Home | Film

FILM FAVORIT

Kelompok #7

  1. All About My Mother (Pedro Almodóvar, Spanyol/Perancis, 1999) -- Oh, Ibu! Manuela adalah ibu yang kehilangan, namun menemukan kembali. Ia kehilangan Esteban, namun menemukan anak baru dalam diri Rosa. Kemudian ia kehilangan Rosa, namun menemukan anak baru lagi dalam diri bayi yang dilahirkan Rosa. Sepanjang perjalanannya itu, ia berjumpa dengan beragam tokoh (yang bagiku, terus terang, serasa dari "dunia lain"; namun, film ini berhasil memantik simpatik -- orang-orang setengah-pria/setengah-wanita itu tampil sebagai manusia, bukan sebagai karikatur dan objek lecehan), dan sedikit-banyak melalui interaksi itulah, ia berdamai dengan dirinya, dengan kehilangannya, dengan masa lalunya. Dan, yah, what a family! (11)

  2. Around the World in 80 Days (Frank Coraci, AS, 2004) -- Aku lebih enjoy versi ini, yang terasa lebih sigap dan cekatan daripada versi 1956 yang berpanjang-panjang dan melelahkan. Passepartout, eh Jackie Chan, diberi ruang luas untuk memamerkan kelihaiannya berciat-ciat. Dan Arnie, oh Arnie, Terminator itu sebelum menjadi gubernur California menjadi Pangeran Hapi dari Turki! (29)

  3. The Bridge on the River Kwai (David Lean, Inggris, 1957) -- Clash of the wills that ended abruptly in madness. Menyimak ending-nya, kurasa Apocalypse Now adalah sekuel tak resmi film ini. (31)

  4. The Circle (Jafar Panahi, Iran/Italia/Swiss, 2000) -- "It's a girl!" Disusul dengan tampang pilu sang nenek -- yang mengharapkan cucu lelaki -- dalam sebuah shot panjang (sekitar tiga menit) yang mengisyaratkan pola melingkar kisah ini. Kita lalu dipertemukan dengan rentetan kisah keterpenjaraan kaum perempuan di sebuah lembaga besar bernama: Iran. Pertama, tiga napi perempuan yang baru dibebaskan (alasan pemenjaraan mereka tidak jelas; bisa jadi semata-mata karena mereka perempuan). Salah satu dari mereka segera ditangkap lagi, entah karena apa. Nargess ingin kembali ke tempat kelahirannya, yang dibayangkannya sebagai firdaus. Arezou tidak yakin kalau firdaus semacam itu eksis. Kisah lalu meloncat ke Pari, mantan napi juga, yang ingin mengaborsi kandungannya. Kisah lalu meloncat ke seorang ibu yang terpaksa membuang anaknya. Kisah lalu meloncat ke seorang pelacur -- satu-satunya perempuan yang berani menatap laki-laki, dalam hal ini petugas polisi. Rokok dijadikan simbol perlawanan, dan ada selingan prosesi pernikahan yang terasa ironis. Akhirnya, kita dilemparkan ke dalam penjara, dan bertemu lagi dengan tiga perempuan di awal film, yang telah meringkuk kembali di sana. (01)

  5. The Day of the Jackal (Fred Zinnemann, Inggris/Perancis, 1973) -- Kisah upaya pembunuhan terhadap presiden Perancis, de Gaulle. Detektifnya gigih, dan penjahatnya tak sekadar mujur, namun memang betul-betul piawai berkelit. Penuh kelokan, rumit, namun sekaligus tergarap rapi jali, dengan ketegangan yang terus menanjak. Namun, dasar Denmas Marto, adegan yang amat membekas justru saat si penjahat menggali informasi di British Museum. Wuiihh, seandainya perpustakaan seperti itu ada di Ngayogyakarta sini.... (21)

