Pesan Dari Konsumen

Asuransi

Bank

Telepon & Ponsel

Perjalanan

Mobil & Motor

Toko & Restoran

Properti & Hotel

Jasa Pengiriman

Penerbangan

Elektronik

Listrik & Air

Kesehatan

Ragam Pesan

 

SITUS MITRA

Daftar Alamat

Punya Masalah?

Logo Bisnis

Biografi Anda

Pustaka eBook

Kliping Media

Mailing List

Kliping Surat Pembaca Dari Berbagai Media Massa

 

 

Perjalanan (5)

1| 2| 3| 4| 5| 6

 

Lintas Tour Mengecewakan

Ayah saya (Irvan Soeseno) adalah salah seorang member dari Lintas Tour, yang baru mendaftarkan diri tahun 2003 lalu. Ketika mendaftarkan diri menjadi member ia mendapat dua voucher menginap secara cuma-cuma di salah satu hotel yang terdapat dalam daftar yang disediakan. Voucher tersebut berlaku sampai dengan bulan Juni 2004.

Karena berbagai kesibukan maka ayah saya memberikan kedua voucher tersebut kepada saya yang dengan senang hati menerima dan langsung menghubungi Lintas Tour (dengan sdri Silvy) pertengahan bulan Mei 2004 lalu, karena pihak Lintas memberitahu bahwa saya hanya bisa booking hotel untuk pertengahan atau akhir Juni 2004, maka sayapun menyetujuinya.

Setelah berulang-ulang saya melakukan reservasi yang tanggalnya selalu diundur oleh pihak Lintas, maka dipastikan oleh sdri Silvy bahwa tanggal 19 Juni 2004 saya mendapat tempat di hotel Grand Lembang Bandung. Setelah berulang-ulang konfirmasi mereka dengan sangat yakin bilang kalau tanggal itu sudah pasti saya dapat menginap secara cuma-cuma di hotel tersebut.

Karena pada tanggal yang ditentukan saya tidak dapat meninggalkan pekerjaan maka saya berikan voucher tersebut kepada tante yang akan membawa nenek untuk berlibur (mengingat bahwa sulit sekali saya mendapatkan reservasi tersebut maka sayang membatalkannya).

Karena telah berulang-ulang dikecewakan maka saya menyarankan kepada tante untuk konfirmasi ulang sehari sebelum keberangkatan. Untung saya menyarankan hal tersebut karena pada tanggal 18 Juni 2004 tante menelpon untuk konfirmasi, dengan seenaknya Lintas bilang bahwa reservasi sudah full dan tante sayapun tidak dapat berangkat.

Gagallah kami menggunakan dua voucher tersebut karena masa berlakunya hanya sampai dengan akhir Juni kemarin, tetapi karena tante saya sedikit emosi pada saat menelpon, sdri Silvi menjanjikan akan memberikannya perpanjangan waktu hingga bulan Juli.

Nyatanya sampai detik ini tidak ada konfirmasi lagi dari pihak Lintas. Apabila memang janji tersebut benar, sudah seharusnya Lintas kembali menghubungi kami untuk menanyakan kembali apakah kami masih ingin menggunakan voucher tersebut atau tidak.

Karena seringnya kami dikecewakan maka kami malas untuk menelepon dan menangih janji sdri Silvy tersebut.

Kami mendapat kesan bahwa pihak Lintas mendahulukan reservasi yang 'tidak cuma-cuma' alias bayar, sehingga kami yang hanya ingin menggunakan hak cuma-cuma yang mereka berikan tidak dilayani dengan baik. Padahal kami sebenarnya juga sangat mampu untuk pergi sendiri tanpa voucher cuma-cuma tersebut.

Saran kami sekeluarga, apabila perusahaan anda tidak serius memberikan voucher tersebut maka janganlah kami dipermainkan seperti itu. Alhasil sekarang ayah sayapun enggan memperpanjang kartu keanggotaanya.


