Home | Film Favorit

FILM FAVORIT

Kelompok #6

  1. All the President's Men (Alan J. Pakula) -- Potret kegigihan dua wartawan Washington Post membongkar skandal Watergate, tak kalah mengasyikkan daripada kisah detektif. (Di sisi lain, membandingkannya dengan situasi Indonesia, malah jadi termangu-mangu. Jangankan oleh wartawan, oleh aparat penegak hukum pun banyak kasus atau oknum yang untouchable.)

  2. The Abyss (James Cameron) -- Close Encounter of the Third Kind di dasar palung, dengan bumbu percintaan yang seperti gladi resik untuk Titanic.

  3. Around the World in 80 Days (Michael Anderson) -- Wisata budaya dan petualangan keliling dunia bersama Phileas Fogg dan Passepartout. Kalau Tin-Tin dan Asterix perlu berganti judul untuk setiap kunjungan ke berbagai situs, gentleman Inggris itu berkeliling globe satu putaran dalam, ya, tentu saja, 80 hari. Salah satu daya tarik Film Terbaik Oscar 1956 ini, waktu itu, adalah deretan cameo-nya. Tapi sekarang, hampir setengah abad kemudian, siapa yang masih mengenal wajah-wajah itu? Kecuali kalau sampeyan cukup sabar menekuni credit titles yang memberikan clue "Oh, si Anu muncul di sini dst." Hm, betapa cepat pudarnya kilau selebritis itu. Yang agak mengganggu: Putri Indianya wagu (Shirley MacLaine!), dan perjalanan itu dipicu oleh perjudian. Namun, gampang membayangkan Jackie Chan menggantikan Cantinflas sebagai Passepartout -- mereka mungkin bersaudara 8-D !

  4. Balto (Simon Wells) -- Kepahlawanan seekor peranakan anjing-serigala, membawa antitoksin difteri dari Nenana ke Nome, menembus berbagai kemustahilan di belantara salju Alaska. Pengisi suara, a.l.: Kevin Bacon, Bob Hoskins, Bridget Fonda, Phil Collins dan Jim Cummings.

  5. Blade Runner (Ridley Scott) -- Apa sih yang membuat kita ini manusia, membedakan kita dari makhluk-makhluk lain? Kutipan menarik: "I've seen things you people wouldn't believe. Attack ships on fire off the shoulder of Orion. I watched c-beams glitter in the dark near the Tanhauser Gate. All these moments will be lost in time. Like tears in rain. Time to die." (Rutger Hauer berkomentar, dia sebenarnya nggak mudheng dengan solilokui Roy Batty menjelang 'pensiun' di tengah guyuran hujan ini; ia cuma merasa kalimat-kalimat itu imajinatif banget.)

  6. Chicken Run (Peter Lord dan Nick Park) -- Claymation, konon, jenis animasi yang paling rumit pengerjaannya. Karenanya, salut untuk Aardman dan DreamWorks yang mau menyingsingkan lengan baju dan berkolaborasi menggarap proyek ini. Sedihnya, sudah empat tahun, dan belum ada yang mengikuti jejaknya. Hm, pagar itu rupanya memang ada di dalam kepala.

  7. Chinatown (Roman Polanski) -- "The future, Mr. Gits -- the future!" Skandal keluarga berbelit dengan skandal perairan kota Los Angeles tahun 1930-an, diendus oleh Jake Gittes, detektif swasta dengan hidung terbebat. Setelah tamparan berulang menyingkapkan masa lalu yang karut-marut, semua tokoh penting berkumpul untuk sebuah ending yang muram di Chinatown. "Forget it, Jake, it's Chinatown." (Dinominasikan untuk sebelas Oscar, hanya membawa pulang satu piala, Skenario Terbaik oleh Robert Towne. Bersama dengan Day for Night, dipilih Time sebagai runner-up film terbaik abad ini; film terbaiknya Citizen Kane.)

