Pesan Dari Konsumen

Asuransi

Bank

Telepon & Ponsel

Perjalanan

Mobil & Motor

Toko & Restoran

Properti & Hotel

Jasa Pengiriman

Penerbangan

Elektronik

Listrik & Air

Kesehatan

Ragam Pesan

 

SITUS MITRA

Daftar Alamat

Punya Masalah?

Logo Bisnis

Biografi Anda

Pustaka eBook

Kliping Media

Mailing List

Kliping Surat Pembaca Dari Berbagai Media Massa

 

 

Kesehatan (1)

1| 2| 3


Kita sebagai konsumen selalu berada pada posisi yang lemah dan tidak berdaya. Oleh karena itu, tak ada salahnya kita lebih berhati-hati sebelum membeli atau menggunakan jasa untuk apapun yang kita butuhkan. Jangan terlalu terburu-buru mengambil keputusan. Pelajari dulu  pengalaman konsumen lain. Simak dan teliti sebelum Anda menjadi kecewa dan dirugikan. Semuanya kami kliping di sini. Detail nama dan alamat pengirim, sumber dan tanggal pemuatan dapat Anda minta di email. Kami juga menerima kiriman bahan kliping dari Anda.


 

"Lem" Luka di Graha Medika

Tanggal 17 Juni 2004 sekitar pukul 10.00 WIB, saya menerima telepon dari wartel tentang anak saya (Rahardian) berada di Rumah Sakit Graha Medika, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, di ruang UGD karena tabrakan. Saya segera datang dan teman- teman anak saya yang masih berseragam SMA menjelaskan bahwa anak saya tabrakan dengan temannya yang memakai kacamata pada waktu bermain bola di SMU 78. Pelipis kiri di atas matanya sobek dan mengeluarkan darah cukup banyak. Sebelum diperbolehkan pulang, saya harus menyelesaikan pembayaran biaya perawatan Rp 918.400. Saya sangat terkejut melihat biaya itu.

Penjelasan seorang petugas di loket kasir, biaya tersebut (rincian dilampirkan) sebesar Rp 750.000 untuk dokter spesialis bedah yang memakaikan "lem" pada luka pasien. Saya kurang mendalami masalah "lem" tersebut, tetapi petugas itu berusaha meyakinkan bahwa perawatan yang dilakukan adalah perawatan yang sangat hebat, karena tidak memerlukan jahitan seperti yang banyak dibayangkan orang. Biaya sebesar itu untuk "lem" luka pelipis anak saya sungguh merisaukan. Mohon penjelasan dari yang berwenang untuk masalah ini, karena selain akan memberikan gambaran yang jelas tentang tata cara pengobatan pada keadaan darurat, juga dapat memberikan pembelajaran tentang penyelenggaraan tindakan pelayanan kesehatan.


Pasien Harus Bertanya

Saya menyerahkan resep dokter dari Yayasan Puri Medika ke Apotek Kimia Farma, Jalan Radio Dalam, Jakarta Selatan, 10 September. Disengaja atau tidak, salah satu obat dalam resep tertulis 60 butir, tetapi saya hanya menerima 30 butir. Sedangkan dua jenis obat lainnya sama sekali tidak dicantumkan cara pemakaian secara rinci sebagaimana ditulis dokter, yaitu "pc" (istilah untuk pemakaian sesudah makan) dan "ac" (sebelum makan).

Selain jumlah obat yang selalu tertulis dalam angka romawi, sebaiknya pasien memberanikan diri menanyakan kepada dokter jumlah obat yang seharusnya diterima dan cara pemakaiannya. Bagi para asisten apoteker, yang sebenarnya ada di bawah supervisi apoteker, agar berhati-hati dalam membaca resep. Kesalahan yang diperbuat, baik jumlah obat, cara pemakaian, terlebih jenis obat yang diberikan, dapat berakibat fatal bagi pasien.


Layanan RSUD Pasar Rebo

Ayah kami menjalani perawatan selama lima hari di RSUD Pasar Rebo hingga mengembuskan napas terakhir pada 31 Mei 2004. Selama menjalani perawatan di sana, kami menemukan beberapa hal yang mengecewakan. Ibu kami tidak diperkenankan meminjam telepon perawat pada pukul 01.30 guna memberitahukan keadaan ayah kami yang kritis, walaupun telah berjanji akan membayar semua biaya telepon. Petugas satpam juga sempat melarang kami masuk. Setelah kami jelaskan kondisi ayah, dengan setengah membentak ia menjawab, "Satu saja."

