Home | Film
FILM FAVORIT
Kelompok #7
-
All About My Mother (Pedro
Almodóvar, Spanyol/Perancis, 1999) -- Oh, Ibu! Manuela adalah ibu
yang kehilangan, namun menemukan kembali. Ia kehilangan Esteban,
namun menemukan anak baru dalam diri Rosa. Kemudian ia kehilangan
Rosa, namun menemukan anak baru lagi dalam diri bayi yang
dilahirkan Rosa. Sepanjang perjalanannya itu, ia berjumpa dengan
beragam tokoh (yang bagiku, terus terang, serasa dari "dunia
lain"; namun, film ini berhasil memantik simpatik -- orang-orang
setengah-pria/setengah-wanita itu tampil sebagai manusia, bukan
sebagai karikatur dan objek lecehan), dan sedikit-banyak melalui
interaksi itulah, ia berdamai dengan dirinya, dengan kehilangannya,
dengan masa lalunya. Dan, yah, what a family! (11)
-
Around the World in 80
Days (Frank Coraci, AS, 2004) -- Aku lebih enjoy versi
ini, yang terasa lebih sigap dan cekatan daripada versi 1956 yang
berpanjang-panjang dan melelahkan. Passepartout, eh Jackie Chan,
diberi ruang luas untuk memamerkan kelihaiannya berciat-ciat. Dan
Arnie, oh Arnie, Terminator itu sebelum menjadi gubernur
California menjadi Pangeran Hapi dari Turki! (29)
-
The Bridge on the River
Kwai (David Lean, Inggris, 1957) -- Clash of the wills that
ended abruptly in madness. Menyimak ending-nya, kurasa
Apocalypse Now adalah sekuel tak resmi film ini. (31)
-
The Circle (Jafar
Panahi, Iran/Italia/Swiss, 2000) -- "It's a girl!" Disusul dengan tampang
pilu sang
nenek -- yang mengharapkan cucu lelaki -- dalam sebuah shot
panjang (sekitar tiga menit) yang mengisyaratkan pola melingkar
kisah ini. Kita lalu dipertemukan dengan rentetan kisah
keterpenjaraan kaum perempuan di sebuah lembaga besar bernama:
Iran. Pertama, tiga napi perempuan yang baru dibebaskan (alasan
pemenjaraan mereka tidak jelas; bisa jadi semata-mata karena
mereka perempuan). Salah satu dari mereka segera ditangkap lagi, entah karena apa.
Nargess ingin kembali ke tempat kelahirannya, yang dibayangkannya sebagai
firdaus. Arezou tidak yakin kalau firdaus semacam itu eksis. Kisah lalu
meloncat ke Pari, mantan napi juga, yang ingin mengaborsi
kandungannya. Kisah lalu meloncat ke seorang ibu yang terpaksa
membuang anaknya. Kisah lalu meloncat ke seorang pelacur --
satu-satunya perempuan yang berani menatap laki-laki, dalam hal
ini petugas polisi. Rokok dijadikan simbol perlawanan, dan ada selingan prosesi pernikahan yang terasa ironis.