  8. Close Encounters of the Third Kind (Steven Spielberg) -- They were invited! Sesungguhnya jika kamu tidak menjadi seperti anak kecil (Roy ingin nonton Pinocchio!), kamu tidak akan masuk ke dalam... pesawat makhluk angkasa luar yang bagaikan tiara dan memancarkan cahaya surgawi ini. [Trivia: "When You Wish Upon a Star" berdenting dari music box di rumah Roy, lalu dikutip lagi pada bagian penutup.]

  9. Dead Again (Kenneth Branagh) -- Rebecca ketemu Wuthering Heights ketemu Vertigo.

  10. Dick Tracy (Warren Beatty) -- Yang paling mencolok tentu saja tata artistiknya, yang berhasil menciptakan kota setengah riil setengah fantasi. Film ini hanya menggunakan tujuh warna primer yang biasa dipakai dalam komik, warna-warna seperti permen (jaket dan topi sang jagoan warnanya kuning!), menyerupai adegan-adegan di Negeri Oz dalam The Wizard of Oz. Para pemain dan penampilannya masing-masing juga mengesankan, antara lain Beatty sebagai sang jagoan (yang gamang mencintai wanita dambaan hati gara-gara terlalu asyik dengan pekerjaan), Al Pacino sebagai Big Boy Caprice (betul-betul bikin pangling!), Dustin Hoffman sebagai Mumbles (nyaris mengulangi penampilannya dalam Rain Man) dan mbakyu Madonna (memerankan Breathless Mahoney yang mirip Rahab, si pelacur penuh iman itu). Saat menyimak deretan tokoh penjahat, terpikir olehku: bagaimana ya kalau kepribadian kita tercetak gamblang pada raut wajah kita? Sedangkan Kid, bukankah ia mewakili kerinduan kita akan sosok hero dan sosok seorang ayah? Ia pun menyebut dirinya Dick Tracy Jr. Sebagai film yang diangkat dari komik, Dick Tracy tergolong memuaskan, sekelas dengan Superman I & II serta X-Men dan X-2.

  11. Driving Miss Daisy (Bruce Beresford) -- Persahabatan sepanjang 25 tahun. Dituturkan hanya dalam durasi 96 menit, namun tidak terkesan terburu-buru, malah benar-benar bak air tenang menghanyutkan. Dinamika emosi Miss Daisy dan Hoke Colburn terungkap melalui bahasa tubuh, sorot mata dan nada suara yang penuh nuansa dan kaya makna. Make-up-nya juga terasa alamiah. A very subtle, beautiful film.

  12. The Education of Little Tree (Richard Friedenberg) -- Kisah ala Heidi berlatar suku Indian Cherokee. Subplot paling menyentuh: Persahabatan Little Tree dengan si gadis kecil, yang melibatkan anak sapi hingga mokasin.

  13. Ferris Bueller's Day Off (John Hughes) -- Bueller membolos, menyusahkan... Kepala Sekolah! Komedi bertopik usang (perlawanan terhadap otoritas guna mengecap kemandirian) ini dipadukan dengan travelogue ke Chicago. Dan Ferris bukan hanya ingin bersenang-senang, ia juga memaksudkannya sebagai sebentuk terapi bagi kawannya. Ia bahkan kadang-kadang -- dalam lagak penyiar yang langsung berbicara pada pemirsa -- terdengar seperti seorang filsuf ("Life goes by so fast that if you don't stop and look around, you might miss it.") Dan di sepanjang film, secara langsung atau tidak langsung ia mengubah orang-orang di sekelilingnya -- menjadi lebih baik atau lebih buruk (dia sendiri tetap biang onar populer berwajah polos: “The sportos, the motorheads, geeks, sluts, bloods, waistoids, dweebies, dickheads—they all adore him. They think he's a righteous dude.”) Perubahan paling ajaib, menurutku, terjadi pada Jean, kakaknya. Perhatikan perbedaan wajahnya pada awal dan akhir film. Semula ia diliputi benci dan cemburu karena tidak bisa seperti adiknya. Setelah berciuman dengan cowok cakep di kantor polisi (ciuman simbol penerimaan, seperti dalam dongeng puteri mencium katak), ia pun belajar menerima orang lain, dan dengan satu kedipan mata, ia menyelamatkan Ferris. Adegan asyik: Ferris di atas mobil karnaval menyanyikan "Twist and Shout." Catatan: Kenapa dalam film semacam ini, generasi muda selalu dimenangkan, dan orang tua mesti belajar memahami anak-anaknya? Adakah film yang secara bagus menggambarkan sisi penyeimbangnya: bahwa generasi muda juga perlu menghargai dan belajar memahami dunia orang tua mereka? Kutunggu komentar Anda!)