Penumpang Tidak Diberikan Tiket

Pada tanggal 3 Juni 2002, kami rombongan (40 orang) berangkat dari Semarang menuju Banjarmasin dengan menggunakan angkutan kapal laut milik PT (Persero) Pelni KM Egon. Begitu kami memesan tiket dan dikatakan oleh petugas telah habis terjual. Disarankan untuk langsung membeli di atas kapal, dan ternyata bisa dilakukan. Menurut petugas, kami tetap mendapatkan tiket. 

Akan tetapi, kenyataannya, tidak diberikan tiket dengan alasan kebijakan perusahaan. Pertanyaan kami, apakah kami akan mendapatkan asuransi bila terjadi kecelakaan di atas kapal, mengingat tidak diberikan tiket. Apakah hal itu merupakan ulah oknum di atas kapal yang sangat merugikan apabila terjadi kecelakaan di atas kapal. Mohon perhatian dan tanggapan yang berwenang.


Maktour, Batal Umroh

Saya mungkin salah satu dari sekian calon jamaah umroh yang gagal dan saya kecewa hanya karena pelayanan yang "tidak profesional" dari biro perjalanan umroh dan haji bernama "Maktour".

Ceritanya saya mendaftar sebagai calon jamaah umroh di biro perjalanan umroh dan haji, Maktour, dua pekan sebelum tanggal rencana keberangkatan yaitu tanggal 7 November 2003. Satu hari sebelum tanggal keberangkatan peserta diminta menyerahkan kopor bagasi ke kantor pusat Maktour di Jl KH Abdullah Syafi'ie, Kampung Melayu, Jakarta Selatan. Pada hari penyerahan kopor itu saya diberitahu petugas Maktour bahwa visa saya belum keluar sampai pada hari itu namun saya tetap diminta bersiap-siap berangkat. Alasannya, Kementerian Imigrasi di Arab Saudi sudah menyetujui untuk mengeluarkan visa saya tetapi anehnya nama saya tidak muncul di komputer Kedutaan Arab Saudi di Jakarta. Saya pun menunggu sampai pada tanggal keberangkatan namun visa belum keluar juga.

Petugas Maktour mengatakan mereka tetap berusaha untuk mendapatkan visa dan akan memberi kabar kembali pada tanggal 10 November. Pemilik Maktour mengatakan sulit sekali mendapat akses masuk ke Kedutaan Arab Saudi. Saya diminta bersabar. Pada besoknya tanggal 11, petugas Maktour menelepon menanyakan kesediaan saya untuk bersiap-siap berangkat pada tanggal 12. Mereka menjanjikan akan memberitahu apabila visa keluar sampai batas waktu pukul 11.00. Sampai lewat jam tersebut saya belum juga dikabari, akhirnya saya yang berinisiatif untuk menelepon. Ternyata visa belum juga keluar tapi dijanjikan lagi akan diusahakan sampai pukul 12.00.

Saya menelepon kembali dan hasilnya saya tidak bisa berangkat. Saya bertanya apakah ada kemungkinan untuk berangkat pada hari-hari mendatang selama bulan puasa, jawabannya tidak mungkin. Dengan berat hati saya memutuskan untuk meminta paspor, biaya perjalanan seutuhnya, dan kopor bagasi untuk dikembalikan. Keesokan harinya yang dikembalikan hanya biaya perjalanan dan kopor bagasi. Sedangkan paspor dijanjikan akan diantarkan keesokan harinya.

Paspor saya ternyata baru bisa saya peroleh pada tanggal 19 November setelah saya berusaha menelepon tiap hari. Dan sebenarnya saya mendapat visa yang dikeluarkan oleh Kedutaan Arab Saudi pada tanggal 17 November dan berlaku sampai tanggal 24 November. Yang menjadi persoalan di sini ialah bahwa tadinya saya sudah dinyatakan tidak mungkin mendapatkan visa, sehingga sekali lagi, dengan berat hati saya memutuskan untuk membatalkan keinginan saya yang begitu besar untuk menjalankan ibadah umroh di bulan puasa.

