Pesan Dari Konsumen

Asuransi

Bank

Telepon & Ponsel

Perjalanan

Mobil & Motor

Toko & Restoran

Properti & Hotel

Jasa Pengiriman

Penerbangan

Elektronik

Listrik & Air

Kesehatan

Ragam Pesan

 

SITUS MITRA

Daftar Alamat

Punya Masalah?

Logo Bisnis

Biografi Anda

Pustaka eBook

Kliping Media

Mailing List

Kliping Surat Pembaca Dari Berbagai Media Massa

 

 

Perjalanan (3)

1| 2| 3| 4| 5| 6

 

Antara Smailing dan Setia Tour

Tanggal Saya membeli paket tur ke Hongkong dari Setia Tour dengan harga 506 dollar AS perorang twin sharing. Sesudah itu, saya menerima konfirmasi status OK, dengan harga 506 dollar AS dari faksimile yang dikirim oleh Setia Tour. Pada tanggal 5 November 2002 pagi, suami saya datang ke Kantor Setia Tour dan membayar 506 dollar AS per orang. Tapi belum bisa issue tiket, dengan alasan paket tur itu diambil dari Smailing Tour, dan yang bisa issue tiket adalah Smailing Tour. Kepada suami saya diberikan kuitansi tanda terima dengan harga 506 dollar AS per orang, dan dijanjikan bahwa tiket akan di issue sore harinya. 

Pada siang hari, Bapak Eric dari Setia Tour menelepon dan mengatakan bahwa harga paket tur tersebut sudah berubah menjadi 662 dollar AS per orang. Dan, saya harus membayar kekurangannya. Saya kecewa dan merasa dirugikan oleh Setia Tour, karena sebelumnya saya sudah memboking di biro perjalanan lain, tapi dibatalkan karena percaya dengan Setia Tour. Ternyata, biro perjalanan yang dipercaya bekerja tidak profesional dan dengan mudahnya mempermainkan harga. Apalagi saya sudah membayar tunai dalam bentuk dollar AS.


Pengemudi Bus Hiba Utama

Mengecewakan, pengemudi bus Hiba Utama (nomor pintu 85) dengan nomor polisi B 7755 -- (lupa dua huruf terakhir). Tanggal 14 Juni 2003, bus Hiba Utama dicarter oleh TK Nurul Iman Cipinang Baru Bunder dengan tujuan Taman Bunga Puncak, Cipanas. Sekitar pukul 17.55, saya belum selesai menurunkan barang-barang (tas dan lainnya), namun tanpa pemberitahuan dari kondektur serta pengemudi, bus tersebut langsung nyelonong pergi, padahal jam carter bus berakhir pada pukul 21.00. Barang-barang terbawa, dan kejadian tersebut langsung saya laporkan ke pool bus Hiba Utama di Klender, Jakarta Timur.

Sementara itu, bus Hiba Utama kedua yang datang terlambat sekitar 10 menit dari bus Hiba Utama pertama (mencarter 2 bus). Pengemudi serta kondektur bus Hiba Utama kedua berjanji akan mencari barang- barang berupa tas yang terbawa pada bus Hiba Utama pertama, dan meminta nomor telepon saya agar dapat dihubungi. Saya kemudian ke pool Hiba Utama di Jalan Raya Bekasi Timur Km 17, Klender, Jakarta Timur, untuk melaporkan secara langsung karena laporan via telepon dan melalui awak bus Hiba Utama kedua tak ada tanggapan.

Namun, saya hanya mendapatkan janji seperti yang disampaikan pengemudi bus Hiba Utama kedua. Karena tidak ada tanggapan, saya ke pool Hiba lagi dan betapa kecewanya karena jawaban dari petugas atau staf di pool Hiba Utama belum menemukan pengemudi bus Hiba Utama yang membawa barang dimaksud. Mengherankan, apa tidak ada identitas pengemudi sehingga dapat disimpulkan bus Hiba Utama menggunakan pengemudi tembak/magang. Ini dilihat dari cara meninggalkan rombongan yang langsung nyelonong pergi seperti disengaja.


Taksi Tidak Tanggung Jawab

Tanggal 18 Juli sekitar pukul 12.30, sepeda motor saya bertabrakan dengan taksi Morante (Grup Blue Bird) bernomor pintu 081 dan pengemudi bernama Gideon di dekat Patung Tugu Tani di Jalan Kebon Sirih, Jakarta. Hal itu terjadi karena sopir lalai dan menyerobot lampu lalu lintas.

Mengecewakan, karena setelah kami bicara baik-baik di tempat kejadian, sopir meminta saya ke pool taksinya di Cakung Penggilingan, Jakarta Timur. Saya bertemu Bagian Laka pool taksi dengan kondisi tubuh terluka. Data-data saya dicatat dan mereka berjanji akan menghubungi saya.