  14. Field of Dreams (Phil Alden Robinson) -- Aku tidak mudheng seluk-beluk baseball, namun aku bisa mengerti tema-tema universal yang diusung film ini: impian (keberanian untuk bermimpi dan menjadi seperti seorang anak kecil); dukungan terhadap impian orang yang kita kasihi (antara suami dan isteri; antara anak dan ayah); dan nostalgia: "The one constant through all the years, Ray, has been baseball. America has rolled by like an army of steamrollers. It's been erased like a blackboard, rebuilt, and erased again. But baseball has marked the time. This field, this game, is a part of our past, Ray. It reminds us of all that once was good, and that could be again. Oh people will come, Ray. People will most definitely come." (Trivia: Siapa yang mengisi suara untuk "Suara"? Untuk siapa film ini dipersembahkan? Let's the credit roll....)

  15. Girl With a Pearl Earring (Peter Webber) -- Proses kreatif -- baik dari sisi teknis maupun dari sisi refleksi inspirasional -- seorang pelukis. Mulai dari saat si pelukis memandang kecantikan polos sosok gadis pelayan dalam terang matahari yang menerobos kaca jendela studionya sampai saat si gadis melihat lukisan hasilnya, "Kau melihat ke dalam hatiku!", kita diajak melihat kecantikan sebagai misteri keindahan, bukan sebagai pemantik hawa nafsu. Itulah sebabnya si pelukis berteriak pada isterinya, "Kau tidak mengerti!" Scarlett Johansson memang mempesona: tanpa banyak berbicara, ia mengungkapkan nuansa emosi yang amat kaya.

  16. The Guys (Jim Simpson) -- Are you o.k.? (Menemukan film ini terjajar di rak, aku merasa lega dan trenyuh. Distributor Indonesia memang kadang tak terduga. Christianity Today mencatat film ini sebagai salah satu unseen treasures di antara film-film 2003. Eh, siapa sangka malah nongol di sini?)

  17. Glengarry Glen Ross (James Foley) -- Yang ini tak perlu banyak komentar. Cukup begini: Al Pacino, Jack Lemmon, Alec Baldwin, Ed Harris, Kevin Spacey, Alan Arkin, Jonathan Pryce dalam skenario cergas David Mamet tentang "kejam"-nya salesmanship. Alway Be Closing! ***)

  18. The Hours (Stephen Daldry) -- Upaya tiga orang wanita dalam mengejar (ya, 'membeli'!) kebahagiaan atau kepuasan hidup. Sayangnya, keputusan-keputusan yang mereka ambil menjadikan kisah mereka seperti serangkaian puisi sedih: indah, namun menyayat hati. Kurang jauh menggerapai....

  19. In America (Jim Sheridan) -- Perjalanan sebuah keluarga untuk menepiskan masa lalu dan membangun kehidupan baru di sebuah lingkungan baru. Tawa dan tangis berbaur dalam 'koreografi' akting menawan kelima pemeran kunci: pembelian AC murahan; Johnny mempertaruhkan segalanya untuk memenangkan boneka E.T. bagi Ariel; Sarah bertekad mempertahankan kehamilannya yang berisiko; konfrontasi antara Johnny dan Mateo; dan pada akhirnya, saat mereka memandang rembulan di langit New York, oh, rupanya justru Johnny-lah yang paling dihantui oleh bayang-bayang Frankie.