Harapan saya kasus seperti ini tidak dialami oleh orang lain yang memiliki minat yang tinggi untuk beribadah umroh, teristimewa dalam bulan puasa. Saya sangat kecewa bahwa biro perjalanan umroh dan haji yang konon sangat besar seperti Maktour ternyata tidak seprofesional seperti yang saya bayangkan. Bahkan dalam hal ini saya merasa sangat dipermainkan dan dipermalukan mengingat saya sudah meminta izin dan doa restu dari sekian banyak orang yang dekat dengan saya.


Kursi Tunggu Stasiun Gambir

Dalam perjalanan menggunakan kereta api dari Jakarta ke Bandung, selama menunggu kedatangan kereta api, di Stasiun Gambir, Jakarta, kami merasakan suatu yang janggal yakni mengenai kursi tunggu. Meskipun terbuat dari bahan yang menarik, yaitu pipa besi bulat vernekel dan modelnya bagus, namun untuk duduk agak santai rasanya kursi tersebut cukup menyiksa. 
Di samping kami seorang nenek mengomel karena merasa sakit tulang pantatnya ketika menduduki kursi itu. Nenek tersebut kurus jadi masuk akal jika dia mengomel. Mungkin pengerjaan kursi tersebut belum selesai, nanti di atas besi tersebut akan diberi alas lagi baru bisa santai. Tapi, mengapa sudah diletakkan di situ? Mungkin PT KAI bisa lebih memberikan kenyamanan bagi penumpang kereta.


Pelayanan Bus Hiba

Kami kecewa dan dirugikan dengan pelayanan yang diberikan oleh perusahaan bus "Hiba dan Hiba Utama." Hari Minggu, 5 Desember 1999, kami hendak berangkat dengan tujuan Puncak pukul 05.00, tetapi bus yang sudah dipesan sebelumnya dan ditunggu baru tiba pukul 07.00. Selama dua jam penantian, kami menelepon (pukul 05.10) ke kantor pusat untuk mengetahui keberadaan bus tetapi jawaban yang diterima adalah supaya sabar menunggu karena bus sudah berangkat pukul 04.00. Dan pukul 05.30 kami kembali menelepon, tetapi dioper ke sana kemari tanpa jawaban yang jelas (selama kurang lebih satu setengah jam terus menelepon ke beberapa nomor telepon yang ada). 
Juga sudah berusaha berkeliling dengan menggunakan sepeda motor untuk mencari posisi bus di setiap jalan utama yang mungkin dilewati, namun sia-sia. Merasa dirugikan atas keterlambatan bus tersebut (tiba di Puncak pukul 10.15), karena acara yang hendak kami ikuti bukan untuk rekreasi (acara tepat waktu pukul 09.30) dan setidaknya harus hadir minimal setengah jam sebelumnya untuk mendapat tempat duduk (kami duduk di luar gedung dan kehujanan).


Keluhan Konsumen

Pada hari Sabtu, 6 Desember 2003 saya mengantar putra saya ke Stasiun Gambir akan naik KA Gajayana jurusan Malang yang berangkat pukul 17.30 WIB gerbong 4 bangku 1A (fotokopi tiket terlampir). Namun, ''malang'', kami datang terlambat 10 (sepuluh) menit dari jadwal berangkat bersama dengan beberapa penumpang yang juga akan naik KA yang sama. 

Kami mengadu ke bagian administrasi dan mendapat penjelasan bahwa karcis hangus tidak berlaku lagi walau dalam KA yang lebih rendah kelasnya (sesuai telex Kadaop Nomor DMI 238 tanggal 30 April 1992. Perlu direformasi ketentuan yang sudah lebih dari 10 tahun ini untuk pelayanan). Setelah berdebat cukup panjang, akhirnya kami beli tiket baru dengan KA Gajayana juga yang akan berangkat Ahad 7 Desember 2003 pukul 06.40 WIB.