Pada pagi harinya, seorang perawat mengambil darah tanpa menggunakan tournique sehingga tidak berhasil dan harus menusukkan jarum beberapa kali sampai ayah kesakitan. Saat ditanya mengapa tidak memakai alat itu, ia menjawab cukup dibendung dengan tangan. Bel di dalam kamar juga tidak berfungsi sehingga setiap kali kami harus berjalan sekitar 100 meter ke ruang perawat.

Sejak kritis sampai dengan meninggalnya, tak seorang dokter pun datang memeriksa. Menurut perawat, ada prosedur untuk melapor ke dokter jaga. Perintah tindakan hanya dilakukan melalui telepon.

Siang hari setelah ayah meninggal dan kami mengurus administrasi, kekecewaan kami utarakan kepada dua orang perawat yang menemui. Jawaban mereka sungguh kasar, "Jadi, Ibu mau apa?" Beginikah pelayanan RSUD Pasar Rebo?


Nasib Pasien Pakai Askes

Pada tanggal 12 Juni 2004 sekitar pukul 23.00 WIB, istri saya perutnya mulas-mulas dan banyak mengeluarkan cairan. Terus saya putuskan untuk membawanya ke Rumah Sakit (RS) Mekar Sari sesuai rujukan dokter keluarga. Sesampainya di ruangan Unit Gawat Darurat, istri saya diperiksa oleh dokter jaga, dan bersamaan dengan itu saya memesan kamar perawatan. Namun, istri saya disuruh pulang dan besok pagi disuruh datang lagi. Saya bingung, mungkin karena saya pakai Askes kelas III.

Istri disuruh pulang dengan alasan, nanti kalau kelamaan di rumah sakit pasien bisa stres. Padahal, seminggu sebelumnya dokter kandungan istri saya mengatakan bahwa seminggu lagi bayi akan keluar.

Mengapa saya tidak bisa pakai kamar sesuai dengan rujukan Askes sesuai dengan kelasnya? Akhirnya saya putuskan melarikan istri saya ke bidan kenalan kakak saya di daerah Pasar Rebo, Jakarta Timur, yang jaraknya lumayan jauh.

Sampai di tempat bidan, istri saya diperiksa dan diberi infus mulai pukul 03.00, dan perutnya sudah mulai sering mulas-mulas. Tepat pukul 05.00 bayi lahir dengan selamat. Bidan itu mengatakan, "Ketubannya sudah hijau, serta ari-arinya sudah kering dan nyaris putus."

Bagaimana dengan RS Mekar Sari yang menyuruh pulang pasien dan datang pagi harinya? Padahal, jarak RS Mekar Sari dengan jarak rumah saya di Perumnas III lebih kurang empat kilometer dan jalannya rusak parah.

Bagaimana pertanggungjawaban PT Askes serta pelayanan RS Mekar Sari di Bekasi? Saya ini karyawan kecil, mohon penjelasan dari pihak-pihak terkait.


Laboratorium PMI Bogor

Tanggal 11 sampai 21 Agustus 2004 suami saya dirawat di Rumah Sakit (RS) PMI Bogor dengan diagnosis dari dokter klinik 24 jam menderita malaria. Hasil laboratorium dari RS Azra, trombosit 114. Pasien adalah pegawai Kebun Raya Bogor, dan pulang dari Irian ketika terjangkit malaria setelah bertugas selama 14 hari di sana. Sehari di RS PMI Bogor, hasil laboratorium RS PMI Bogor menunjukkan malaria negatif, sedangkan tes widal positif, dan trombositnya turun menjadi 104. Selama empat hari berturut-turut, setiap siang hari suami saya menggigil demam. Hasil tes laboratorium setiap hari terus menunjukkan trombosit turun hingga mencapai 66. Anehnya, suami kelihatan segar dan banyak makan, sudah tidak menggigil lagi. Saya minta dokter yang menangani untuk memberikan rujukan tes laboratorium ke Prodia Bogor.