  20. Italian for Beginners (Lone Scherfig) -- Percintaan enam orang yang limbung, masing-masing mesti bergumul dengan suatu krisis dalam kehidupan pribadi mereka.

  21. Jerry Maguire (Cameron Crowe) -- Apa sih sukses itu?

  22. Kill Bill, Vol. 1 (Quentin Tarantino) -- "Balas dendam itu seperti hutan," kata Hattori Hanzo. Dan QT membesut kisah khas genre kung-fu itu dengan penuh gaya -- dengan penuh darah. Ia seperti bocah yang asyik mempertontonkan kemahirannya main video game karena telah menguasai kiat-kiat untuk memenangkan setiap pertempuran, level demi level. Karena gaya main-mainnya itu, aku pun tak terlalu serius menanggapi banjir darah di sepanjang film ini -- berbeda dengan Once Upon a Time in America, misalnya, yang gaya penyampaiannya amat muram dan berat. Sejumlah segmen menarik dicatat: animasi mencengangkan tentang latar belakang O-Ren Ishii; interaksi khidmat dengan Hanzo, sang pembuat pedang; dan, tentu saja, duel mencekam antara The Bride (mengenakan kostum ala Bruce Lee) dan O-Ren (mirip, namun tanpa alis khas dan tidak sedingin Lady Kaede di Ran) menampilkan kontras bagus keheningan dan keelokan taman Jepang versus kekerasan dan kelihaian olah pedang, plus musik latar yang pas banget dan pancuran terangguk-angguk di latar depan yang memberikan ketukan magis tersendiri. Sebagai bahan perenungan? Hm, kayaknya mesti menunggu Vol. 2, yang menurut kabar mengurangi porsi laganya dan memberi ruang lebih lapang untuk drama antarmanusia, untuk mendapatkan lebih dari sekadar kisah gigi ganti gigi. (Eh, ngomong-ngomong, ini kung-fu feminis 'kah? Semua tokoh laki-lakinya konyol, termasuk Hanzo yang kekhidmatannya lebih mirip dengan sosok punakawan dalam tradisi wayang.)

  23. Lethal Weapon (Richard Donner) -- Film semacam inilah yang kucari kalau hanya ingin menikmati "hiburan": ringan, tanpa muatan sosial/psikologis/religius dsb. yang rumit-rumit, namun diolah secara elegan dan berkualitas. Adegan laganya tidak asal bak-buk dan dar-der-dor, namun tertata rancak. Chemistry antara Mel Gibson dan Danny Glover nyaris seperti hubungan ayah-anak, bukannya mitra kerja.

  24. Jo March & Friedrich BhaerLittle Women (Gillian Armstrong) -- Persaudaraan. Persahabatan. Pernikahan. Ya, ketiga putri keluarga March akhirnya menikah, dan semuanya dimulai dari tempat yang tepat: persahabatan. Beth tak sempat menikah, namun telah mengcap yang terindah dari persaudaraan dan persahabatan. Adegan saat ia menerima hadiah piano pada hari Natal itu betul-betul joyful. Sang ibu bukan hanya pengayom, namun juga sahabat bagi putri-putrinya. Nasihat terbaiknya: "If you feel your value lies only in being merely decorative, I fear that someday you might find yourself believing that's all you really are. Time erodes all such beauty, but what it cannot diminish is the wonderful workings of your mind." Tokoh yang paling dinamis tentu saja Jo. Ia memilih untuk bersahabat saja dengan Laurie, dan kemudian bertemu dengan Friedrich Bhaer. Pria ini secara obyketif mengkritik karya awal Jo, dan menantangnya untuk mengeluarkan kecakapan terbaiknya. Dan Jo pun menulis Little Women. Tentang buku ini, Bhaer berkomentar, "Reading your book was like opening a window into your heart." Lalu ia melamar Jo dengan tulus, "But I have nothing to give you. My hands are empty." Jo menyambut tangannya: "Not empty now." A romantic, heartwarming movie.

