Home | Film
Favorit
FILM FAVORIT
Kelompok #6
-
All the President's Men (Alan J. Pakula) --
Potret kegigihan dua wartawan Washington Post membongkar
skandal Watergate, tak kalah mengasyikkan daripada kisah detektif. (Di
sisi lain, membandingkannya dengan situasi Indonesia, malah jadi
termangu-mangu. Jangankan oleh wartawan, oleh aparat penegak hukum
pun banyak kasus atau oknum yang untouchable.)
-
The Abyss (James Cameron) -- Close
Encounter of the Third Kind di dasar palung, dengan bumbu
percintaan yang seperti gladi resik untuk Titanic.
-
Around the World in 80 Days (Michael
Anderson) -- Wisata budaya dan petualangan
keliling dunia bersama Phileas Fogg
dan Passepartout. Kalau Tin-Tin dan Asterix perlu berganti judul untuk
setiap kunjungan ke berbagai situs, gentleman Inggris itu
berkeliling globe satu putaran dalam, ya, tentu saja, 80 hari.
Salah satu daya tarik Film Terbaik Oscar 1956 ini, waktu itu, adalah
deretan cameo-nya. Tapi sekarang, hampir setengah abad
kemudian, siapa yang masih mengenal wajah-wajah itu? Kecuali kalau
sampeyan cukup sabar menekuni credit titles yang
memberikan clue "Oh, si Anu muncul di sini dst." Hm, betapa
cepat pudarnya kilau selebritis itu. Yang agak mengganggu: Putri
Indianya wagu (Shirley MacLaine!),
dan perjalanan itu dipicu oleh perjudian. Namun, gampang membayangkan
Jackie Chan menggantikan Cantinflas sebagai Passepartout --
mereka mungkin bersaudara 8-D !
-
Balto (Simon Wells) -- Kepahlawanan seekor
peranakan anjing-serigala, membawa antitoksin difteri dari Nenana ke
Nome, menembus berbagai kemustahilan di belantara salju Alaska.
Pengisi suara, a.l.: Kevin Bacon, Bob Hoskins, Bridget Fonda,
Phil Collins dan Jim Cummings.
-
Blade Runner (Ridley Scott) --
Apa sih yang membuat kita ini manusia, membedakan kita dari
makhluk-makhluk lain? Kutipan menarik: "I've seen things you
people wouldn't believe. Attack ships on fire off the shoulder of
Orion. I watched c-beams glitter in the dark near the Tanhauser
Gate. All these moments will be lost in time. Like tears in rain.
Time to die." (Rutger Hauer berkomentar, dia sebenarnya nggak
mudheng dengan solilokui Roy Batty menjelang 'pensiun' di tengah
guyuran hujan ini; ia cuma merasa kalimat-kalimat itu imajinatif
banget.)
-
Chicken Run (Peter Lord dan Nick Park) -- Claymation,
konon, jenis animasi yang paling rumit pengerjaannya. Karenanya,
salut untuk Aardman dan DreamWorks yang mau menyingsingkan lengan
baju dan berkolaborasi menggarap proyek ini. Sedihnya, sudah empat
tahun, dan belum ada yang mengikuti jejaknya. Hm, pagar itu rupanya
memang ada di dalam kepala.
-
Chinatown (Roman Polanski) -- "The
future, Mr. Gits -- the future!" Skandal keluarga berbelit
dengan skandal perairan kota Los Angeles tahun 1930-an, diendus oleh
Jake Gittes, detektif swasta dengan hidung terbebat. Setelah
tamparan berulang menyingkapkan masa lalu yang karut-marut, semua
tokoh penting berkumpul untuk sebuah ending yang muram di
Chinatown. "Forget it, Jake, it's Chinatown." (Dinominasikan
untuk sebelas Oscar, hanya membawa pulang satu piala, Skenario
Terbaik oleh Robert Towne. Bersama dengan Day for Night,
dipilih Time sebagai runner-up film terbaik abad ini;
film terbaiknya Citizen Kane.)