Tanggal 20 Agustus pagi hari, diambil darahnya dua kali. Satu contoh dibawa ke laboratorium PMI Bogor dan lainnya dibawa ke laboratorium Prodia. Hasil dari laboratorium RS PMI Bogor menunjukkan trombosit 92, sedangkan di Prodia 263 dan positif malaria. Dokter RS PMI Bogor menyuruh dilakukan tes malaria lagi ke Laboratorium Parasitologi UI untuk meyakinkan. Tanggal 24 Agustus ke Laboratorium Parasitologi UI dan hasilnya positif malaria.

Mohon perhatian dan tindakan pimpinan RS PMI Bogor atas kejadian ini. Jangan sampai jatuh lagi korban karena kecerobohan petugas laboratorium. Atau mungkin alatnya yang sudah tidak akurat. Masyarakat pengguna jasa RS PMI Bogor dirugikan. Saya sudah mengadukan masalah ini ke pihak laboratorium RS PMI Bogor, tetapi tidak ada tindakan apa pun.


Klinik 24 Jam, Standarisasi Operasi

Saya pada tanggal 2 Agustus 2004 sekitar pukul 15.00 WIB datang ke Klinik 24 jam yang dikelola sebuah yayasan di Perumahan Amarapura, Serpong, Tangerang, dalam keadaan bingung dan panik, karena putra saya yang berusia 11 bulan tersedak bubur pada saat makan.

Ketika saya datang ternyata dokternya tidak berada di tempat dan saya disarankan oleh penunggu klinik yang notabene bukan dokter dan bukan perawat untuk menunggu, karena dokternya shalat berjamaah di masjid yang jaraknya 80 m dari klinik. Karena keadaan putra saya yang sudah membiru saya langsung mendatangi dokter di masjid untuk mohon pertolongan dan dokter langsung membawa anak kami ke kliniknya dan menyodok-nyodok mulutnya agar dia dapat muntah hingga akhirnya dari hidung putra kami keluar darah, setelah itu dia menyarankan kepada saya untuk membawanya ke RSI Assohibirin (Tangerang) yang letaknya cukup jauh dari rumah saya, karena bingung dan panik, saya minta bantuan untuk ditemani oleh dokter tersebut, tapi ternyata dokter tidak ikut dan membiarkan saya, putra saya, dan sopir untuk pergi ke RSI Assohibirin. Dan karena perjalanan yang cukup jauh ditambah dengan mobil yang tidak memadai (remnya blong), akhirnya saya berhenti di tengah jalan untuk selanjutnya meneruskan perjalanan dengan angkot, dan karena perjalnaan yang lama akhirnya ketika sampai di RSI Assobirin ternyata putra saya telah meninggal dunia.

Saya telah mengikhlaskan kepergiannya tapi ada beberapa pertanyaan yang masih mengganjal dalam benak saya:

Pertama, bagaimana persyaratan yang diberikan oleh Departemen Kesehatan untuk klinik 24 jam? Apakah setelah diberi izin selalu diawasi baik pelayanan ataupun peralatannya? Kedua, apakah di klinik 24 jam tersebut baik dokter ataupun perawatnya/tenaga paramedisnya harus stand by di tempat? Ketiga, apakah dokter di klinik 24 jam memiliki keahlian untuk dapat memberikan pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K) untuk hal-hal yang tidak rumit, misalnya tersedak, tenggelam, dan sebagainya? Keempat, adakah kelengkapan peralatan standar yang harus dimiliki oleh klinik 24 jam misalnya tabung oksigen, ataupun yang lainnya?

Hal-hal tersebut di atas kami pikir perlu diperhatikan agar kejadian yang sama tidak terulang lagi dan dapat menelan korban lain lagi, mengingat saat ini banyak menjamurnya klinik-klinik 24 jam.


RS Mitra Internasional

Beberapa waktu yang lalu anak saya masuk RS, ada beberapa hal yang ingin saya komentari al :

1. Setelah berganti nama, dari Mitra Keluarga ke RS Mitra Internasional tidak ada peningkatan service, malah menurun dalam hal menu, keramahan, ketersediaan tempat,

2. Parkir yang sempit, dan petugas yang tidak ramah,

3.Hasil lab yang salah, dan petugas lab tidak meminta maaf atas kesalahan tersebut, bahkan dengan congkak bilang ibu boleh cek ulang di lab kami, gratis. Setelah kami tegur barulah petugas lab minta maaf.