  25. The Lord of the Rings: The Return of the King (Peter Jackson) -- I'm speechless.

  26. Lost In Translation (Sofia Coppola) -- Harry dan Sally pernah bertanya-tanya, bisakah pria dan wanita bersahabat, tanpa mesti berakhir di atas tempat tidur? Dengan film ini, Sofia Coppola menjawab secara lembut: BISA. Sepasang pria dan wanita kesepian bertemu tak harus berakhir dengan pertukaran cairan tubuh, cukup dengan berbagi dan curhat. Coppola sempat memberikan pengontrasan melalui si penyanyi bar, yang hanya menginginkan tubuh Bob. Saat berpisah, dengan Bob membisikkan pada Charlotte sesuatu yang tak bisa (tak boleh?) kita dengar, kurasa mereka telah diperlengkapi dengan sesuatu yang berharga, guna menjalani kehidupan dan pernikahan mereka secara lebih baik.

  27. Magnolia (Paul T. Anderson) -- Oh, hujan katak!

  28. The Man on the Train (Patrice Leconte) -- Persahabatan tak terduga. Paduan akting Jean Rochefort dan Johnny Hallyday (tampang Hallyday sekilas mirip Dicky "Si Pitung" Zulkarnein) cool banget. Dan ending-nya misterius. Menurutku, pada akhir hidup mereka, keduanya sama-sama membayangkan impian terpendam, sesuatu yang paling ingin mereka lakukan, dan dalam beberapa hari terakhir itu terasa begitu dekat untuk diraih. Ataukah, keduanya benar-benar bertukar kehidupan?

  29. Master and Commander: The Far Side of the World (Peter Weir) -- Persahabatan di tengah kapal perang. Berbeda dengan Pirates of the Caribbean yang ngepop itu, di sini kita betul-betul diundang mengalami seluk-beluk kehidupan di atas kapal pada era ketika pelaut harus mengandalkan layar dan angin. Penampakan Acheron yang seperti hantu itu efektif memantik ketegangan. Gelombang laut dan pertempurannya dahsyat. Setelah membuat kita mabuk laut, persinggahan di Galapagos benar-benar sebuah tamasya menyegarkan.

  30. Mildred Pierce (Michael Curtiz) -- Sebenarnya ini film lumayan tentang tragedi salah asuhan garapan sutradara Casablanca dengan akting kelas Oscar Joan Crawford (her sole Academy Award win out of three career nominations). Namun, aku sudah kadung jengkel karena yang kudapat adalah versi yang telah diwarnai oleh Tn. Ted Turner. Jadi, ya sudah, no further comment-lah.

  31. Moulin Rouge (Baz Luhrmann) -- Tell that story, Christian!

  32. Mumford (Lawrence Kasdan) -- Roger Ebert memberinya ***1/2. Pauline Kael mengomentarinya sebagai "a charming movie". Aku pun menyewanya, dan Mumford tidak mengecewakan: sebuah film tentang seni mendengarkan -- seni yang dikembangkan dari pengalaman hidup ini nyatanya bisa membikin bangkrut layanan yang ditawarkan psikolog profesional.

  33. Mystic River (Clint Eastwood) -- Film yang bikin aku MARAH.

  34. November 1828 (Teguh Karya) -- Kisah film ini berlatar perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap Belanda. Namun, alih-alih menampilkan sosok kharismatis ini, Teguh Karya memilih menyoroti peran wong cilik dalam perjuangan tersebut.