  6. Dirty Pretty Things (Stephen Frears, Inggris, 2002) -- Some things are too dangerous to keep secret. (23)

  7. Fargo (Joel Coen, AS, 1996) -- Kekerasan dan humor ternyata bisa dipadukan secara amat unik. Skenario pemerasan berkedok penculikan yang menyimpang jauh dan menjadi perkara berbelit-belit saat darah mulai menetes di atas hamparan salju. "Oh, daddy...." Muncul Marge Gunderson, polisi yang tengah hamil (Pernahkah ada adegan seorang polisi menyeruput kopi, lalu menunduk gara-gara terserang morning sickness?), seorang wanita bersahaja yang dicintai suaminya, namun penuh keberanian dan berpenciuman tajam dalam menyidik perkara -- dan menjadi semacam mercusuar di tengah cuaca berkabut Minnesota dan sekitarnya. "You betcha." Semula aku agak bingung dengan adegan pertemuan antara Marge dan Mike, yang rasanya seperti tempelan. Amatan Jonathan Rosenbaum, yang diterangkan oleh Roger Ebert, memberi penjelasan memuaskan. Mike adalah "bayangan" Jerry. Saat Marge ditelepon temannya bahwa Mike cuma menipu, ia langsung melihat kesejajarannya dengan kasus Jerry. Akhirnya, siapa tidak terguncang oleh adegan di mesin tatal kayu itu? "There's more to life than a little money, you know. Don't you know that? And here you are. And it's a beautiful day." Gunderson sungguh sosok yang unforgettable, layak diganjar Oscar. Kata Neil LaBute, "William H. Macy makes you weep; Frances McDormand gives you hope." (17)

  8. Frequency (Gregory Hoblit, AS, 2000) -- Aku mencatat sebuah keanehan nonton film: sebuah unsur yang menonjol bisa membuat kita memaafkan sebuah film, atau justru mencampakkannya. Selama ini aku mengedepankan "logika dalam" dalam menganalisis film atau fiksi. Kali ini aku tanpa sadar mengesampingkannya, dan terseret ke dalam 'frekuensi' emosionalnya. Film ini boleh disebut gagal menjelaskan BAGAIMANA logika pertautan masa kini dan masa lalu -- bisa dibilang nonsense, atau paling tidak sulit dijelaskan secara ilmiah. Namun, kalau Anda menguasai pola pikir ala Back to the Future, film ini secara garis besar cukup gampang diikuti. Balutan thriller menjadikan ketegangannya lumayan terjaga, mengingatkanku pada The Fugitive (seperti Richard Kimble, Frank Sullivan sempat menjadi tertuduh innocent). Adapun yang paling bersinar dari film ini adalah jelujuran dinamika hubungan ayah-anak (dimainkan dengan penuh greget oleh Dennis Quaid dan Jim Caviezel; akting mereka termasuk unsur yang patut diacungi jempol di film ini), yang menggarisbawahi pentingnya peran seorang ayah dalam kehidupan seorang anak (oh, tema yang senantiasa mengharu-biru diriku). Bagaimana coba perasaanmu bila ayahmu, yang telah meninggal saat kau umur 6 tahun, 30 tahun kemudian menyapamu lewat sebuah radio panggil? Aurora Borealis yang memungkinkan mereka berhubungan lagi -- aku ingin menyebutnya simbol Miracle atau Providence, dengan kata lain: simbol Pengharapan. Yahoo! (30)

  9. Harry Potter and the Prisoner of Azkaban (Alfonso Cuarón, AS, 2004) -- Kian galak saja. (14)

  10. The House of Flying Dagger (Zhang Yimou, RRC, 2004) -- Antara tugas dan cinta. (15)

  11. House of Sand and Fog (Vadim Perelman, AS, 2003) -- Sepedih Mystic River. Ketika keegoisan berbenturan -- sebuah salah langkah yang berujung pada kesengsaraan berlarat-larat. Film ini tidak menuding ke mana-mana, hanya memaparkan argumentasi masing-masing pihak -- lengkap dengan dambaan, kenaifan dan juga kepicikan mereka -- dan mengajak kita untuk memahami mereka. Di luar itu, film ini juga bisa dibaca sebagai perumpamaan tentang ketakberdayaan pemerintah (terwakili oleh aparat kepolisian Lester Burdon) untuk meredakan konflik horisontal -- atau, justru kecerobohan pemerintahlah yang memantik konflik itu. (13)