-
Close Encounters of the Third Kind (Steven
Spielberg) -- They were invited! Sesungguhnya jika kamu tidak
menjadi seperti anak kecil (Roy ingin nonton Pinocchio!), kamu tidak akan masuk ke dalam...
pesawat makhluk angkasa luar yang bagaikan tiara dan memancarkan
cahaya surgawi ini. [Trivia: "When You Wish Upon a Star"
berdenting dari music box di
rumah Roy, lalu dikutip lagi pada bagian penutup.]
-
Dead Again (Kenneth Branagh) -- Rebecca
ketemu Wuthering Heights ketemu Vertigo.
-
Dick
Tracy (Warren Beatty) -- Yang paling
mencolok tentu saja tata artistiknya, yang berhasil menciptakan kota
setengah riil setengah fantasi. Film ini
hanya menggunakan tujuh warna primer yang biasa dipakai dalam komik,
warna-warna seperti permen (jaket dan topi sang jagoan warnanya
kuning!), menyerupai adegan-adegan di Negeri Oz
dalam The Wizard of Oz. Para pemain dan penampilannya
masing-masing juga mengesankan, antara lain Beatty sebagai sang
jagoan (yang gamang mencintai wanita dambaan hati gara-gara
terlalu asyik dengan pekerjaan), Al Pacino sebagai Big Boy Caprice (betul-betul
bikin pangling!), Dustin Hoffman sebagai Mumbles (nyaris mengulangi penampilannya dalam Rain
Man) dan mbakyu Madonna (memerankan Breathless Mahoney yang mirip Rahab, si pelacur penuh iman itu). Saat menyimak deretan tokoh penjahat,
terpikir olehku: bagaimana ya kalau kepribadian kita tercetak
gamblang pada raut wajah kita? Sedangkan Kid, bukankah ia mewakili
kerinduan kita akan sosok hero dan sosok seorang ayah? Ia pun
menyebut dirinya Dick Tracy Jr. Sebagai film yang diangkat dari
komik, Dick Tracy tergolong memuaskan, sekelas dengan Superman
I & II serta X-Men dan X-2.
-
Driving Miss Daisy (Bruce Beresford) --
Persahabatan sepanjang 25 tahun. Dituturkan hanya dalam durasi 96 menit, namun tidak terkesan terburu-buru, malah benar-benar bak air tenang menghanyutkan. Dinamika emosi Miss Daisy dan Hoke Colburn terungkap melalui bahasa tubuh, sorot mata dan nada suara yang penuh nuansa dan kaya makna. Make-up-nya juga terasa alamiah. A very subtle, beautiful film.
-
The Education of Little Tree (Richard
Friedenberg) -- Kisah ala Heidi berlatar suku Indian Cherokee.
Subplot paling menyentuh: Persahabatan Little Tree dengan si gadis
kecil, yang melibatkan anak sapi hingga mokasin.
-
Ferris Bueller's Day Off (John Hughes) -- Bueller membolos, menyusahkan... Kepala Sekolah! Komedi bertopik usang
(perlawanan terhadap otoritas guna mengecap kemandirian) ini dipadukan dengan travelogue ke Chicago. Dan Ferris bukan hanya ingin bersenang-senang, ia juga
memaksudkannya sebagai sebentuk terapi bagi kawannya. Ia bahkan
kadang-kadang -- dalam lagak penyiar yang langsung berbicara pada
pemirsa -- terdengar seperti seorang filsuf ("Life goes
by so fast that if you don't stop and look around, you might miss
it.") Dan di sepanjang film, secara langsung atau tidak
langsung ia mengubah orang-orang di sekelilingnya -- menjadi lebih
baik atau lebih buruk (dia sendiri tetap biang onar populer berwajah
polos: “The sportos, the motorheads, geeks, sluts, bloods,
waistoids, dweebies, dickheads—they all adore him. They think he's
a righteous dude.”) Perubahan paling ajaib, menurutku, terjadi
pada Jean, kakaknya. Perhatikan perbedaan wajahnya pada awal dan
akhir film. Semula ia diliputi benci dan cemburu karena tidak bisa seperti
adiknya. Setelah berciuman dengan cowok cakep di kantor polisi (ciuman
simbol penerimaan, seperti dalam dongeng puteri mencium katak), ia
pun belajar menerima orang lain, dan dengan satu kedipan mata, ia
menyelamatkan Ferris. Adegan asyik: Ferris di atas mobil karnaval
menyanyikan "Twist and Shout." Catatan:
Kenapa dalam film semacam ini, generasi muda selalu dimenangkan, dan
orang tua mesti belajar memahami anak-anaknya? Adakah film yang
secara bagus menggambarkan sisi penyeimbangnya: bahwa generasi muda
juga perlu menghargai dan belajar memahami dunia orang tua mereka? Kutunggu
komentar Anda!)