  35. O Brother, Where Art Thou? (Joel Coen) -- Komedi berlatar Mississippi pada Era Depresi, dengan sinematografi yang menonjolkan warna-warna tanah. Di awal film, seorang lansia buta menjalankan rail car, jenis kendaraan yang biasa dipakai Donal Bebek, sepanjang rel kereta. Ia bernubuat pada tiga pelarian yang menumpang, bahwa mereka "will see many strange things" dan "will find a fortune, but not the fortune they seek." Dan, nikmatilah, petualangan ganjil penuh gelak dalam plot longgar, diiringi rangkaian musik dari bluegrass hingga black gospel, sampai ketiga pelarian itu dilanda (ya, dilanda!) "baptisan": pengampunan cuma-cuma, dan sebuah awal yang baru. Lagu paling renyah: I Am a Man of Constant Sorrow. Kalimat sedap: "Kalian mungkin sudah berdamai dengan Tuhan, tapi Mississippi lebih keras kepala."

  36. Oliver & Company (George Scribner) -- Not a cute Disney flick.

  37. Parenthood (Ron Howard) -- Repotnya jadi orang tua, bahagianya punya anak. Bukan nasihat yang bagus tentang parenting, namun sebuah potret yang jujur, dan karenanya reflektif. Sebagian besar tokoh adalah ayah dan sekaligus anak -- dengan gaya dan pendekatannya masing-masing, mulai dari menggelikan, memilukan, mengharukan sampai yang membuat kita mengelus dada. Steve Martin, Mary Steenburgen, Diane Wiest dan Jason Robards tampil mantap. Tom Hulce sempat mengikik ala Mozart. Ada pula Keanu Reeves dan Joaquin Phoenix (pakai nama Leaf Phoenix) yang masih culun-culun. Helen Shaw mencuri perhatian sebagai Grandma, khususnya dengan filosofi roll-coaster-nya. Dan, silakan hitung berapa generasi yang terkumpul saat film berakhir!

  38. The Pianist (Roman Polanski) -- Rasanya seperti nonton film berjudul "Air," namun latarnya sebagian besar di gurun pasir. Di tengah men's inhumanity toward men, musik menjadi simbol anugerah dan daya hidup yang tak terpadamkan. Permainan piano tunggal -- bening, tanpa sentuhan orkestrasi (kecuali pada bagian penutup) -- benar-benar terdengar seperti ricikan air sejuk menyegarkan. Saat Wlady bermain untuk perwira Nazi itu, batas antara sekutu dan seteru pun lebur, dan mereka bersitatap sebagai sesama manusia. Adegan-adegan tak terlupakan lainnya justru adegan-adegan kecil: seorang pria lansia Yahudi dibentak karena berjalan di trotoar; seorang pria merebut kaleng bubur, dan melahapnya seperti anjing... setelah bubur itu tumpah ke jalan; dan pembangunan tembok ghetto dalam dua shot mencekam. A heartbreaking, beautiful film.

  39. Pieces of April (Peter Hedges) -- A small gem. Drama/comedy about love, acceptance, forgiveness. It's take an apartment to cook a turkey! I left this movie with a smile on my face, and my heart.

  40. Princess Mononoke (Hayao Miyazaki) -- Meminjam istilah Toki saat melihat wajah Ashitaka, film ini juga "not handsome, it's gorgeous!" Sosok-sosok manusianya digambar dalam goresan ala komik Tintin (yang sebenarnya diilhami oleh gaya lukis tradisional Jepang), namun hewan-hewan, aneka makhluk dan roh serta latar tempatnya tampil amat fantastis. Kalau Anda suka segmen "Firebird Suite" dalam Fantasia 2000, nah, ini semacam extended version-nya, namun jauh lebih intens dan kaya detil. Kisah sederhana tentang upaya mematahkan kutuk dan kebencian dengan "eyes unclouded by hate," berlatar konflik antara environmentalism dan industrialisasi, menjadi kompleks karena dipaparkan lewat tokoh-tokoh yang tidak hitam-putih. Makhluk paling nggegirisi: dewa celeng malih jadi roh jahat (mengingatkan pada lukisan-lukisan Djokopekik; namun di sini si celeng adalah korban).