Akhirnya, kita dilemparkan ke dalam penjara, dan bertemu lagi
dengan tiga perempuan di awal film, yang telah meringkuk kembali
di sana. (01)
-
The Day of the Jackal (Fred
Zinnemann, Inggris/Perancis, 1973) -- Kisah upaya pembunuhan
terhadap presiden Perancis, de Gaulle. Detektifnya gigih, dan
penjahatnya tak sekadar mujur, namun memang betul-betul piawai
berkelit. Penuh kelokan, rumit, namun sekaligus tergarap rapi jali,
dengan ketegangan yang terus menanjak. Namun, dasar Denmas Marto,
adegan yang amat membekas justru saat si penjahat menggali
informasi di British Museum. Wuiihh, seandainya perpustakaan
seperti itu ada di Ngayogyakarta sini.... (21)
-
Dirty Pretty Things (Stephen Frears,
Inggris, 2002) -- Some things are too dangerous to keep secret. (23)
-
Fargo (Joel Coen, AS, 1996) -- Kekerasan
dan humor ternyata bisa dipadukan secara amat unik. Skenario
pemerasan berkedok penculikan yang menyimpang jauh dan menjadi
perkara berbelit-belit saat darah mulai menetes di atas hamparan
salju. "Oh, daddy...." Muncul Marge Gunderson, polisi yang
tengah hamil (Pernahkah ada adegan seorang polisi menyeruput kopi,
lalu menunduk gara-gara terserang morning sickness?),
seorang wanita bersahaja yang dicintai suaminya, namun penuh
keberanian dan berpenciuman tajam dalam menyidik perkara -- dan
menjadi semacam mercusuar di tengah cuaca berkabut Minnesota dan
sekitarnya.
"You betcha." Semula aku agak
bingung dengan adegan pertemuan antara Marge dan Mike, yang
rasanya seperti tempelan. Amatan Jonathan Rosenbaum, yang
diterangkan oleh Roger Ebert, memberi penjelasan memuaskan. Mike
adalah "bayangan" Jerry. Saat Marge ditelepon temannya bahwa Mike
cuma menipu, ia langsung melihat kesejajarannya dengan kasus
Jerry. Akhirnya, siapa tidak terguncang oleh adegan di mesin tatal
kayu itu? "There's more to
life than a little money, you know. Don't you know that? And here
you are. And it's a beautiful day." Gunderson sungguh sosok
yang unforgettable, layak diganjar Oscar. Kata Neil LaBute, "William H. Macy
makes you weep; Frances McDormand gives you hope." (17)
-
Frequency (Gregory Hoblit, AS, 2000) -- Aku
mencatat sebuah keanehan nonton film: sebuah unsur yang menonjol
bisa membuat kita memaafkan sebuah film, atau justru
mencampakkannya. Selama ini aku mengedepankan "logika dalam" dalam
menganalisis film atau fiksi. Kali ini aku tanpa sadar
mengesampingkannya, dan terseret ke dalam 'frekuensi' emosionalnya.
Film ini boleh disebut gagal menjelaskan BAGAIMANA logika pertautan masa kini
dan masa lalu -- bisa dibilang nonsense, atau paling tidak
sulit dijelaskan secara ilmiah. Namun, kalau Anda menguasai pola
pikir ala Back to
the Future, film ini secara garis besar cukup gampang diikuti.
Balutan thriller menjadikan ketegangannya lumayan terjaga,
mengingatkanku pada The Fugitive (seperti Richard Kimble,
Frank Sullivan sempat menjadi tertuduh innocent). Adapun
yang paling bersinar dari film ini adalah jelujuran dinamika hubungan ayah-anak (dimainkan dengan penuh
greget oleh Dennis Quaid dan Jim Caviezel; akting mereka termasuk
unsur yang patut diacungi jempol di film ini), yang
menggarisbawahi pentingnya peran seorang ayah dalam kehidupan
seorang anak (oh, tema yang senantiasa mengharu-biru diriku).
Bagaimana coba perasaanmu bila ayahmu, yang telah meninggal saat
kau umur 6 tahun, 30 tahun kemudian menyapamu lewat sebuah radio
panggil? Aurora Borealis yang memungkinkan
mereka berhubungan lagi -- aku ingin menyebutnya simbol Miracle
atau Providence, dengan kata lain: simbol Pengharapan.
