pelayanan persaingan global?


Tempat Duduk Garuda Kosong

Saya naik pesawat Garuda dari Medan ke Jakarta pada tanggal 23 Februari 2003. Awalnya memesan untuk penerbangan pukul 18.00, dan karena sesuatu hal maka mengubah jam keberangkatan menjadi pukul 10.20. Saya pergi ke bandara untuk bertanya, apakah ada tempat untuk pukul 10.20.

Seorang petugas check-in menghampiri dengan ramah dan antusias untuk membantu dan meminta tiket. Setelah beberapa lama, dia datang kembali dan menjelaskan bahwa pesawat sudah penuh.

Namun, dia akan berusaha keras untuk mencarikan tempat sebagai cadangan akhir. Petugas ini secara tidak langsung butuh uang jasa.

Akhirnya saya jelaskan kepadanya bahwa saya akan ambil penerbangan pukul 18.00 dan meminta tiket dikembalikan. Kemudian dibantu seorang pegawai perempuan bagian check in, untuk memberikan tempat pada penerbangan pukul 10.20.

Setelah masuk pesawat, saya heran karena cukup banyak tempat duduk yang kosong. Ini pengalaman saya yang kedua. Pengalaman pertama tahun 2002, juga sama.

Alangkah baiknya bila calon penumpang boleh melihat di layar monitor bandara tentang ketersediaan tempat duduk dalam pesawat, hal ini perlu untuk menghindari penipuan terselubung oleh pegawai/calo di bandara.


Pengalaman dengan Pesawat Jatayu

Saya dari Medan ke Jakarta dengan maskapai penerbangan Jatayu, Jumat (26/4), yang tiketnya lebih murah sedikit dari penerbangan lainnya. Karena rencana keberangkatan pukul 13.20 dan diharuskan melapor pukul 11.00, saya datang dan melapor pukul 11.30. Di layar monitor yang ada di ruang tunggu, saya lihat jadwal Jatayu, berarti tidak ada perubahan, pesawat Jatayu sudah ada di apron. Tetapi setelah pukul 13.20, belum juga boarding. Apalagi di pesawat tidak ada tanda-tanda persiapan pesawat akan berangkat. Beberapa menit kemudian diinformasikan, bahwa penumpang Jatayu untuk mengambil makan siang, karena keberangkatan pesawat ditunda. 

Di konter Jatayu ditulis, bahwa keberangkatan pukul 15.30. Pihak Jatayu tidak menyampaikan apa adanya, padahal pesawat dalam kondisi rusak, sehingga memerlukan penggantian suku cadang yang harus didatangkan dari Jakarta. Suku cadang sendiri baru tiba sekitar pukul 15.30, yang dibawa oleh pesawat Garuda. Penumpang mulai gelisah, karena jawaban dari Station Manager Jatayu tidak memuaskan bahkan menjengkelkan. Banyak penumpang yang ingin pindah pesawat, selalu dikatakan, tidak bisa karena tidak ada kerja sama. Refund pun dikatakan tidak bisa. 

Akan tetapi selalu pula mengatakan, pesawat pasti berangkat. Sampai keberangkatan pesawat terakhir dari Medan pukul 17.20, pesawat Jatayu tidak juga siap take off. Meskipun akhirnya pesawat tidak bisa berangkat, pihak Jatayu tetap menyampaikan akan memberangkatkan penumpang dengan pesawat lain yang dikirim dari Jakarta pukul 19.00. Daripada menanggung risiko yang lebih besar di Jakarta, saya memutuskan untuk menarik diri dan menunda keberangkatan sampai besok, tentu bukan lagi dengan Jatayu. Pihak Jatayu seharusnya berani menanggung risiko kerugian dengan memindahkan penumpang dengan penerbangan lain, atau cara lain yang dapat menyejukkan hati penumpang.


Berurusan dengan Imigrasi Bandara

Rekan saya dari Eropa datang ke Indonesia pada tanggal 10 Juni 2002 pukul 21.15, dengan pesawat Cathay Pacific (nomor penerbangan 711) setelah berkunjung dari Singapura. Setiba di Bandara Soekarno-Hatta seperti turis pada umumnya, yaitu harus melewati pintu pemeriksaan Imigrasi terlebih dahulu, atau yang dikatakan sebagai Pintu Masuk Indonesia. Namun, sangat disayangkan, sebelum melewati ke pintu tersebut, sudah dimintai uang Rp 500.000 oleh petugas Imigrasi. Pada awalnya yang bersangkutan tidak ingin memberikan uang tersebut, karena petugas tidak bisa memperlihatkan peraturan yang sah. Juga tidak bisa menjawab pertanyaan dari seorang turis. 