  41. Rocky (John G. Avildsen) -- Cinderella dengan sarung tinju. Adegan menyengat: Mickey menawarkan diri untuk menjadi manajer Rocky, dan Rocky semula menolaknya akibat kekecewaan yang ditelannya selama ini. "I needed your help about ten years ago, right? Ten years ago, ya never helped me none. You didn't care.... I asked, but you never heard nothin'." Diimbuhi dengan kisah cinta yang membumi, lengkap dengan abang Adrian yang mata duitan, it's more than just a sport movie.

  42. Romeo and Juliet (Franco Zeffirelli) -- Sweeter than honey, and bitter as gall. Berayun dari balkon ke kubur bawah tanah -- ya, di situlah adegan paling manis dan paling pedih berlangsung. Di balkon: Cinta pertama yang segar, murni, meluap dengan gairah kemudaan -- a joy to watch! Aku jadi teringat uraian Philip Yancey tentang romance mengutip Charles William: "For a brief time, at least, romance gives us the ability to see the best in one other person, to ignore or forgive flaws, to bask in endless fascination. That state... gives a foretaste of how we will one day view every resurrected person and how God now view us." Rasanya ikut melayang saat Romeo, seperti anak kecil, berlari kegirangan! Di kubur: Oh, pernahkah terbayang, sejoli bergantian meratapi sang kekasih, lalu bunuh diri untuk mengekalkan cinta mereka? (Untung Shakespeare belum teracuni formula Hollywood yang kerap memaksakan happy ending.) Musik latar oleh Nino Rota (juga menggarap musik The Godfather), seperti gumaman yang melenakan: A rose will bloom, it then will fade....

  43. The Rookie (John Lee Hancock) -- Impian itu mengusik lagi, saat kau merasa telah ditelikung oleh usia, dan dicegat oleh cedera. Aku paling terkesan dengan adegan saat Jim Morris menapakkan kaki ke Stadion Arlington untuk pertandingan pertamanya di liga utama (saat usianya sudah 35 tahun!), dipenuhi ketakjuban seperti seorang anak kecil. Sebuah film yang bersih, inspirasional, tanpa harus menjadi cengeng.

  44. Seabiscuit (Gary Ross) -- Akhirnya, seluruh calon peraih Oscar 2003 untuk film terbaik kutonton sudah, dan Seabiscuit kunilai paling lemah. In America atau Finding Nemo, misalnya, lebih pantas menggantikannya. Akting Toby Maguire, Jeff Bridges dan Chris Cooper memang lumayan, namun pengenalan karakter mereka terasa berkepanjangan (Seabiscuit sendiri baru nongol setelah film berputar sekitar 40-an menit) dan tidak diekplorasi lebih jauh dalam babak-babak selanjutnya. Dalam genre-nya sendiri, kisah Men of Honor berpacu kuda ini masih sekian derap di belakang Black Stallion dan National Velvet.

  45. Shaolin Soccer (Stephen Cow) -- Komedi sepakbolanya lebih liar daripada The Cup yang reflektif itu. Bumbu percintaannya sebenarnya bisa mengikuti jejak City Lights, namun Cow memang lebih condong berkomedi ria. Adegan-adegannya yang hiperbolis mengingatkanku pada iklan Yamaha, khususnya versi pidato itu (Siapa meniru siapa, ya?).