  12. Infernal Affairs (Andrew Lau & Alan Mak, Hong Kong, 2002) -- Film kucing-tikus antara polisi dan mafia Hong Kong ini terbagi dalam empat episode, tanpa klimaks besar, hanya klimaks kecil di ujung setiap episode. Pendahuluan diakhiri dengan penyergapan yang gagal, namun membongkar rahasia bahwa polisi punya mata-mata di tubuh mafia (Yan), dan sebaliknya, mafia pun punya mata-mata di tubuh kepolisian (Ming). Selanjutnya, kedua mata-mata itu adu cerdik satu sama lain. Setiap kali kedok mereka (salah satu dari mereka) nyaris tersingkap, jawaban pamungkasnya adalah ledakan pistol. Dari sisi laga, ketiga tembakan pada akhir setiap episode itu terasa dingin dan cepat selesai. Gema yang tersisa kemudian adalah: Kepada mata-mata mana sebenarnya film ini mengajak kita bersimpati? Yan ingin berhenti sebagai mata-mata karena capek hidup dalam kegelapan; Ming -- motivasinya terkesan culas dan egois. Ataukah dia seperti disiratkan dalam perkataan tunangannya, yang sedang menulis novel: "Aku tidak bisa menyelesaikan novelku. Aku tidak tahu lagi tokohku itu orang yang baik atau orang yang jahat"? Aku sendiri "kecewa", ternyata bukan jagoanku yang menang. Secara teknis, film ini berzig-zag dengan cantik tanpa terkesan ruwet. Namun, momen-momen kontemplatif tentang pergumulan batin Yan dan Ming, serta hubungan mereka dengan pacar masing-masing, kurang tergarap dengan tuntas. Tony Leung, Andy Lau, Anthony Wong dan Eric Tsang tampil memikat. Film ini meraih 7 penghargaan, termasuk film terbaik, dalam 22nd Annual Hong Kong Film Awards (2002). (07)

  13. Infernal Affairs II (Andrew Lau & Alan Mak, Hong Kong, 2003) -- Setelah sekian lama menonton film berbagai genre, terus terang aku telmi mengikuti kisah film Hong Kong yang satu ini -- baik dalam mengidentifikasi tokoh-tokohnya maupun dalam membaca alur kisahnya. Baru pada menit-menit ke-50, aku mulai menemukan "titik terang" -- dan, yah, nyatanya film ini layak dicermati. Bisa berdiri sendiri, namun bisa pula sebagai latar penjelas bagi sekuelnya, yang justru dibuat lebih dulu (hehe, sekuelnya ini pun pada awalnya aku meraba-raba; hanya lumayan lebih cepat, baru pada menit-menit ke-30 aku bisa menangkap maksudnya!) (08)

  14. James and the Giant Peach (Henry Selick, AS, 1996) -- Nonton di Trans, sebuah Minggu siang. Yang membuatku tertarik adalah nama Roald Dahl, penulis cerita anak-anak yang piawai itu. Dan film ini memvisualisasikan imajinasi "edan" Dahl dalam paduan live-action dan stop-motion animation yang menawan. Kisahnya mengenai perjalanan mengejar impian, yang mengingatkan kita bahwa perjalanan itu sendiri justru lebih menggairahkan daripada tujuan. Makhluk yang paling kusukai: hiu mekanis yang nyaris mencaplok James cs. Namun, begitu kisah berakhir, aku sudah lupa kalau film ini diselingi sejumlah lagu! (12)

  15. Kiki's Delivery Service (Hayao Miyazaki, Jepang, 1989) -- Ini karya awal **) Miyazaki, saat imajinasinya terasa belum full-blown, namun toh tetap menakjubkan. Kisahnya kebalikan dengan film-filmnya yang kemudian. Bukannya anak biasa yang tersedot ke dalam petualangan ganjil, kali ini justru tentang anak "luar biasa" (penyihir) yang berusaha menempatkan diri dan menyumbangkan kelebihannya di tengah masyarakat normal. Kemampuan sihir di sini gampang dibaca sebagai talenta pribadi. Ini makin jelas saat kemampuan sihir diperbandingkan dengan proses kreatif melukis (tampaknya Miyazaki memang hendak menyuguhkan metafora pergumulan kreatif seorang seniman). Keluarga dan tetangga sekelilingnya sudah mengantisipasi bahwa selewat dia berumur 13 tahun, ia akan pergi ke sebuah kota (sendiri!) untuk mengasah kemampuannya. Di sebuah kota tepi laut, yang masyarakatnya sudah lama tidak disambangi tukang sihir, Kiki mencoba menemukan jati dirinya. Ia tidak memulai dengan belajar (teori) dulu, namun langsung praktik dengan melayani seseorang, dan dari situlah ia menemukan "kelebihan"-nya. Pada mulanya ia sangat bergairah, namun saat "petualangan"-nya menjadi rutinitas, ia pun dihinggapi kejemuan. Sampai pada suatu titik, ia kehilangan kemampuan sihirnya (terbang dengan sapu). Bagaimana ia bisa memperolehnya kembali? Film ini memiliki "kata kunci" yang sama dengan Castle in the Sky: Terbang (keduanya sama-sama menampilkan pesawat terbang ala Zeppelin). Dari sisi gambar: sudah molek, namun belum terkesan kompleks; dan semuanya keindahan natural, belum ada makhluk-makhluk fantastis dan latar yang spektakuler. **) Seorang teman mengoreksi: ini karya sesudah Castle dan Totoro. Tapi penilaianku tetap, Miyazaki tampaknya menahan diri untuk tidak "mengobral" imajinasinya. Di antara film-filmnya yang pernah kutonton, it's the simplest and the sweetest. (02)