Saya hanya bermaksud minta pertanggungjawaban atas biaya rontgen dan perbaikan sepeda motor. Mengecewakan, perusahaan taksi yang mempunyai nama ternyata lambat mengambil tindakan. Beberapa kali saya menghubungi Bagian Laka taksi itu (nomor 4603333) untuk mencari sopir itu dan menanyakan kelanjutan penanganannya, tetapi mereka selalu menjawab bahwa sopirnya tidak datang dan sedang diproses. Sampai kapan? Pihak perusahaan taksi itu tidak pernah menghubungi saya.


Bayi Sakit Naik Taksi

Tanggal 3 Desember, anak saya (10 bulan) mendadak sakit. Ketika itu saya masih di tempat kerja sehingga ibu dan istri membawa ke rumah sakit terdekat yaitu RS Tria Dipa yang berjarak sekitar 1,5 kilometer dari tempat tinggal. Karena dalam kondisi darurat, maka mereka tidak memilih taksi dan "terpaksa" naik taksi yang kebetulan melintas yaitu "Tiffany" (warna ungu dengan nomor pintu 52xx). Nama pengemudi sengaja ditutup-tutupi, mungkin pengemudi "tembak". 

Jarak antara rumah dengan rumah sakit terlalu dekat, dan ibu saya sudah berbicara dengan pengemudi untuk membayar lebih. Namun, yang terjadi, dalam perjalanan yang hanya sekitar 5 menit, si pengemudi tidak henti-hentinya memaki istri dan ibu saya, mungkin karena jaraknya yang dekat. Karena kondisi anak yang sedang sakit, maka ibu dan istri mengalah, takut diturunkan di tengah jalan. Bagaimana perusahaan taksi tersebut mendidik moral para pengemudinya? Saya tidak perlu permintaan maaf dan sudah trauma untuk naik taksi dari perusahaan tersebut.


Buruk, KRL "Depok Ekspres"

Pelayanan kereta rel api (KRL) "Depok Ekspres" buruk dan mengecewakan. Semakin lama kinerjanya semakin memburuk. Sebagai pelanggan tetap dengan menggunakan kartu berlangganan-kartu trayek bulanan (KTB)-dengan harga Rp 225.000 per bulan yang dibayarkan setiap tanggal 1 sebelum pemakaian, saya harus menunggu kereta yang setiap hari datang terlambat. Belum lagi AC mati total, dan tidak layak disebut KRL AC "Depok Ekspres". Pada sore hari jam pulang kantor terlihat banyak penumpang gelap membayar di atas kereta Rp 3.000 per orang. Ini benar-benar mengganggu kenyamanan penumpang lain yang membayar penuh Rp 6.000 per orang dan secara berlangganan.

Pemeriksaan yang diadakan seminggu sekali di atas kereta dengan mengerahkan anggota polisi dan petugas PT Kereta Api (KA) tampaknya tidak mengubah keadaan. Pernah saya mengadukan hal-hal mengenai kenyamanan kepada Kepala Stasiun Depok Lama (Bpk Ahmad) lewat telepon, namun jawabannya: "memang begitu adanya". Apakah pantas jawaban seorang kepala stasiun seperti itu terhadap pelanggannya. Seharusnya pejabat PT KA dapat mengantisipasi keadaan ini sehingga kinerjanya menjadi lebih baik, dan pengguna jasa layanan tidak terus-menerus kecewa.


Kereta Bisnis dan Ekonomi

Beberapa waktu lalu, saya menggunakan Kereta Api (KA) Sawunggalih Utama, Purwokerto-Pasar Senen, Jakarta. Ini adalah pengalaman pertama menggunakan KA Bisnis karena biasanya menggunakan bus Patas AC. Sebelumnya saya juga sering menggunakan KA ekonomi (KA Logawa) Purwokerto-Solo/Yogyakarta. Selama perjalanan, saya mencoba membandingkan servis KA Sawunggalih Utama yang katanya kelas bisnis dengan KA Logawa (kelas ekonomi), dan bus Patas AC.

Tidak ada beda antara Sawunggalih Utama (bisnis) dengan Logawa (ekonomi). Tiket yang harganya jauh di atas tiket bus Patas AC banyak yang dijual tanpa nomor tempat duduk. Ini sama dengan servis KA ekonomi. Menurut petugas, jatah untuk Stasiun Purwokerto, yaitu gerbong dua dan tiga, penuh. Jika gerbong lain yang menjadi jatah stasiun sebelumnya ada yang kosong boleh ditempati. Ternyata komputer PT KAI belum on-line antarstasiun.