Yahoo! (30)
-
Harry Potter and the Prisoner of Azkaban (Alfonso Cuarón, AS, 2004) --
Kian galak saja. (14)
-
The House of Flying Dagger (Zhang Yimou,
RRC, 2004) -- Antara tugas dan cinta. (15)
-
House of Sand and Fog (Vadim Perelman, AS,
2003) -- Sepedih Mystic River. Ketika keegoisan berbenturan
-- sebuah salah langkah yang berujung pada kesengsaraan
berlarat-larat. Film ini tidak menuding ke mana-mana, hanya
memaparkan argumentasi masing-masing pihak -- lengkap dengan
dambaan, kenaifan dan juga
kepicikan mereka -- dan mengajak kita untuk memahami mereka. Di luar itu, film ini juga bisa dibaca sebagai
perumpamaan tentang ketakberdayaan pemerintah (terwakili oleh
aparat kepolisian Lester Burdon) untuk meredakan
konflik horisontal -- atau, justru kecerobohan pemerintahlah yang
memantik konflik itu. (13)
-
Infernal Affairs
(Andrew Lau & Alan Mak, Hong Kong, 2002) -- Film kucing-tikus antara polisi dan mafia Hong
Kong ini terbagi dalam empat episode, tanpa klimaks besar, hanya
klimaks kecil di ujung setiap episode. Pendahuluan diakhiri dengan
penyergapan yang gagal, namun membongkar rahasia bahwa polisi
punya mata-mata di tubuh mafia (Yan), dan sebaliknya, mafia pun punya
mata-mata di tubuh kepolisian (Ming). Selanjutnya, kedua mata-mata itu adu cerdik satu sama lain. Setiap kali kedok
mereka (salah satu dari mereka) nyaris tersingkap, jawaban
pamungkasnya adalah ledakan pistol. Dari sisi laga, ketiga
tembakan pada akhir setiap episode itu terasa dingin dan cepat
selesai. Gema yang tersisa kemudian adalah: Kepada mata-mata mana
sebenarnya film ini mengajak kita bersimpati? Yan ingin berhenti sebagai mata-mata karena
capek hidup dalam kegelapan; Ming -- motivasinya terkesan culas
dan egois. Ataukah dia seperti disiratkan dalam perkataan tunangannya,
yang sedang menulis novel: "Aku tidak bisa menyelesaikan novelku.
Aku tidak tahu lagi tokohku itu orang yang baik atau orang yang
jahat"? Aku sendiri "kecewa", ternyata bukan
jagoanku yang menang. Secara teknis, film ini berzig-zag dengan cantik tanpa
terkesan ruwet. Namun, momen-momen kontemplatif tentang pergumulan
batin
Yan dan Ming, serta
hubungan mereka dengan pacar masing-masing, kurang tergarap
dengan tuntas. Tony Leung, Andy Lau, Anthony Wong dan Eric Tsang
tampil memikat. Film ini meraih 7 penghargaan, termasuk film
terbaik, dalam 22nd
Annual Hong Kong Film Awards (2002). (07)
-
Infernal Affairs II
(Andrew Lau & Alan Mak, Hong Kong, 2003) -- Setelah sekian lama
menonton film berbagai genre, terus terang aku telmi
mengikuti kisah film Hong Kong yang satu ini -- baik dalam
mengidentifikasi tokoh-tokohnya maupun dalam membaca alur kisahnya.
Baru pada menit-menit ke-50, aku mulai menemukan "titik terang" --
dan, yah, nyatanya film ini layak dicermati. Bisa berdiri sendiri,
namun bisa pula sebagai latar penjelas bagi sekuelnya, yang justru
dibuat lebih dulu (hehe, sekuelnya ini pun pada awalnya aku
meraba-raba; hanya lumayan lebih cepat, baru pada menit-menit
ke-30 aku bisa menangkap maksudnya!) (08)
-
James and the Giant Peach (Henry Selick,
AS, 1996) -- Nonton di Trans, sebuah Minggu siang. Yang membuatku
tertarik adalah nama Roald Dahl, penulis cerita anak-anak yang
piawai itu. Dan film ini memvisualisasikan imajinasi "edan" Dahl
dalam paduan
live-action dan stop-motion animation yang menawan.