  16. Leap of Faith (Richard Pearce, AS, 1992) -- Confronted by the genuine article. (32)

  17. Malcolm X (Spike Lee, AS, 1992) -- Memang aku tak sejalan dengan pandangan hidupnya, khususnya sebelum ia mengalami pencerahan di Mekah, namun sepanjang film ini simpatiku bertumbuh for the man himself. Aku menghargai perjuangan dan kegigihannya. Aku bisa membandingkan dengan keadaanku saat lahir baru dulu, "penuh semangat namun kurang hikmat". Denzel Washington berhasil "menghilang" selama menjadi Malcolm Little. Namun, begitu dia bertemu dengan Elijah Muhammad (diperankan dengan penuh kharisma oleh Al Freeman Jr.), aku melihat Denzel lagi. Bukannya aktingnya nggak bagus, namun bagiku, itu Denzel yang lagi berperan menjadi Malcolm. Angela Bassett sebagai Betty justru lebih memikat. Menyaksikannya, dan mengingat penampilan-penampilannya yang sempat kusimak, hm, artis satu ini selalu mantap. Dalam film yang penuh pergolakan ini, ia membuat suasana "mengendap", khususnya dalam adegan-adegan domestik (paling memukau saat ia pertama kali mengingatkan Malcolm akan kemungkinan pengkhianatan). A shattering movie! (28)

  18. Matchstick Men (Ridley Scott, AS, 2003) -- Seorang con-artist (oh, eufimisme!), seorang pria paruh baya dengan berbagai gangguan saraf, dan seorang ayah yang mencoba belajar mempedulikan putrinya yang baru dijumpainya setelah berumur 14 tahun. Dan, jangan salah baca: itu adalah gambaran seorang tokoh, bukan tiga tokoh. Jadi, bisa dibayangkan betapa "dahsyat" kehidupannya! Roy, begitu namanya, berusaha menjaga diri dan lingkungannya seresik mungkin, namun tubuhnya tidak bisa berdusta: karut-marut kehidupan batinnya menyeruak ke luar, termanifestasi di sekujur tubuhnya, mulai dari pelipis yang berkedut-kedut tak terkendali hingga ujung jari kaki yang risih bersentuhan dengan kotoran apa pun. Pada pertengahan, kehidupan Roy sempat terlihat tenang, yaitu saat ia belajar mempedulikan Angela. Akhirnya, sebuah proyek penipuan membawa mereka menuju klimaks yang penuh kejutan. Adapun adegan pamungkasnya, aku tertarik untuk membandingkannya dengan The Sixth Sense. Dalam The Sixth Sense, kejutan itu sekadar membuat kita terperangah, sadar kalau sudah terkelabui oleh pelintiran plot. Di sini, kejutan itu memberi kita sebuah perspektif yang baru terhadap seluruh rangkaian kisah yang baru saja berlangsung. Aku diingatkan pada kata-kata arif ini: "Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia membinasakan atau merugikan dirinya sendiri?" Last but not least, Nicholas Cage and Alison Lohman were absorbing. (She was 24 years old, and played a 14 years old teenager convincingly!) (09)

  19. Miracle on the 34th Street (Les Mayfield, AS, 1994) -- Aku "terpaksa" nonton film ini karena mau menulis tentang film-film Natal. Ternyata, tidak terlalu mengecewakan. (06)

  20. My Life as a Dog (Lasse Hallström, Swedia, 1985) -- Seorang bocah 12 tahun yang terlalu cepat gede. Seorang ibu yang sakit-sakitan. Kerabat yang eksentrik di sebuah kota kecil yang penduduknya eksentrik pula. Dan oh, ada dua ekor anjing. Yang satu dipisahkan dari si bocah; yang satu ditelantarkan dalam misi di ruang angkasa. Sebuah nostalgia masa kecil yang lebih mirip sebuah elegi, kendati di sana-sini ada sentuhan komedi. (05)