Kenyamanannya juga amat memprihatinkan. Begitu banyak pedagang asongan, peminta-minta, dan pengamen. Kalau cuma sekadar mencari penghidupan masih bisa dimaklumi, tetapi ada sebagian di antara mereka yang setengah memeras. Lalu apa bedanya dengan servis KA ekonomi? Kepada pimpinan PT KAI saya ingin bertanya apakah tidak pernah menikmati perjalanan menggunakan KA ekonomi atau bisnis? Mengapa saya tidak merasakan perbedaan servis kelas bisnis dengan ekonomi, selain harga tiket lebih mahal dan sebuah tissue (hanya tissue) yang dibagikan secara gratis di kelas bisnis (Sawunggalih Utama)?


Bus Lorena Mengecewakan

Karena urusan pekerjaan di Sumatera, setiap tiga minggu saya harus menempuh perjalanan Padang-Lampung melalui darat (selalu menggunakan bus Lorena). Saya naik bus Lorena Padang-Lampung (13/4) dengan nomor seri mobil LE-141 dan nomor tiket 02-LE 372511 dan 02-LE 372510 untuk 2 orang. Saya membawa barang yang ditaruh di bagasi mobil sebanyak 5 buah (4 tas dan 1 kardus kecil). Naik dari pool Lorena di Jalan By Pass Padang, dan saat menaikkan barang ke bagasi terlihat hanya barang/ tas bawaan saya saja. Selama perjalanan, bus sering berhenti untuk menaikkan dan menurunkan penumpang di jalan sepanjang perjalanan Padang- Lampung.

Sesampainya di Lampung, saya turun di RM Begadang V yang merupakan tempat pemberhentian bus Lorena sebelum melanjutkan perjalanan menuju Jakarta/Bogor. Saat mau menurunkan barang/tas di bagasi, ternyata satu tas tidak ada dan isi bagasi bus sudah penuh dengan barang-barang yang berantakan. Kemudian saya minta penjelasan kepada awak bus, tetapi tidak ada jawaban, dan saya malah disuruh melapor ke pool Lorena di Padang. Akhirnya saat itu juga saya melaporkan kehilangan itu ke pool Lorena di Padang. Saya mendapatkan jawaban, kehilangan tas di bagasi bukan tanggung jawab PT Ekasari Lorena, tetapi tanggung jawab awak bus yang bersangkutan.

Lalu saya dipersilakan mencari sendiri awak bus dan negosiasi sendiri. Saya jadi heran perusahaan sebesar Lorena tak mau bertanggung jawab. Karena kurang puas, saya menghubungi kantor pusat Lorena di Bogor. Oleh Lorena Bogor saya dihubungkan ke bagian marketing (Sdri Dewi), dan disarankan untuk melengkapi dokumen yang dibutuhkan, tetapi terkesan mengada-ada (tidak ada prosedur baku). Setelah itu saya disuruh menunggu untuk diproses di kantor pusat.

Karena sudah terlalu lama menunggu, bahkan saya sudah lebih dari 20 kali menghubungi Sdri Dewi via telepon untuk meminta penjelasan, saya selalu mendapat jawaban yang bersangkutan tidak ada di tempat. Padahal biaya telepon cukup besar dalam rangka ingin tahu sejauh mana tingkat profesionalisme PT Lorena. Ternyata sangat mengecewakan, dan sampai saat ini tas masih belum ditemukan dan tidak ada penjelasan dari PT Lorena.


Pelayanan Buruk Bus Hiba

Awal bulan Juli, kami mengadakan retret anak (sekitar 380 anak) di Puncak, Jawa Barat dengan menggunakan enam bus besar (59 kursi) dan satu bus kecil (25 kursi). Pada waktu keberangkatan, seharusnya panitia berangkat terlebih dahulu pukul 06.00 dengan menggunakan bus kecil, tetapi bus Hiba tidak datang tepat waktu. Bus baru datang pukul 08.30, dan itu pun dihubungi terlebih dahulu ke kantor pusat Hiba.

Dalam perjalanan, salah satu bus besar harus berhenti tiga kali di Jalan Tol Jagorawi untuk mengecek oli dan mengisi oli. Itu menandakan bus tidak laik jalan. Sesampainya di tempat tujuan, para sopir meminta uang tol pulang dan tip yang cukup besar, malah ada dua orang sopir yang mengancam tidak mau jalan apabila tidak diberi uang tol sebesar Rp 20.000, padahal kami sudah memberikan uang tol tersebut sebesar Rp 7.000 untuk kembali ke Jakarta.

Dalam perjalanan pulang sekitar pukul 15.00, kami mengalami pelayanan yang lebih buruk, yaitu para sopir ugal-ugalan ngebut di Puncak sampai kena tilang oleh polisi, dan uang tilang kami yang tanggung sebesar Rp 40.000. Kemudian salah satu bus (No Pintu 163) mengalami satu ban bocor dan dua ban kempes sekitar pukul 16.30, di daerah Cisarua sehingga harus berhenti di daerah Rajamangun Km 8 (belok kiri sebelum masuk Tol Jagorawi arah Bogor).