-
Field of Dreams (Phil Alden Robinson) -- Aku tidak mudheng seluk-beluk baseball, namun aku bisa mengerti tema-tema universal yang diusung film ini: impian (keberanian untuk bermimpi dan menjadi seperti seorang anak kecil); dukungan terhadap impian orang yang kita kasihi
(antara suami dan isteri; antara anak dan ayah); dan nostalgia: "The one constant through all the years, Ray, has been baseball. America has rolled by like an army of steamrollers. It's been erased like a blackboard, rebuilt, and erased again. But baseball has marked the time. This field, this game, is a part of our past, Ray. It reminds us of all that once was good, and that could be again. Oh people will come, Ray. People will most definitely come." (Trivia: Siapa yang mengisi suara untuk "Suara"? Untuk siapa film ini dipersembahkan? Let's the credit roll....)
-
Girl With a Pearl Earring (Peter Webber) --
Proses kreatif -- baik dari sisi teknis maupun dari sisi refleksi
inspirasional -- seorang pelukis. Mulai dari saat si pelukis
memandang kecantikan polos sosok gadis pelayan dalam terang matahari
yang menerobos kaca jendela studionya sampai saat si gadis melihat
lukisan hasilnya, "Kau melihat ke dalam hatiku!", kita diajak
melihat kecantikan sebagai misteri keindahan, bukan sebagai pemantik
hawa nafsu. Itulah sebabnya si pelukis berteriak pada isterinya, "Kau
tidak mengerti!" Scarlett Johansson memang mempesona: tanpa banyak
berbicara, ia mengungkapkan nuansa emosi yang amat kaya.
-
The Guys (Jim
Simpson) -- Are you o.k.? (Menemukan film ini terjajar di rak,
aku merasa lega dan trenyuh. Distributor Indonesia memang kadang tak
terduga. Christianity Today mencatat film ini sebagai salah
satu unseen treasures di antara film-film 2003. Eh, siapa
sangka malah nongol di sini?)
-
Glengarry Glen Ross (James Foley) -- Yang ini
tak perlu banyak komentar. Cukup begini: Al Pacino, Jack Lemmon,
Alec Baldwin, Ed Harris, Kevin Spacey, Alan Arkin, Jonathan Pryce
dalam skenario cergas David Mamet tentang "kejam"-nya salesmanship.
Alway Be Closing! ***)
-
The Hours (Stephen Daldry) -- Upaya tiga orang wanita dalam mengejar (ya, 'membeli'!) kebahagiaan atau
kepuasan hidup. Sayangnya, keputusan-keputusan yang mereka ambil
menjadikan kisah mereka seperti serangkaian puisi sedih: indah,
namun menyayat hati. Kurang jauh menggerapai....
-
In America (Jim Sheridan) -- Perjalanan
sebuah keluarga untuk menepiskan masa lalu dan membangun kehidupan
baru di sebuah lingkungan baru. Tawa dan tangis berbaur dalam 'koreografi'
akting menawan kelima pemeran kunci: pembelian AC murahan; Johnny
mempertaruhkan segalanya untuk memenangkan boneka E.T. bagi
Ariel; Sarah bertekad mempertahankan kehamilannya yang berisiko;
konfrontasi antara Johnny dan Mateo; dan pada akhirnya, saat mereka
memandang rembulan di langit New York, oh, rupanya justru Johnny-lah
yang paling dihantui oleh bayang-bayang Frankie.