Kisahnya mengenai perjalanan mengejar impian, yang mengingatkan
kita bahwa perjalanan itu sendiri justru lebih menggairahkan
daripada tujuan. Makhluk yang paling kusukai: hiu mekanis yang
nyaris mencaplok James cs. Namun, begitu kisah berakhir, aku sudah
lupa kalau film ini diselingi sejumlah lagu! (12)
-
Kiki's Delivery Service
(Hayao Miyazaki, Jepang, 1989) -- Ini karya awal **) Miyazaki, saat imajinasinya
terasa belum full-blown, namun toh tetap menakjubkan.
Kisahnya kebalikan dengan film-filmnya yang kemudian. Bukannya
anak biasa yang tersedot ke dalam petualangan ganjil, kali ini
justru tentang anak "luar biasa" (penyihir) yang berusaha
menempatkan diri dan menyumbangkan kelebihannya di tengah
masyarakat normal. Kemampuan sihir di sini gampang dibaca sebagai
talenta pribadi. Ini makin jelas saat kemampuan sihir
diperbandingkan dengan proses kreatif melukis (tampaknya Miyazaki
memang hendak menyuguhkan metafora pergumulan kreatif seorang
seniman). Keluarga dan tetangga sekelilingnya sudah mengantisipasi
bahwa selewat dia berumur 13 tahun, ia akan pergi ke sebuah kota (sendiri!)
untuk mengasah kemampuannya. Di sebuah kota tepi laut, yang
masyarakatnya sudah lama tidak disambangi tukang sihir, Kiki
mencoba menemukan jati dirinya. Ia tidak memulai dengan belajar (teori)
dulu, namun langsung praktik dengan melayani seseorang, dan dari
situlah ia menemukan "kelebihan"-nya. Pada mulanya ia sangat
bergairah, namun saat "petualangan"-nya menjadi rutinitas, ia pun
dihinggapi kejemuan. Sampai pada suatu titik, ia kehilangan
kemampuan sihirnya (terbang dengan sapu). Bagaimana ia bisa
memperolehnya kembali? Film ini memiliki "kata kunci" yang sama
dengan Castle in the Sky: Terbang (keduanya sama-sama
menampilkan pesawat terbang ala Zeppelin). Dari sisi gambar: sudah
molek, namun belum terkesan kompleks; dan semuanya keindahan natural, belum ada makhluk-makhluk
fantastis dan latar yang spektakuler. **) Seorang teman mengoreksi: ini
karya sesudah Castle dan Totoro. Tapi penilaianku
tetap, Miyazaki tampaknya menahan diri untuk tidak "mengobral"
imajinasinya. Di antara film-filmnya yang pernah kutonton, it's
the simplest and the sweetest. (02)
-
Leap of Faith (Richard Pearce, AS, 1992) --
Confronted by the genuine article. (32)
-
Malcolm X (Spike Lee, AS, 1992) -- Memang
aku tak sejalan dengan pandangan hidupnya, khususnya sebelum ia
mengalami pencerahan di Mekah, namun sepanjang film ini simpatiku
bertumbuh for the man himself. Aku menghargai perjuangan
dan kegigihannya. Aku bisa membandingkan dengan keadaanku saat
lahir baru dulu, "penuh semangat namun kurang hikmat". Denzel
Washington berhasil "menghilang" selama menjadi Malcolm Little.