Seharusnya masalah itu bisa diatasi apabila bus tersebut mempunyai peralatan standar, yaitu dongkrak. Ternyata mereka tidak mempunyai dongkrak sehingga kami telantar. Lalu kami menghubungi Bus Hiba lainnya, tetapi jawabannya sama, yaitu juga tidak membawa dongkrak.

Apakah semua bus Hiba tidak mempunyai dongkrak, dan kami sudah berusaha menghubungi kantor pusat berulang kali tetapi hanya diping-pong (lima orang) tidak ada yang mau bertanggung jawab? Dalam situasi tersebut anak-anak merasa takut, karena hari sudah malam dan juga lapar, maka kami panitia harus mengeluarkan biaya ekstra sebesar Rp 960.000 untuk membeli makanan, dan biaya penambalan ban juga ditanggung oleh kami sebesar Rp 30.000.

Akhirnya dengan bantuan penduduk setempat kami bisa melanjutkan perjalanan pulang ke Jakarta, dan tiba di Jakarta pukul 21.40. Kami, panitia dan orangtua peserta retret, sangat cemas, kesal, marah, dan lelah atas kejadian itu. Kami diperlakukan secara tidak adil dan tidak bertanggung jawab oleh PT Hiba Utama.


Penjualan Tiket KA Parahyangan

Awal September kami diundang kerabat untuk menghadiri pesta pernikahan tanggal 28 September di Bandung. Saya dan istri menggunakan Kereta Api (KA) Parahyangan, berangkat tanggal 27 dan kembali 28 September.

Pada tanggal 12 September, kami ke Stasiun Gambir, Jakarta, untuk membeli tiket (sekitar dua minggu sebelum keberangkatan). Namun, petugas mengatakan tiket baru bisa dijual seminggu sebelum hari keberangkatan.

Tanggal 23 September sore kami mengisi formulir untuk membeli tiket pergi pulang di Stasiun Gambir (loket 20). Setelah mendapatkan tiket keberangkatan untuk pukul 11.50, kami meminta tiket untuk pulang. Petugas meminta kami pergi ke loket 23, tetapi tiket untuk pulang tanggal 28 September sudah habis.

Keesokan harinya (24/9), kami ke Stasiun Gambir untuk mengembalikan tiket tersebut dengan potongan 25 persen dari harga tiket. Kami kecewa, mengapa tiket belum bisa dibeli jauh hari sebelum tanggal keberangkatan? Ketika kami datang membeli tiket (23/9), ternyata tiket untuk tanggal 28 September sudah habis.

Petugas loket dalam melayani calon penumpang KA tidak profesional. Ketika kami mengembalikan tiket, di depan kami ada seseorang yang memesan tiket dan tampaknya orang tersebut sudah mengenal dan sangat akrab dengan petugas loket sehingga tiket tersedia. Seharusnya petugas melayani dengan terbuka, jujur, ramah, dan cepat sehingga citra PT Kereta Api Indonesia di mata masyarakat baik.


Koperasi Taksi Indonesia Kurang Tanggap

Hari senin, 1 desember 2003, pukul 18.20 WIB, saya terpaksa naik taksi Koperasi Taksi Indonesia karena tak sempat order taksi langganan saya (Blue Bird) dari Pondok Kopi menuju Jl Saharjo 39. Namun dari beberapa barang yang saya bawa, ada satu yang tertinggal dan sangat vital, yaitu TAS beserta isinya (dompet, uang, ktp, atm, dll) dan juga barang-barang berharga lainnya.

Empat menit setelah kejadian tersebut saya langsung telepon ke pool Koperasi Taksi Indonesia di nomor 8408877 namun tak ada yang angkat. saya coba terus dengan mengotomatiskan redial, tapi tak juga ada yang angkat hingga pukul 10 malam. Besok paginya saya coba lagi telepon mulai jam 06.00 hingga 11.00 wib, dan ternyata nasib saya tak berubah, dicuekin.

Saya masih ingat nama supir taksi itu adalah Sri Suyatno dengan nomor body mobil, (saya agak lupa antara 112 atau 121) yang jelas kejadian ini sangat mengecewakan saya terhadap taksi lain selain taksi yang biasanya saya order. Yang jadi pertanyaan saya adalah apakah kantor/pool taksi Koperasi Taksi Indonesia itu benar-benar ada atau fiktif?


 

Sumber Kliping: Kompas - Media Indonesia - Suara Pembaruan - Republika - Suara Karya - TEMPO interaktif - Gatra - Kompas Cyber Media - Bisnis Indonesia

Bahan Kliping: Forum Pemerhati Masalah Konsumen

 

 

1
Hosted by www.Geocities.ws