-
Italian for Beginners
(Lone Scherfig) -- Percintaan enam
orang yang limbung, masing-masing mesti bergumul dengan suatu krisis
dalam kehidupan pribadi mereka.
-
Jerry Maguire
(Cameron Crowe) -- Apa sih sukses itu?
-
Kill Bill, Vol.
1 (Quentin Tarantino) -- "Balas
dendam itu seperti hutan," kata Hattori Hanzo. Dan QT membesut kisah khas genre kung-fu itu dengan penuh gaya --
dengan penuh darah. Ia seperti bocah yang asyik mempertontonkan
kemahirannya main video game karena telah menguasai kiat-kiat
untuk memenangkan setiap pertempuran, level demi level.
Karena gaya main-mainnya itu, aku pun tak terlalu serius menanggapi
banjir darah di sepanjang film ini -- berbeda dengan Once Upon a
Time in America, misalnya, yang gaya penyampaiannya amat muram
dan berat. Sejumlah segmen menarik dicatat: animasi mencengangkan tentang latar
belakang O-Ren Ishii; interaksi khidmat dengan Hanzo, sang
pembuat pedang; dan, tentu saja, duel mencekam antara The Bride (mengenakan
kostum ala Bruce Lee) dan O-Ren (mirip, namun tanpa alis khas dan
tidak sedingin Lady Kaede di Ran) menampilkan kontras bagus
keheningan dan keelokan taman Jepang versus kekerasan dan kelihaian
olah pedang, plus musik latar yang pas banget dan pancuran
terangguk-angguk di latar depan yang memberikan ketukan magis
tersendiri. Sebagai bahan perenungan? Hm, kayaknya mesti menunggu Vol.
2, yang menurut kabar mengurangi porsi laganya dan memberi ruang lebih
lapang untuk drama antarmanusia, untuk mendapatkan lebih dari
sekadar kisah gigi ganti gigi. (Eh, ngomong-ngomong, ini kung-fu
feminis 'kah? Semua tokoh laki-lakinya konyol, termasuk Hanzo yang
kekhidmatannya lebih mirip dengan sosok punakawan dalam
tradisi wayang.)
-
Lethal Weapon (Richard Donner) -- Film semacam inilah
yang kucari kalau hanya ingin menikmati "hiburan": ringan,
tanpa muatan sosial/psikologis/religius dsb. yang rumit-rumit, namun
diolah secara elegan dan berkualitas. Adegan laganya tidak asal bak-buk
dan dar-der-dor, namun tertata rancak. Chemistry antara Mel
Gibson dan Danny Glover nyaris seperti hubungan ayah-anak, bukannya
mitra kerja.
-
Little Women (Gillian Armstrong) -- Persaudaraan. Persahabatan.
Pernikahan. Ya, ketiga putri keluarga March akhirnya menikah, dan
semuanya dimulai dari tempat yang tepat: persahabatan. Beth tak
sempat menikah, namun telah mengcap yang terindah dari persaudaraan
dan persahabatan. Adegan saat ia menerima hadiah piano pada hari
Natal itu betul-betul joyful. Sang ibu bukan hanya pengayom,
namun juga sahabat bagi putri-putrinya. Nasihat terbaiknya: "If you
feel your value lies only in being merely decorative, I fear that
someday you might find yourself believing that's all you really are.
Time erodes all such beauty, but what it cannot diminish is the
wonderful workings of your mind." Tokoh yang paling dinamis
tentu saja Jo. Ia memilih untuk bersahabat saja dengan Laurie, dan
kemudian bertemu dengan Friedrich Bhaer. Pria ini secara obyketif
mengkritik karya awal Jo, dan menantangnya untuk mengeluarkan
kecakapan terbaiknya. Dan Jo pun menulis Little Women.
Tentang buku ini, Bhaer berkomentar, "Reading your book was like
opening a window into your heart." Lalu ia melamar Jo dengan
tulus, "But I have nothing to give you. My hands are empty."
Jo menyambut tangannya: "Not empty now." A romantic, heartwarming movie.