Namun, begitu dia bertemu dengan Elijah Muhammad (diperankan
dengan penuh kharisma oleh Al Freeman Jr.), aku melihat Denzel
lagi. Bukannya aktingnya nggak bagus, namun bagiku, itu Denzel
yang lagi berperan menjadi Malcolm. Angela Bassett sebagai Betty
justru lebih memikat. Menyaksikannya, dan mengingat
penampilan-penampilannya yang sempat kusimak, hm, artis satu ini
selalu mantap. Dalam film yang penuh pergolakan ini, ia membuat
suasana "mengendap", khususnya dalam adegan-adegan domestik
(paling memukau saat ia pertama kali mengingatkan Malcolm akan
kemungkinan pengkhianatan). A shattering movie! (28)
-
Matchstick Men (Ridley Scott, AS, 2003) --
Seorang con-artist (oh, eufimisme!), seorang pria paruh
baya dengan berbagai gangguan saraf, dan seorang ayah yang mencoba
belajar mempedulikan putrinya yang baru dijumpainya setelah
berumur 14 tahun. Dan, jangan salah baca: itu adalah gambaran
seorang tokoh, bukan tiga tokoh. Jadi, bisa dibayangkan betapa "dahsyat"
kehidupannya! Roy, begitu namanya, berusaha menjaga diri dan
lingkungannya seresik mungkin, namun tubuhnya tidak bisa berdusta:
karut-marut kehidupan batinnya menyeruak ke luar, termanifestasi
di sekujur tubuhnya, mulai dari pelipis yang berkedut-kedut tak
terkendali hingga ujung jari kaki yang risih bersentuhan dengan
kotoran apa pun. Pada pertengahan, kehidupan Roy sempat terlihat
tenang, yaitu saat ia belajar mempedulikan Angela. Akhirnya,
sebuah proyek penipuan membawa mereka menuju klimaks yang penuh
kejutan. Adapun adegan pamungkasnya, aku tertarik untuk
membandingkannya dengan The Sixth Sense. Dalam The Sixth
Sense, kejutan itu sekadar membuat kita terperangah, sadar
kalau sudah terkelabui oleh pelintiran plot. Di sini, kejutan itu
memberi kita sebuah perspektif yang baru terhadap seluruh
rangkaian kisah yang baru saja berlangsung. Aku diingatkan pada
kata-kata arif ini: "Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia,
tetapi ia membinasakan atau merugikan dirinya sendiri?" Last
but not least, Nicholas Cage and
Alison Lohman were absorbing. (She was 24 years old, and played a
14 years old teenager convincingly!) (09)
-
Miracle on the 34th Street (Les Mayfield,
AS, 1994)
-- Aku "terpaksa" nonton film ini karena mau menulis tentang
film-film Natal. Ternyata, tidak terlalu mengecewakan.
(06)
-
My Life as a Dog (Lasse Hallström, Swedia,
1985) --
Seorang bocah 12 tahun yang terlalu cepat gede. Seorang ibu yang
sakit-sakitan. Kerabat yang eksentrik di sebuah kota kecil yang
penduduknya eksentrik pula. Dan oh, ada dua ekor anjing. Yang satu
dipisahkan dari si bocah; yang satu ditelantarkan dalam misi di
ruang angkasa. Sebuah nostalgia masa kecil yang lebih mirip sebuah
elegi, kendati di sana-sini ada sentuhan komedi. (05)
-
Once Upon a Time in the
West (Sergio Leone, Italia, 1968) -- Adegan pertamanya langsung
menghipnotis -- kalau tak ada gangguan, bisa jadi aku tak beranjak
dari kursi sampai film ini habis. Pelan, dengan bunyi-bunyian
alami sebagai latarnya, rasanya seperti disedot ke tanah para
koboi yang gersang dan menegangkan. Detilnya -- eh, lalatnya itu, lho! Bill Chambers dari
Film Freak mencatat, "On Raiders of
the Lost Ark, Paul Freeman had a serendipitous encounter with a
fly in the middle of a take, thrilling Steven Spielberg; the same
thing happens to Jack Elam in Once Upon a Time in the West,
but Leone planted the fly. When the insect wouldn't behave, Leone
slathered poor Elam's face in honey."
