Home | Film Favorit

Throne of Blood

Sutradara: Akira Kurosawa
Pemain: Toshiro Mifune, Isuzu Yamad
Produksi: Jepang, 1957

Seluruh kisah Throne of Blood telah "disinopsiskan" dalam ramalan si penyihir (roh?) terhadap dua orang samurai pada awal film. Dalam perjalanan menuju Istana Jejaring Laba-laba, Washizu dan Miki tersesat di hutan dan bertemu dengan penyihir yang meramalkan nasib mereka. Mereka berdua malam itu akan naik pangkat. Kelak, Washizu akan duduk di tahta Istana Jejaring Laba-laba. Namun, putra Mikilah yang kemudian akan menggantikannya.

Sampai di situ, kisahnya mirip dengan pengalaman bocah gembala dari Betlehem yang diurapi menjadi raja Israel. Namun, Washizu bukan Daud. Dia tidak tinggal di dunia yang menyadari kedaulatan Tuhan dan sekaligus memberi ruang bagi kehendak bebas manusia.

Sebaliknya, Washizu berpijak di sebuah dunia nihilistik, di mana jantera karma menenun jaring-jaring yang menjerat nasib seseorang. Selain pada tema nyawa ganti nyawa, pola jantera (daur ulang) muncul berlapis-lapis di sekujur film ini, mulai dari nyanyian bak mantra pada bagian awal dan bagian akhir.

Yang paling mencekam adalah sebelum dan sesudah Washizu dan Miki bertemu dengan penyihir (roh?) yang meramalkan nasib mereka. Sebelum: Mereka terputar-putar tak berhasil menemukan jalan keluar dari hutan (direkam dari balik pohon, bayangan mereka berkuda melintas-lintas dalam suasana wingit). Sesudah: Mereka terputar-putar dalam kabut (tanpa editing pun, kabut itu telah sukses menjadi sarana dissolve!).

Ya, kabut, hujan, angin -- juga hutan, pohon, burung-burung dan hujan anak panah! -- mencuat sebagai karakter tersendiri.

Toshiro Mifune sebagai WashizuBanyak pengamat menyebut Washizu sebagai samurai yang haus kekuasaan. Kalau ia adalah Macbeth-nya Shakespeare, bisa jadi ada benarnya. Namun, di dunia Kurosawa, ia lebih mirip lalat yang terperangkap pada jaring laba-laba Takdir.

Dan sebenarnya semua tokoh dalam film ini terjerat ke dalam jaring-jaring Takdir tersebut, termasuk anak Miki yang semula mempertanyakan kelogisan ramalan si penyihir. Yang berusaha memberontaki suratan takdir justru Asaji -- oh, setelah (eh, sebelum) Lady Kaede dalam Ran, ternyata sudah ada sosok perempuan sebengis ini. Ia mengaku mempercayai ramalan itu, namun diam-diam hendak memelintirkannya demi ambisinya sendiri. Toh, telikungan Takdir terbukti lebih kuat daripada kelicikannya.

Berpegang pada Takdir, mereka enggan untuk mengakui bahwa "tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya" -- atau seperti kata si penyihir, "Takut untuk melihat kedalaman hati sendiri." Di situlah, justru, tragedi yang sesungguhnya. *** (02/11/2004)

Home | Film Favorit | Email

© 2004 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1