  21. Ingat iklan Mandom?Once Upon a Time in the West (Sergio Leone, Italia, 1968) --  Adegan pertamanya langsung menghipnotis -- kalau tak ada gangguan, bisa jadi aku tak beranjak dari kursi sampai film ini habis. Pelan, dengan bunyi-bunyian alami sebagai latarnya, rasanya seperti disedot ke tanah para koboi yang gersang dan menegangkan. Detilnya -- eh, lalatnya itu, lho! Bill Chambers dari Film Freak mencatat, "On Raiders of the Lost Ark, Paul Freeman had a serendipitous encounter with a fly in the middle of a take, thrilling Steven Spielberg; the same thing happens to Jack Elam in Once Upon a Time in the West, but Leone planted the fly. When the insect wouldn't behave, Leone slathered poor Elam's face in honey." Selebihnya, close up demi close up, lengkingan harmonika, musik latar yang ngilu, lokasi yang digarap dengan piawai, hingga flash back mencekam di tengah adu pistol antara Frank dan Harmonica itu. Aku jauh lebih menikmati film ini daripada Once Upon a Time in America. (Iseng-iseng aku menengok resensinya Roger Ebert. Film ini hanya diberi **; Once Upon a Time in America ****. Namun, dalam esei tentang The Good, the Bad and the Ugly dalam "Great Movies" dia berkomentar, "A man with no little ideas, Leone made two other unquestioned masterpieces, 'Once Upon a Time in the West' (1968) and 'Once Upon a Time in America' (1984)." Hm, ** saja sudah terhitung unquestioned masterpiece?) (04)

  22. The Passion of the Christ (Mel Gibson, AS, 2004) -- Di tengah Kekristenan yang cenderung dicitrakan dalam warna-warna pastel, ini torehan merah kirmizi kehitam-hitaman tentang harga yang harus dibayar untuk penebusan kita. (19)

  23. Permanent Record (Marisa Silver, AS, 1988) -- High school. Senior year. His suicide shattered their world. Their courage drove them to pick up the pieces. Sebuah lagu, yang semoga abadi, digubah untuknya....

  24. Peter Pan (P.K. Hoogan, AS, 2003) -- Benarkah Peter Pan tidak ingin bergabung dalam kehangatan kamar di loteng rumah keluarga Darling, dan memilih kembali ke Neverland, mengulang-ulang petualangan dengan Kapten Hook dan Tinker Bell? Benarkah ia tetap tidak ingin beranjak dewasa -- terlebih setelah kecupan Wendy yang membuatnya merona? Hm, aku melihat kilasan kesedihan di matanya saat pamit dan melesat terbang ke langit malam kota London.... [Aku sempat menyinggung dongeng J.M. Barrie ini dalam sebuah cerpen.] (22)

  25. Radio (Mike Tollin, AS, 2003) -- Kebaikan, memang, lebih mengharukan. "Mencintai seseorang itu bukanlah suatu kesalahan. Itu selalu bagus." Ada akting apik Cuba Godding Jr. setelah di Jerry Maguire. Ada rangkaian adegan Natal yang manis. Ada dua monolog Ed Harris yang menyentuh. "Bukan Radio yang belajar dari kita. Kitalah yang lebih banyak belajar dari dia." Dan pilihan yang akhirnya dia ambil -- bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya, bagi Radio. (26)

  26. The Royal Tenenbaums (Wes Anderson, AS, 2001) -- Aku suka style-nya, yang mengikuti keeksentrikan tokoh-tokohnya. Semua pemain tampil bagus, namun tetap saja Gene Hackman-lah yang paling menonjol (selain dia masih ada: Anjelica Huston, Ben Stiller, Gwyneth Paltrow, Luke Wilson, Owen Wilson, Danny Glover, dan Bill Murray). Mirip Magnolia, hanya dalam tataran yang lebih intim: Magnolia memotret kota, Tenenbaums memotret sebuah keluarga genius, namun disfungsional. Aku paling cles dengan adegan saat Royal pamit pada keluarganya dan secara sambil lalu menyatakan bahwa enam hari yang baru saja dilewatinya adalah hari-hari paling indah dalam hidupnya. Kemudian, ia tersadar, it's true! (18)