Selebihnya, close up demi close up, lengkingan
harmonika, musik latar yang ngilu, lokasi yang digarap dengan piawai, hingga flash back
mencekam di tengah adu pistol antara Frank dan Harmonica itu. Aku
jauh
lebih menikmati film ini daripada Once Upon a Time in America. (Iseng-iseng aku menengok resensinya Roger Ebert. Film ini
hanya diberi **; Once Upon a Time in America ****. Namun, dalam
esei tentang The Good, the Bad and the Ugly dalam "Great Movies"
dia berkomentar, "A
man with no little ideas, Leone made two other unquestioned
masterpieces, 'Once Upon a Time in the West' (1968) and 'Once Upon
a Time in America' (1984)." Hm, ** saja sudah terhitung
unquestioned masterpiece?) (04)
-
The Passion of the Christ (Mel Gibson, AS,
2004) -- Di tengah Kekristenan yang cenderung dicitrakan
dalam warna-warna pastel, ini torehan merah kirmizi kehitam-hitaman tentang
harga yang harus dibayar untuk penebusan kita. (19)
-
Permanent Record (Marisa Silver, AS, 1988)
-- High school. Senior year. His suicide shattered their world.
Their courage drove them to pick up the pieces.
Sebuah lagu, yang semoga
abadi, digubah untuknya....
-
Peter Pan (P.K. Hoogan, AS, 2003) --
Benarkah Peter Pan tidak ingin bergabung dalam kehangatan kamar di
loteng rumah keluarga Darling, dan memilih kembali ke Neverland,
mengulang-ulang petualangan dengan Kapten Hook dan Tinker Bell?
Benarkah ia tetap tidak ingin beranjak dewasa -- terlebih setelah
kecupan Wendy yang membuatnya merona? Hm, aku melihat kilasan
kesedihan di matanya saat pamit dan melesat terbang ke langit
malam kota London.... [Aku sempat menyinggung dongeng J.M. Barrie
ini dalam sebuah cerpen.] (22)
-
Radio (Mike Tollin, AS, 2003) --
Kebaikan, memang, lebih mengharukan. "Mencintai seseorang itu
bukanlah suatu kesalahan. Itu selalu bagus." Ada akting apik Cuba
Godding Jr. setelah di Jerry Maguire.
Ada rangkaian adegan Natal yang manis. Ada dua monolog Ed Harris
yang menyentuh. "Bukan Radio yang belajar dari kita. Kitalah yang
lebih banyak belajar dari dia." Dan pilihan yang akhirnya dia
ambil -- bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya, bagi Radio. (26)
-
The Royal Tenenbaums (Wes Anderson, AS,
2001) -- Aku suka style-nya, yang mengikuti keeksentrikan
tokoh-tokohnya. Semua pemain tampil bagus, namun tetap saja Gene
Hackman-lah yang paling menonjol (selain dia masih ada: Anjelica Huston,
Ben Stiller, Gwyneth Paltrow, Luke Wilson, Owen Wilson,
Danny Glover, dan Bill Murray). Mirip Magnolia, hanya dalam
tataran yang lebih intim: Magnolia memotret kota, Tenenbaums
memotret sebuah keluarga genius, namun disfungsional. Aku paling
cles dengan adegan saat Royal pamit pada keluarganya dan
secara sambil lalu menyatakan bahwa enam hari yang baru saja
dilewatinya adalah hari-hari paling indah dalam hidupnya. Kemudian,
ia tersadar, it's true! (18)
-
Sabrina (Billy Wilder, AS, 1954) -- Kisah
Cinderella dan Si Itik Buruk Rupa dari sebuah garasi. Sabrina,
demikian namanya, sejak kecil mendambakan David Larrabee, si
playboy putra majikannya. Semula David tidak
memperhitungkannya. Barulah saat Sabrina pulang dari Paris, dan
menjelma jadi Si Angsa Nan Rupawan, David -- yang tengah menuju
pernikahan ketiga -- meliriknya. Namun, demi kepentingan bisnis
keluarga, Linus, kakak David, bertekad mengalihkan perhatian
Sabrina. Jatuh ke dalam pelukan siapakah Si Angsa Cantik ini
akhirnya -- pada sang pangeran tampan atau pada sesosok figur
ayah? (24) -
Sgt. Bilko (Jonathan Lynn, AS, 1996) --
Memantapkan Steve Martin sebagai komedian favoritku. (34) -
Shrek 2 (Andrew Adamson, AS, 2004) --
Kembali ke aslinya. It is not our appearance that needs
changing, but our hearts. (33) -
Sweet Hereafter (Atom Egoyan,
Kanada, 1997) -- Film pedih tentang kehilangan. Seorang ayah dan seorang
pengacara (Ian Holm), yang "kehilangan" putrinya yang kecanduan
narkoba, mencoba menolong sebuah kota kecil yang kehilangan
anak-anak mereka dalam sebuah kecelakaan bus sekolah. Sembari
bergumul dengan "roh jahat"-nya sendiri, dalam pencarian bukti ia
menemukan rahasia-rahasia terpendam para warga (kecanduan alkohol,
kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan, dan bahkan inses),
yang justru kian mengguncangkan "ketenteraman" warga kota tersebut.