-
The Lord of the Rings: The Return of the King
(Peter Jackson) -- I'm speechless.
-
Lost In Translation (Sofia Coppola) -- Harry
dan Sally pernah bertanya-tanya, bisakah pria dan wanita bersahabat,
tanpa mesti berakhir di atas tempat tidur? Dengan film ini, Sofia
Coppola menjawab secara lembut: BISA. Sepasang pria dan wanita
kesepian bertemu tak harus berakhir dengan pertukaran cairan tubuh,
cukup dengan berbagi dan curhat. Coppola sempat memberikan
pengontrasan melalui si penyanyi bar, yang hanya menginginkan tubuh
Bob. Saat berpisah, dengan Bob membisikkan pada Charlotte sesuatu
yang tak bisa (tak boleh?) kita dengar, kurasa mereka telah
diperlengkapi dengan sesuatu yang berharga, guna menjalani kehidupan
dan pernikahan mereka secara lebih baik.
-
Magnolia (Paul T. Anderson) -- Oh, hujan
katak!
-
The Man on the Train (Patrice Leconte) --
Persahabatan tak terduga. Paduan akting Jean
Rochefort dan Johnny Hallyday (tampang Hallyday sekilas mirip Dicky
"Si Pitung" Zulkarnein) cool banget. Dan ending-nya
misterius. Menurutku, pada akhir hidup mereka, keduanya sama-sama
membayangkan impian terpendam, sesuatu yang paling ingin mereka
lakukan, dan dalam beberapa hari terakhir itu terasa begitu dekat untuk
diraih. Ataukah, keduanya benar-benar bertukar kehidupan?
-
Master and Commander: The Far Side of the World
(Peter Weir) -- Persahabatan di tengah kapal perang. Berbeda dengan
Pirates of the Caribbean yang ngepop itu, di sini kita
betul-betul diundang mengalami seluk-beluk kehidupan di atas kapal
pada era ketika pelaut harus mengandalkan layar dan angin.
Penampakan Acheron yang seperti hantu itu efektif memantik
ketegangan. Gelombang laut dan pertempurannya dahsyat. Setelah
membuat kita mabuk laut, persinggahan di Galapagos benar-benar
sebuah tamasya menyegarkan.
-
Mildred Pierce (Michael Curtiz) --
Sebenarnya ini film lumayan tentang tragedi salah asuhan garapan
sutradara Casablanca dengan akting kelas Oscar Joan Crawford
(her sole Academy Award win out of three career
nominations). Namun, aku sudah kadung jengkel karena yang
kudapat adalah versi yang telah diwarnai oleh Tn. Ted Turner. Jadi,
ya sudah, no further comment-lah.
-
Moulin Rouge (Baz Luhrmann) -- Tell that
story, Christian!
-
Mumford (Lawrence Kasdan) -- Roger Ebert
memberinya ***1/2. Pauline Kael mengomentarinya sebagai "a
charming movie". Aku pun menyewanya, dan Mumford tidak
mengecewakan: sebuah film tentang seni mendengarkan -- seni yang
dikembangkan dari pengalaman hidup ini nyatanya bisa membikin
bangkrut layanan yang ditawarkan psikolog profesional.
-
Mystic River (Clint Eastwood) -- Film yang
bikin aku MARAH.
-
November 1828 (Teguh Karya) --
Kisah film ini berlatar perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap
Belanda. Namun, alih-alih menampilkan sosok kharismatis ini, Teguh
Karya memilih menyoroti peran wong cilik dalam perjuangan tersebut.
-
O Brother, Where Art Thou? (Joel Coen) -- Komedi berlatar
Mississippi pada Era Depresi, dengan sinematografi yang menonjolkan
warna-warna tanah. Di awal film,
seorang lansia buta menjalankan rail car, jenis kendaraan
yang biasa dipakai Donal Bebek, sepanjang rel kereta. Ia bernubuat
pada tiga pelarian yang menumpang, bahwa mereka "will
see many strange things" dan "will find a
fortune, but not the fortune they seek." Dan, nikmatilah,
petualangan ganjil penuh gelak dalam plot longgar, diiringi rangkaian musik
dari bluegrass hingga black gospel,
sampai ketiga pelarian itu dilanda (ya, dilanda!) "baptisan": pengampunan cuma-cuma, dan sebuah
awal yang baru. Lagu paling renyah: I Am a Man of Constant Sorrow.