  46. Spider-man 2 (Sam Raimi) -- Menjadi superhero adalah sebuah Pilihan.

  47. Spirited Away (Hayao Miyazaki) -- Miyazaki mesti disandingkan dengan Miyazaki. Secara visual, dengan ketekunan Miyazaki menotolkan pernik-pernik memikat dalam setiap inci kanvasnya, keragaman makhluk dalam film ini paling mencengangkan (George Lucas dan Peter Jackson pun harus menelan ludah). Sebagian karakter tampaknya "meminjam" (atau "mengembangkan secara kreatif"?) karakter-karakter dari film sebelumnya. Pengangkut batu bara di dapur perapian dan bus dalam air itu serupa dengan makhluk-makhluk kecil-hitam di rumah baru keluarga Kusakabe dan bus kucing dalam My Neighbor Totoro; sosok Yubaba si penyihir mirip dengan Dola pemimpin bajak-udara dalam Castle in the Sky; sedangkan babi-babi dan Dewa Sungai tentu saja mengingatkan pada Princess Mononoke. Spirited Away menunjukkan bahwa semburan sumur imajinasi sang empu belum juga kering-kering. Namun, dari segi alur pengisahan, klimaks film ini terasa paling datar -- Dewa Sungai, Hantu Tanpa Wajah dan Naga Putih sudah telanjur menyedot perhatian di babak pertengahan. Apa kata Miyazaki? "What my friends and I have been trying to do since the 1970s is to try and quiet things down a little bit; don't just bombard them with noise and distraction. And to follow the path of children's emotions and feelings as we make a film. If you stay true to joy and astonishment and empathy, you don't have to have violence, and you don't have to have action. They'll follow you. This is our principle." (Oh, kalau saja para pembikin sinetron hantu dan tayangan klenik memualkan itu mau belajar....)

  48. Stalag 17 (Billy Wilder) -- Siapa sangka film perang (atau lebih tepatnya: film tentang tawanan perang) bisa selucu ini? Atau, justru di situlah mengharukannya. Di tengah kepengapan, orang terus bergulat untuk menemukan sisi-sisi cerah kehidupan dan mempertahankan pengharapan. Ada pula, tentu saja, upaya untuk meloloskan diri. Kemudian, "seekor tikus" menguji kesetiakawanan di antara mereka. Hm, kedengarannya seperti Life is Beautiful ketemu Chicken Run, ya? (Atau lebih tepatnya: film ini bisa jadi adalah sumber rujukan kedua film tersebut.)

  49. Traffic (Steven Soderbergh) -- Tragedi ruwetnya perdagangan narkoba: Kita berusaha memberantasnya secara lintas bangsa, nyatanya ia menggerogoti keluarga kita sendiri dengan menyusup lewat pintu belakang. Roger Ebert menutup resensinya dengan pernyataan menarik, "The drug war costs $19 billion a year, but scenes near the end of the film suggest that more addicts are helped by two free programs, Alcoholics Anonymous and Narcotics Anonymous, than by all the drug troops put together." Hm, aku jadi teringat pada perkataan Abraham Lincoln, "I have always found that mercy bears richer fruits than strict justice."

  50. Wonder BoysWonder Boys (Curtis Hanson) -- Michael Douglas yang biasanya serba necis, tampil kumal sebagai profesor limbung Grady Tripp dalam drama di sebuah kampus liberal di AS pada sebuah akhir pekan yang edan. Istrinya baru saja meninggalkan dia; ia sendiri selingkuh, dan pacarnya memberitahukan kehamilannya. Tujuh tahun lalu ia menghasilkan novel pemenang penghargaan, namun kini kreativitasnya macet -- manuskripnya menjalar hingga 2000 halaman lebih, berspasi rapat, penuh dengan silsilah kuda tokoh-tokohnya dan catatan gigi mereka. Salah seorang mahasiswi jatuh cinta berat padanya. Saat festival sastra di kampus, agennya datang, dan ia berusaha menolong seorang mahasiswa berbakat yang bermasalah. Keadaan kian memburuk saat ia terlibat dalam pembunuhan anjing, lalu pencurian mobil. Ia benar-benar kumal, suka mengenakan jubah mandi warna pink milik istrinya, tak sempat bercukur, dan menenggak pil. Akhirnya, tidak seperti novelnya yang "reads as if you didn't make any choices,'' ia harus menentukan pilihan. Sayang, Hanson menghabiskan menit-menit terakhir untuk membundelkan sebuah ending yang terlalu manis. Kalau ending Mystic River kubilang terlalu kelam, film ini malah akan lebih menggigit dengan open ending. (Selain di sini, Douglas juga tampil bagus di Traffic, dan dua-duanya terabaikan di ajang Oscar 2000 -- dinominasikan pun tidak.)


Home - Puisi - Fiksi - Renungan - Film - Buku - Artikel

© 2004 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1