  27. Sabrina (Billy Wilder, AS, 1954) -- Kisah Cinderella dan Si Itik Buruk Rupa dari sebuah garasi. Sabrina, demikian namanya, sejak kecil mendambakan David Larrabee, si playboy putra majikannya. Semula David tidak memperhitungkannya. Barulah saat Sabrina pulang dari Paris, dan menjelma jadi Si Angsa Nan Rupawan, David -- yang tengah menuju pernikahan ketiga -- meliriknya. Namun, demi kepentingan bisnis keluarga, Linus, kakak David, bertekad mengalihkan perhatian Sabrina. Jatuh ke dalam pelukan siapakah Si Angsa Cantik ini akhirnya -- pada sang pangeran tampan atau pada sesosok figur ayah? (24)

  28. Sgt. Bilko (Jonathan Lynn, AS, 1996) -- Memantapkan Steve Martin sebagai komedian favoritku. (34)

  29. Shrek 2 (Andrew Adamson, AS, 2004) -- Kembali ke aslinya. It is not our appearance that needs changing, but our hearts. (33)

  30. Sweet Hereafter (Atom Egoyan, Kanada, 1997) -- Film pedih tentang kehilangan. Seorang ayah dan seorang pengacara (Ian Holm), yang "kehilangan" putrinya yang kecanduan narkoba, mencoba menolong sebuah kota kecil yang kehilangan anak-anak mereka dalam sebuah kecelakaan bus sekolah. Sembari bergumul dengan "roh jahat"-nya sendiri, dalam pencarian bukti ia menemukan rahasia-rahasia terpendam para warga (kecanduan alkohol, kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan, dan bahkan inses), yang justru kian mengguncangkan "ketenteraman" warga kota tersebut. Bagaimana mempertemukan kepedihan dengan keadilan? "We've all lost our children. It's like all the children of America are dead to us. Just look at them, for God's sake--violent on the streets, comatose in the malls, narcotized in front of the TV. In my lifetime something terrible happened that took our children away from us .... I don't know which are causes and which are effects; but the children are gone, that I know. So that trying to protect them is little more than an elaborate exercise in denial It's too late; they're gone; we're what's left." Adegan awal merupakan prabayang yang kuat: Mitchell Stephens dalam mobil yang sedang dicuci dengan mesin, nyatanya mesin itu mogok, dan Stephens terpaksa keluar dengan membawa payung yang tak memadai untuk menahannya, agar tak terguyur air. Adegan paling mencekam adalah saat Stephens bercerita tentang pengalamannya berusaha menyelamatkan Zoe dari gigitan serangga. Pembacaan puisi Pied Piper of Hamelin yang membayang di sepanjang film ini juga terasa menggetarkan. (03)

  31. Throne of Blood (Akira Kurosawa, Jepang, 1957) -- This awful stain of blood! (10)

  32. Twilight Samurai (Yoji Yamada, Jepang, 2002) -- Kukutip Ebert: "'Twilight Samurai' stars Hiroyuki Sanada as a samurai in the dying days of the samurai era, who works as a bookkeeper and then is assigned to perform a murder, to his immense reluctance. Intercut with a poignant love story, and involving an extraordinary conversation between the samurai and his intended victim, it is a bittersweet masterpiece." (27)

  33. The Winslow Boy (David Mamet, AS, 1999) -- Let right be done. (16)

  34. Harrison Ford dan Kelly McGillis dalam WitnessWitness (Peter Weir, AS, 1985) -- John Book (Harrison Ford dalam penampilan terbaik sepanjang karirnya), seorang polisi Philadelphia, mengalami perubahan hidup saat berusaha menolong Rachel, seorang perempuan Amish, dan anaknya, Samuel, yang menyaksikan pembunuhan di toilet stasiun kereta api. Sebagai polisi, bahasa John Book adalah senjata dan kekerasan. Kini, saat menghindar dari rekan sesama polisi yang korup, ia terlindungi oleh komunitas Amish yang menabukan kekerasan. Darrel Manson dari Hollywood Jesus mencatat, "The title, Witness, really has at least three meanings in this film. It is first of all the boy who is a witness to murder and has to be protected. It is also the crowd that comes in the final battle and through their witnessing of what is happening put an end to it. But mostly it is the witness that the community makes through their lives." Ya, seberapa jauh kehidupan kita menjadi garam dan terang bagi orang-orang di sekitar kita? (20)


Home - Puisi - Fiksi - Renungan - Film - Buku - Artikel

© 2004 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1