4. Tempat solat yang kumuh dan sempit, tidak pernah berubah.

5. Terakhir kami minta penjelasan mengapa biaya administrasi adalah prosentase (6 %) dari total seluruh biaya, apakah dengan biaya yang mahal menyebabkan biaya administrasi mahal? kami keberatan karena biaya yang mahal tidak/belum tentu menyebabkan masalah administrasi bertambah. bukankah sebaiknya ada biaya maksimal untuk Adm?


Mitra Keluarga, Steven Johnson Syndrome

Nenek Wakidah Sumantri, 88, pada tanggal 31 Agustus 2004 terjatuh hingga kejang dan tidak sadarkan diri. Keluarga membawa nenek ke RS Mitra Keluarga Bekasi Barat (RSMK-BB). Hasil CT Scan tidak ada pendarahan di otak, tapi pasien terkena stroke ringan. Satu malam menginap, keluarga memutuskan untuk memindahkan nenek ke RS Mitra Keluarga Bekasi Timur (RSMK-BT) karena lebih dekat. Pada waktu itu, dr Robert Loho, neurologist yang menangani, menyarankan supaya tetap tinggal di RSMK-BB karena dalam 2-3 hari juga sudah boleh diperbolehkan pulang. 

Tetapi keluarga tetap memindahkan ke RSMK-BT. Dr Roberto Loho akhirnya bersedia untuk tetap menangani pasien. Tanggal 2 September, hari kedua di RSMK-BT (atau hari ketiga perawatan), mulai timbul "sariawan" di bibir dan lidah, yang oleh perawat disebutkan akibat benturan gigi pada waktu terjatuh (padahal nenek giginya tinggal satu, gigi bawah saja). Sementara itu kondisi kesadaran pasien sudah jauh membaik dan dapat berkomunikasi. Dr Robert menyatakan pasien sudah dapat pulang hari Sabtu 4 September 2004. Tapi ternyata pasien kemudian tidak bisa pulang karena "sariawan" menghebat, bibir melepuh, mata lengket tidak bisa membuka, lebam di pipi mengelupas dan menjalar sampai ke leher. 

Selanjutnya dikonsultasikan ke dokter kulit yang menyatakan "lebam karena jatuh" ada kemungkinan alergi. Senin, 6 September, dr Robert menyatakan nenek terkena alergi obat dan minta waktu sampai hari Rabu untuk observasi, saat itu pun ia sudah meniadakan pemberian obat-obatan yang diduga penyebab alergi. Tapi sampai hari Rabu, 8 September, belum ada kepastian obat penyebab alergi. Keluarga memutuskan "pulang paksa" karena biaya terus meningkat sementara stroke ringan yang menjadi penyebab nenek dirawat sudah jauh berkurang dan nenek dapat berkomunikasi dengan baik. Pada waktu pulang, lebam sudah menjalar sampai punggung. Atas desakan keluarga, hari Sabtu, 11 September, pihak RS mengundang pertemuan antara 3 pihak yang terlibat, yaitu dr Robert, dr Ivone (manajemen RS), dan keluarga pasien. 

Pada pertemuan ini pihak RS dan dokter akhirnya mengakui pasien terkena Steven Johnson Syndrome (SJS), setelah sebelumnya pihak keluarga pasien yang menanyakan kemungkinan pasien terkena SJS. Mereka sangat menyarankan untuk dirawat kembali ke RS karena kondisi pasien sudah sedemikian parah. Punggung, pantat, kaki, seluruh tubuh sudah lebam mengelupas (foto terlampir). Sayangnya, "niat baik" RS ini sangat terbatas. Ketika ditanya apa yang ditawarkan RS untuk pasien, pihak RS hanya menawarkan 20 persen discount pada ruangan dan fasilitas penunjang RS, tetapi tidak ada bantuan untuk obat-obatan dan jasa dokter.

Padahal pada kondisi tersebut yang notabene adalah akibat dari obat-obatan yang diberikan dokter penggunaan obat-obatan sudah harus dinaikkan dosisnya dan pasien harus ditangani tim dokter. Bahkan ketika keluarga memutuskan untuk membawa pasien dirawat di RS Panti Rapih, Yogyakarta, dan minta untuk dipinjamkan ambulans dan perawat, RS berkelit dengan mengatakan ambulans tidak boleh keluara Jabotabek, tetapi bisa menyewakan dari 118 dengan bantuan dana 20 persen dari RS. Saat ini pasien sudah dirawat di RS Panti Rapih. Begitu masuk, perawat sudah mengenali kondisi pasien yang terkena SJS, sehingga timbul pertanyaan: jika RS "daerah" saja tahu, mengapa RS sebesar Mitra Keluarga harus menunggu sampai 10 hari untuk menyatakan pasien terkena SJS??? 