Bagaimana mempertemukan kepedihan dengan keadilan? "We've
all lost our children. It's like all the children of America are
dead to us. Just look at them, for God's sake--violent on the
streets, comatose in the malls, narcotized in front of the TV. In
my lifetime something terrible happened that took our children
away from us .... I don't know which are causes and which are
effects; but the children are gone, that I know. So that trying to
protect them is little more than an elaborate exercise in denial
It's too late; they're gone; we're what's left."
Adegan awal merupakan prabayang yang kuat: Mitchell Stephens dalam
mobil yang sedang dicuci dengan mesin, nyatanya mesin itu mogok,
dan Stephens terpaksa keluar dengan membawa payung yang tak
memadai untuk menahannya, agar tak terguyur air. Adegan paling
mencekam adalah saat Stephens bercerita tentang pengalamannya
berusaha menyelamatkan Zoe dari gigitan serangga. Pembacaan puisi
Pied Piper of Hamelin yang membayang di sepanjang film ini
juga terasa menggetarkan. (03)
-
Throne of Blood (Akira Kurosawa, Jepang, 1957) --
This awful stain of blood! (10) -
Twilight Samurai (Yoji Yamada, Jepang, 2002) --
Kukutip Ebert: "'Twilight Samurai' stars Hiroyuki Sanada
as a samurai in the dying days of the samurai era, who works as a
bookkeeper and then is assigned to perform a murder, to his
immense reluctance. Intercut with a poignant love story, and
involving an extraordinary conversation between the samurai and
his intended victim, it is a bittersweet masterpiece." (27) -
The Winslow Boy (David Mamet, AS, 1999) --
Let right be done. (16) -
Witness (Peter Weir, AS, 1985) -- John
Book (Harrison Ford dalam penampilan terbaik sepanjang karirnya), seorang polisi Philadelphia, mengalami perubahan hidup saat
berusaha menolong Rachel, seorang perempuan Amish, dan anaknya,
Samuel, yang menyaksikan pembunuhan di toilet stasiun kereta api.
Sebagai polisi, bahasa John Book adalah senjata dan kekerasan.
Kini, saat menghindar dari rekan sesama polisi yang korup, ia
terlindungi oleh komunitas Amish yang menabukan kekerasan. Darrel
Manson dari Hollywood Jesus mencatat, "The
title, Witness, really has at least three meanings in this film.
It is first of all the boy who is a witness to murder and has to
be protected. It is also the crowd that comes in the final battle
and through their witnessing of what is happening put an end to
it. But mostly it is the witness that the community makes through
their lives." Ya, seberapa jauh kehidupan kita menjadi garam
dan terang bagi orang-orang di sekitar kita? (20)
|
|
|
|
Home - Puisi
- Fiksi
- Renungan
- Film
- Buku
- Artikel
© 2004 Denmas Marto
|