Tidak ada masalah dengan dokumen, karena bukan pertama kali datang ke Indonesia. Namun, petugas berkeras hati tidak akan memberikan izin, tanpa uang tersebut. Akhirnya petugas itu mendapatkan Rp 500.000. Ketika bertemu dengan saya, warga negara asing itu menumpahkan seluruh kekecewaannya atas sikap petugas tersebut, mengapa tidak dapat menjelaskan untuk apa uang itu, apalagi tidak dapat memberikan bukti yang sah. Apakah ada peraturan baru dari Ditjen Imigrasi Depkeh dan HAM, tapi mengapa petugas yang mengutip uang tersebut tidak menjelaskan. 

Sangat disayangkan kejadian ini berakhir dengan dipercepatnya kepulangan ke negaranya, dengan menggenggam cendera mata kekecewaan dari Indonesia. Yang bersangkutan hanya ingin penjelasan, tanpa maksud apa pun.


Pesawat Garuda di Bandara Bali

Pada awal bulan Juli, saya dan keluarga berlibur ke Bali, dan karena saya sudah lanjut usia dan susah jalan, maka memilih naik pesawat Garuda. Tetapi, ternyata justru tidak nyaman. Sudah ditentukan duduk di ruang tunggu pada gate tertentu, tetapi pada waktu boarding ternyata pesawat yang akan ditumpangi tidak di parkir di gate tersebut. Akibatnya seluruh penumpang harus naik turun tangga, naik turun bus, untuk sampai ke pesawat yang dituju. 

Adapun di antara penumpang ada yang sudah lanjut usia seperti saya, dan ada yang membawa anak kecil. 

Apa susahnya bila dikoordinasikan antara parkir pesawat dan penempatan penumpang. Bali yang notabene Internasional Airport, sama saja pelayanannya (pesawat 413). Percuma saja mempunyai bandara yang serba mewah dan lengkap fasilitasnya, tetapi cara boarding masih primitif. Barangkali harus belajar sistem di negara lain, di luar negeri yang air trafic-nya jauh lebih padat. Semoga Garuda memperhatikan dan memperbaiki pelayanan kepada penumpang.


Bouraq Rugikan Penumpang

Kami pulang ke Surabaya 3 Februari 2000 lalu naik Bouraq yang dijadwalkan terbang pukul 14.30, dan pukul 13.20 sudah berada di bandara untuk check-in. Namun sesampainya di bandara, kami diberi tahu bahwa pesawat Bouraq 105 baru akan diberangkatkan pukul 17.15 (mundur hampir tiga jam). Padahal menurut jadwal pada pukul 17.15 ada pesawat Bouraq lain yang juga berangkat ke Surabaya. 

Ternyata pukul 17.15, pesawat tetap tidak berangkat. Sewaktu ditanyakan kepada petugas Bouraq dijawab bahwa pesawat masih menunggu pramugari yang baru akan datang dari Surabaya pukul 17.30. Ternyata pesawat baru diberangkatkan pukul 18.30, sehingga keterlambatan empat jam. Selama menunggu di bandara, tidak pernah diumumkan melalui pengeras suara sebab-sebab keterlambatan. 

Dari penumpang yang check-in tiga jam kemudian, kami mendapat keterangan bahwa mereka adalah penumpang-penumpang yang check-in untuk pesawat pukul 17.15 tujuan Surabaya dan Denpasar. Dari sini kami berkesimpulan, bahwa pesawat pukul 14.30 sengaja tidak diterbangkan karena penumpangnya sedikit, lalu digabungkan dengan penerbangan pukul 17.15 yang ternyata masih berangkat terlambat juga. 

Tindakan Bouraq sewenang-wenang dan merugikan penumpang, terutama yang mempunyai jadwal acara yang karena keterlambatan begitu lama tidak dapat menghadirinya. Seharusnya Bouraq menelepon penumpang satu per satu pada pagi harinya memberitahukan ada keterlambatan, sehingga pe-numpang tidak akan menunggu sekitar empat jam di bandara.


 

Sumber Kliping: Kompas - Media Indonesia - Suara Pembaruan - Republika - Suara Karya - TEMPO interaktif - Gatra - Kompas Cyber Media - Bisnis Indonesia

Bahan Kliping: Forum Pemerhati Masalah Konsumen

 

 

1
Hosted by www.Geocities.ws