Keesokan harinya, Ahad 7 Desember 2003 saya berangkat ke Gambir lebih awal. Kejadian berlawanan berlangsung. KA yang seharusnya berangkat dari Gambir pukul 05.40 WIB, ternyata sampai pukul 06.40 WIB KA baru tiba dari arah Stasiun Kota (menurut info dari petugas, lokomotif yang akan menarik gerbong rangkaian belum ada di Stasiun Kota) dan berangkat pukul 06.50 WIB dari Stasiun Gambir.

Beginilah kualitas pelayanan PT KA yang masih memonopoli jasa angkutan KA. Kalau pelanggan ketinggalan kereta, karcis hangus, tanpa ampun dan belas kasihan sedikit pun juga. Sementara kalau PT KA terlambat berangkat, PT KA tidak berani membebaskan semua penumpangnya dari biaya perjalanan, walaupun berjam-jam sekalipun terlambatnya.

Berangkatnya saja sudah terlambat, apalagi tibanya. Dan memang KA Gajayana yang seharusnya tiba di Stasiun Malang pukul 20.40 WIB Ahad, 7 Desember 2003, ternyata baru tiba pukul 01.40 WIB Senin, 8 Desember 2003. Terlambat 5 (lima) jam dan PT KA pun dengan polos tanpa merasa berdosa melepas penumpang di dini hari yang sejuk begitu saja. Tidak ada kompensasi sedikitpun sebagaimana jasa transportasi lain.

Adakah keadilan dalam pelayanan kepada para penumpang KA? Ini satu contoh kejadian di hari setelah Lebaran. Adakah perlindungan terhadap konsumen jasa KA? Bagaimana YLKI?


Pesan Taksi Blue Bird

Kami sebagai penghuni Jalan Madrasah, Jalan Raya Fatmawati, Gandaria Selatan, selalu dan sering dikecewakan oleh pelayanan taksi Blue Bird, terutama dalam hal pemesanan melalui telepon. Sering bahkan hampir setiap hari, selalu memesan taksi itu untuk penggunaan esok harinya, guna keperluan mengantar anak ke tempat kerja. Selalu jawabannya mengandung "angin surga" yang menyatakan, bahwa mobil akan dikirim pada waktu yang diminta. 

Namun, pagi harinya kira-kira 15 menit sebelum waktu yang disepakati, kami selalu menghubungi pihak Blue Bird untuk konfirmasi, namun selalu jawaban yang kami peroleh adalah bahwa taksi masih dicari, atau tidak ada. Padahal, taksi tersebut diperlukan 15 menit kemudian, dan sudah dipesan sehari sebelumnya (bukan pesanan mendadak). 

Pihak Blue Bird tidak akan mengonfirmasikan ada atau tidak taksi jika kami tidak telepon. Kami ragu keseriusan pihak Blue Bird dalam melayani pelanggan, terutama petugas penerima pesanan lewat telepon. Terakhir terjadi 1 Juli 2002, yaitu pelayanan taksi sangat dibutuhkan anak kami karena mengejar waktu untuk pertemuan di kantornya. Selama ini, kami belum pernah bisa mendapatkan taksi Blue Bird melalui pemesanan lewat telepon.


Penumpang Bus Dipindahkan

Kami sebagai karyawan yang bekerja di sekitar daerah Pondok Indah, Jakarta Selatan, dan setiap hari memakai bus Koantas Bima jurusan Tanah Abang-Ciputat (trayek 102). Yang menjadi masalah, awak bus sering memindahkan penumpang tanpa melihat apakah bus tersebut penuh atau kosong. Sehingga kami tidak aman atas keselamatan, karena bus memindahkan penumpang di jalan raya atau bus yang dapat operan tersebut penuh. 
Akibat pemindahan itu, banyak penumpang yang bergelantungan di pintu, dan kebanyakan wanita karena kurang cepat untuk masuk ke dalam bus. Bus memindahkan penumpangnya, karena akan putar balik ke arah Tanah Abang atau sebaliknya tergantung arah yang lebih banyak penumpangnya. Mohon kepada yang berwenang untuk menertibkan bus tersebut, dan kalau memungkinkan dicabut izin trayeknya. Kemudian ganti dengan bus yang lebih manusiawi. 