Kalimat sedap: "Kalian mungkin sudah berdamai dengan Tuhan,
tapi Mississippi lebih keras kepala."
-
Oliver & Company (George
Scribner) -- Not a cute Disney flick.
-
Parenthood (Ron Howard) -- Repotnya jadi
orang tua, bahagianya punya anak. Bukan nasihat yang bagus tentang
parenting, namun sebuah potret yang jujur, dan karenanya
reflektif. Sebagian besar tokoh adalah ayah dan sekaligus anak --
dengan gaya dan pendekatannya masing-masing, mulai dari menggelikan,
memilukan, mengharukan sampai yang membuat kita mengelus dada. Steve
Martin, Mary Steenburgen, Diane Wiest dan Jason Robards tampil
mantap. Tom Hulce sempat mengikik ala Mozart. Ada pula Keanu Reeves
dan Joaquin Phoenix (pakai nama Leaf Phoenix) yang masih
culun-culun. Helen Shaw mencuri perhatian sebagai Grandma,
khususnya dengan filosofi roll-coaster-nya. Dan, silakan
hitung berapa generasi yang terkumpul saat film berakhir!
-
The Pianist (Roman Polanski) -- Rasanya seperti nonton
film berjudul "Air," namun latarnya sebagian besar di
gurun pasir. Di tengah men's inhumanity toward men, musik
menjadi simbol anugerah dan daya hidup yang tak terpadamkan.
Permainan piano tunggal -- bening, tanpa sentuhan orkestrasi (kecuali
pada bagian penutup) -- benar-benar terdengar seperti ricikan air
sejuk menyegarkan. Saat Wlady bermain untuk perwira Nazi itu, batas
antara sekutu dan seteru pun lebur, dan mereka bersitatap sebagai
sesama manusia. Adegan-adegan tak terlupakan lainnya justru
adegan-adegan kecil: seorang pria lansia Yahudi dibentak karena
berjalan di trotoar; seorang pria merebut kaleng bubur, dan
melahapnya seperti anjing... setelah bubur itu tumpah ke jalan; dan
pembangunan tembok ghetto dalam dua shot mencekam. A heartbreaking, beautiful film.
-
Pieces of April (Peter Hedges) -- A small
gem. Drama/comedy about love, acceptance, forgiveness. It's take an
apartment to cook a turkey! I left this movie with a smile on my
face, and my heart.
-
Princess Mononoke (Hayao Miyazaki) -- Meminjam istilah
Toki saat melihat wajah Ashitaka, film ini juga "not
handsome, it's gorgeous!" Sosok-sosok manusianya digambar
dalam goresan ala komik Tintin (yang sebenarnya diilhami oleh gaya
lukis tradisional Jepang), namun hewan-hewan, aneka makhluk dan roh
serta latar tempatnya tampil amat fantastis. Kalau Anda suka segmen
"Firebird Suite" dalam Fantasia 2000, nah, ini
semacam extended version-nya, namun jauh lebih intens dan kaya detil. Kisah
sederhana tentang upaya mematahkan kutuk dan kebencian dengan "eyes
unclouded by hate," berlatar konflik antara environmentalism
dan industrialisasi, menjadi kompleks karena dipaparkan lewat
tokoh-tokoh yang tidak hitam-putih. Makhluk paling nggegirisi:
dewa celeng malih jadi roh jahat (mengingatkan pada
lukisan-lukisan Djokopekik; namun di sini si celeng adalah korban).
-
Rocky (John G. Avildsen) -- Cinderella dengan
sarung tinju. Adegan menyengat: Mickey menawarkan diri untuk
menjadi manajer Rocky, dan Rocky semula menolaknya akibat kekecewaan
yang ditelannya selama ini. "I needed your help about ten years ago,
right? Ten years ago, ya never helped me none. You didn't care.... I
asked, but you never heard nothin'." Diimbuhi dengan kisah
cinta yang membumi, lengkap dengan abang Adrian yang mata duitan, it's
more than just a sport movie.