Mengapa RSMK menyembunyikan info ini dari keluarga pasien??? Kalau bukan keluarga pasien yang menyebutkan kemungkinan SJS, pihak RSMK, tidak sedikit pun menyinggung perihal SJS. Bahkan sampai tanggal 11 itu pun dr Robet belum dapat mengetahui obat apa penyebab alerginya. Keluarga pasien hanya menanggung biaya perawatan ekstra paling tidak dari tanggal 4-8 September, saat pasien "pulang paksa". Belum lagi biaya perawatan lanjutan sampai seluruh kulit yang lebam terkelupas (seperti luka bakar) bisa pulih. Tak terhitung penderitaan pasien karena tidak bisa makan, tidak bisa melihat, kulit mengelupas yang sangat perih, dan risiko kehilangan nyawa. Simpati RS hanya terbatas pada angka 20 persen.


Masa Kedaluwarsa Salep

Tanggal 11 April, saya membeli obat (salep Esperson 15 gram) di Apotek Jaya Harapan Indah, Bekasi. Sesampai di rumah, saya baru perhatikan kalau masa kedaluwarsa (expired) salep: 5/2003.

Keesokan harinya (12/4), saya menelepon ke apotek itu untuk menjelaskan bahwa masa kedaluwarsa salep itu tidak lama lagi dan minta ditukar (kemasan salep belum dibuka).

Ketika karyawan mengecek persediaan yang ada, ternyata masa kedaluwarsanya sama. Sementara untuk pemakaian salep itu, tidak mungkin habis dalam waktu satu bulan. Tanggal 13 April, saya datang ke apotek untuk menukar. Namun, seorang karyawan wanita mengatakan tidak bisa ditukar karena pihak apotek juga tidak bisa menukar kepada penyuplai salep bersangkutan.

Karyawan apotek itu menambahkan bahwa salep masih bisa dipakai tiga bulan mundur ke belakang. Bagaimana tanggung jawab apotek terhadap obat-obatan yang sudah hampir kedaluwarsa, mengapa masih dijual?

Apakah salep itu masih dapat dipergunakan untuk tiga bulan ke belakang setelah masa kedaluwarsa tercapai, seperti yang tercantum dalam kemasan?


Buruk, Pelayanan Graha Medika

Saya mendapat pengalaman buruk di Rumah Sakit Graha Medika (RSGM) di Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Anak saya (10 bulan) adalah pasien tetap rumah sakit itu sejak lahir pada Mei 2002. Anak saya sakit mendadak (diare bercampur darah), awal April. Sebagai ibu yang sangat khawatir, saya menghubungi rumah sakit itu untuk minta bantuan agar bisa mendaftar dan berkonsultasi dengan dokter meski hanya sejenak.

Di rumah sakit bergengsi dan bertaraf internasional itu ternyata pelayanan para susternya tidak layak. Mereka berlaku seperti suster di rumah sakit kecil, yaitu tidak peduli terhadap kasus pasien yang mendadak. Saya dipaksa untuk menelepon kembali dan menunggu shift pergantian suster berikut (sekitar 30 menit). Saya mengerti bahwa pendaftaran memang sistem di rumah sakit tersebut. Tetapi, apakah pantas, saya ditolak dan disuruh pulang dengan alasan pasien tidak memiliki nomor karena daftar terlambat.

Suster waktu itu menjawab, "Karena hari ini sudah penuh, anaknya besok saja dilihat dokter. Pokoknya hari ini tidak bisa diterima." Yang membuat saya bertambah marah adalah cara penyampaian pesan yang disertai dengan mulut penuh dengan makanan dan dengan raut muka tidak sopan. Ternyata, suster yang bersangkutan lebih mendahulukan menikmati makanan daripada membantu pasien.


 

Sumber Kliping: Kompas - Media Indonesia - Suara Pembaruan - Republika - Suara Karya - TEMPO interaktif - Gatra - Kompas Cyber Media - Bisnis Indonesia

Counter

Bahan Kliping: Forum Pemerhati Masalah Konsumen

 

 

1
Hosted by www.Geocities.ws