Calo Tiket Kereta Api

Saya pesan tiket Kereta Api Fajar Utama Yogya (13/4) untuk keberangkatan Yogyakarta-Jakarta (20/4). Tetapi di tempat pemesanan (Stasiun Tugu Yogya) petugas menyatakan tiket sudah habis. Yang mengherankan karena banyak calo menawarkan tiket untuk perjalanan tanggal dimaksud dengan harga antara Rp 100.000-Rp 110.000/tiket. Sedangkan harga resmi Rp 70.000/tiket. Dan atas jasa seseorang, saya berhasil mendapatkan tiket dengan harga lebih rendah dari yang ditawarkan para calo.

Saya mendapat tempat duduk di gerbong nomor 4 untuk keberangkatan 20 April. Ketika di atas kereta, ternyata hampir setiap penumpang yang ditanya mengatakan senada, yaitu mendapatkan tiket dari calo. Pada lembar tiket, pada umumnya tercantum atas nama "Rani" atau "Rini". Apakah penjualan tiket kereta api pada saat-saat tertentu memang sengaja disalurkan secara terpimpin melalui calo? Jika seandainya terjadi kecelakaan, apakah pemilik tiket yang bertuliskan nama tidak sesuai berhak santunan dari asuransi terkait.

Dapat dimaklumi bahwa kesejahteraan karyawan harus dipikirkan, tetapi pergunakan cara-cara yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Apakah dengan cara ini para calo tiket kereta api bisa diminta pertanggungjawaban bila terjadi masalah. Dikhawatirkan jika pimpinan PT KAI (Kereta Api Indonesia) tidak mengetahui hal tersebut, maka PT KAI akan selalu merugi. Saya mencintai kereta api karena merupakan bagian dari keluarga pegawai kereta api.


Kereta Ekspres Jakarta-Cirebon

Kami membeli tiga tiket eksekutif kereta api Cirebon Ekspres (19/6), tujuan Cirebon melalui Stasiun Gambir, Jakarta. Diberitahukan oleh petugas bagian tiket bahwa tiket kelas eksekutif untuk keberangkatan besok dan hari berikutnya untuk pukul 08.50 telah habis, dan yang ada hanya kelas bisnis. Pada hari keberangkatan (21/6), kami tiba lebih awal dan langsung ke loket untuk menanyakan tiket kelas eksekutif. Ternyata masih tersedia cukup, dan juga tiket kelas bisnis masih ada. Ketika ditanyakan, penjelasan petugas tiket dua hari sebelumnya yang menyatakan bahwa tiket kelas eksekutif habis, dijawab dengan ringan, bahwa ada penambahan gerbong. 

Akhirnya kami tukarkan tiga tiket bisnis ke eksekutif, dan dibebani biaya sebesar 50 persen x 3 tiket bisnis x Rp 25.000 = Rp 37.500. Beginikah cara mencari untung petugas tiket, dan tidak masuk akal. Karena sampai dengan kereta berangkat, ternyata banyak kursi kosong di seluruh tiga gerbong eksekutif. Ini salah satu sebab BUMN Perhubungan sulit tumbuh berkembang, padahal potensinya sangat besar. Sementara itu, ada kebijakan kenaikan tarif dari direksi PT KAI sebesar 40 persen untuk kelas ekonomi. Ini salah satu bentuk jalan mudah, dengan lagi-lagi masyarakat yang jadi korban dari kesalahan manajemen Direksi PT KAI. Mohon perhatian yang berwenang.


 

Sumber Kliping: Kompas - Media Indonesia - Suara Pembaruan - Republika - Suara Karya - TEMPO interaktif - Gatra - Kompas Cyber Media - Bisnis Indonesia

Bahan Kliping: Forum Pemerhati Masalah Konsumen

 

 

1
Hosted by www.Geocities.ws