-
Romeo and Juliet (Franco Zeffirelli) -- Sweeter
than honey, and bitter as gall. Berayun dari balkon ke
kubur bawah tanah -- ya, di situlah adegan paling manis dan paling
pedih berlangsung. Di balkon: Cinta pertama yang segar, murni,
meluap dengan gairah kemudaan -- a joy to watch! Aku jadi
teringat uraian Philip Yancey tentang romance mengutip
Charles William: "For a brief time, at least, romance gives
us the ability to see the best in one other person, to ignore or
forgive flaws, to bask in endless fascination. That state... gives a
foretaste of how we will one day view every resurrected person and
how God now view us." Rasanya ikut melayang saat Romeo, seperti anak kecil, berlari kegirangan! Di kubur: Oh, pernahkah terbayang,
sejoli bergantian meratapi sang kekasih, lalu bunuh diri untuk
mengekalkan cinta mereka? (Untung Shakespeare belum teracuni formula
Hollywood yang kerap memaksakan happy ending.) Musik latar
oleh Nino Rota (juga menggarap musik The Godfather), seperti
gumaman yang melenakan: A rose will bloom, it then will
fade....
The Rookie
(John Lee Hancock) -- Impian itu mengusik lagi, saat kau merasa
telah ditelikung oleh usia, dan dicegat oleh cedera. Aku paling
terkesan dengan adegan saat Jim Morris menapakkan kaki ke Stadion
Arlington untuk pertandingan pertamanya di liga utama (saat usianya
sudah 35 tahun!), dipenuhi ketakjuban seperti seorang anak kecil.
Sebuah film yang bersih, inspirasional, tanpa harus menjadi cengeng.
Seabiscuit (Gary Ross)
-- Akhirnya, seluruh calon peraih Oscar 2003 untuk film terbaik
kutonton sudah, dan Seabiscuit kunilai paling lemah. In
America atau Finding Nemo, misalnya, lebih pantas
menggantikannya. Akting Toby Maguire, Jeff Bridges dan Chris Cooper
memang lumayan, namun pengenalan karakter mereka terasa
berkepanjangan (Seabiscuit sendiri baru nongol setelah film berputar
sekitar 40-an menit) dan tidak diekplorasi lebih jauh dalam
babak-babak selanjutnya. Dalam genre-nya sendiri, kisah
Men of Honor berpacu kuda ini masih
sekian derap di belakang Black Stallion dan National
Velvet.
Shaolin Soccer
(Stephen Cow) -- Komedi sepakbolanya lebih liar daripada The Cup
yang reflektif itu. Bumbu percintaannya sebenarnya bisa mengikuti
jejak City Lights, namun Cow memang lebih condong berkomedi
ria. Adegan-adegannya yang hiperbolis mengingatkanku pada iklan
Yamaha, khususnya versi pidato itu (Siapa meniru siapa, ya?).
Spider-man 2
(Sam Raimi) -- Menjadi superhero adalah sebuah Pilihan.
Spirited Away (Hayao
Miyazaki) -- Miyazaki mesti disandingkan dengan Miyazaki. Secara
visual, dengan ketekunan Miyazaki menotolkan pernik-pernik memikat
dalam setiap inci kanvasnya, keragaman makhluk dalam film ini paling
mencengangkan (George Lucas dan Peter Jackson pun harus menelan
ludah). Sebagian karakter tampaknya "meminjam" (atau "mengembangkan
secara kreatif"?) karakter-karakter dari film sebelumnya. Pengangkut
batu bara di dapur perapian dan bus dalam air itu serupa dengan
makhluk-makhluk kecil-hitam di rumah baru keluarga Kusakabe dan bus
kucing dalam My Neighbor Totoro; sosok Yubaba si penyihir
mirip dengan Dola pemimpin bajak-udara dalam Castle in the Sky;
sedangkan babi-babi dan Dewa Sungai tentu saja mengingatkan pada
Princess Mononoke. Spirited Away menunjukkan bahwa
semburan sumur imajinasi sang empu belum juga kering-kering. Namun,
dari segi alur pengisahan, klimaks film ini terasa paling datar --
Dewa Sungai, Hantu Tanpa Wajah dan Naga Putih sudah telanjur
menyedot perhatian di babak pertengahan. Apa kata Miyazaki? "What my friends and I have been trying to do since the 1970s is to
try and quiet things down a little bit; don't just bombard them with
noise and distraction. And to follow the path of children's emotions
and feelings as we make a film. If you stay true to joy and
astonishment and empathy, you don't have to have violence, and you
don't have to have action. They'll follow you. This is our
principle." (Oh, kalau saja para pembikin sinetron hantu
dan tayangan klenik memualkan itu mau belajar....)
Stalag 17 (Billy
Wilder) -- Siapa sangka film perang (atau lebih tepatnya: film
tentang tawanan perang) bisa selucu ini? Atau, justru di situlah
mengharukannya. Di tengah kepengapan, orang terus bergulat untuk
menemukan sisi-sisi cerah kehidupan dan mempertahankan pengharapan.
Ada pula, tentu saja, upaya untuk meloloskan diri. Kemudian, "seekor
tikus" menguji kesetiakawanan di antara mereka. Hm, kedengarannya
seperti Life is Beautiful ketemu Chicken Run, ya? (Atau
lebih tepatnya: film ini bisa jadi adalah sumber rujukan kedua film
tersebut.)
Traffic (Steven Soderbergh)
-- Tragedi ruwetnya perdagangan narkoba: Kita berusaha
memberantasnya secara lintas bangsa, nyatanya ia menggerogoti
keluarga kita sendiri dengan menyusup lewat pintu belakang. Roger Ebert menutup resensinya dengan pernyataan menarik, "The drug war costs $19 billion a year, but scenes near the end of the film suggest that more addicts are helped by two free programs, Alcoholics Anonymous and Narcotics Anonymous, than by all the drug troops put together." Hm, aku jadi teringat pada perkataan Abraham Lincoln, "I have always found that mercy bears richer fruits than strict justice."
Wonder Boys
(Curtis Hanson) -- Michael Douglas yang biasanya serba necis, tampil
kumal sebagai profesor limbung Grady Tripp dalam drama di sebuah
kampus liberal di AS pada sebuah akhir pekan yang edan. Istrinya
baru saja meninggalkan dia; ia sendiri selingkuh, dan pacarnya
memberitahukan kehamilannya. Tujuh tahun lalu ia menghasilkan novel pemenang
penghargaan, namun kini kreativitasnya macet -- manuskripnya
menjalar hingga 2000 halaman lebih, berspasi rapat, penuh dengan
silsilah kuda tokoh-tokohnya dan catatan gigi mereka. Salah seorang mahasiswi jatuh cinta
berat padanya. Saat festival
sastra di kampus, agennya datang, dan ia berusaha menolong seorang
mahasiswa berbakat yang bermasalah. Keadaan kian memburuk saat ia
terlibat dalam pembunuhan anjing, lalu pencurian mobil. Ia
benar-benar kumal, suka mengenakan jubah mandi warna pink
milik istrinya, tak sempat bercukur, dan menenggak pil. Akhirnya, tidak seperti
novelnya yang "reads as if you
didn't make any choices,'' ia harus menentukan pilihan. Sayang,
Hanson menghabiskan menit-menit terakhir untuk membundelkan sebuah
ending yang terlalu manis. Kalau ending Mystic River
kubilang terlalu kelam, film ini malah akan lebih menggigit dengan
open ending. (Selain di sini, Douglas juga tampil bagus di
Traffic, dan dua-duanya terabaikan di ajang Oscar 2000 --
dinominasikan pun tidak.)
|
|
|
|
Home - Puisi
- Fiksi
- Renungan
- Film
- Buku
- Artikel
© 2004 Denmas Marto
|