Home | Film
Rekam Jejak
Kelompok #8
-
An Affair to Remember
-
Airport -- Mirip The Birds: bencana di
bandara dan di udara mencerminkan bencana yang melanda
tokoh-tokohnya. Namun, ending-nya betul-betul sialan: amat,
sangat manipulatif. Tentu saja, aku akan membocorkannya. Ya, kita tentu saja tersenyum lega bahwa musibah itu
bisa diatasi. Namun, haruskah kita ikut tersenyum lega saat: (1)
seorang istri menjadi janda karena suaminya memilih menjalani "misi
bunuh diri" ketimbang memikul tanggung jawabnya, (2) seorang penipu menjadi "pahlawan",
dan (3) dua keluarga berantakan karena dua orang suami memilih
merengkuh pasangan selingkuhnya? Haruskah kita ikut tertawa?
-
Aliens (James Cameron, AS, 1986) -- Full-action,
berbeda dengan prekuelnya yang masih memberi ruang lumayan longgar
untuk perenungan.
-
Around the Bend -- Penggalian terakhir.
Pengampunan. Menari bersama abu.
-
Awara (Raj Kapoor, India, 1951) -- Ayah yang
hilang -- tanpa penebusan.
-
Batman Begins (Christopher Nolar, AS, 2005)
-- Dahsyat. Kompleks. Memuaskan.
-
The Birds (Alfred Hitchcock, AS, 1963) --
Burung-burung sebagai metafora konflik di antara tokohnya, khususnya
para wanita.
-
Charlie and the Chocolate Factory (Tim
Burton, AS, 2005) --
-
Cromwell (Ken Hughes, AS, 1970) -- Bandingkan
dengan biografi singkat ini.
-
Cry Freedom (Richard Attenborough, AS, 1987)
-- Sebuah film yang salah sudut pandang. Seandainya dikisahkan dari
sudut pandang Steve Biko, tak ayal film ini akan menjadi kisah
perjuangan kemerdekaan yang mencekam. Namun, dengan menggeser sudut
pandang ke Donald Woods, film ini, khususnya separuh bagian terakhir,
jadi terasa banal dan lebih cocok bila dijuduli Escape from South
Africa.
-
Duck Soup (Leo McCarey, AS, 1933) --
Perkenalan pertama dengan Marx Brother (Groucho, Harpo, Chico, Zeppo),
dan konon ini masterpiece mereka. Aku bikin klip dari adegan
cermin yang heboh itu. Aku juga suka saat Groucho meminta bantuan
saat perang: Lihat saja bala pertolongan yang muncul...
-
Frankenstein (James Whale, AS, 1931) --
Hehe, film horor kuno ternyata jauh lebih sedap daripada horor
muktahir. "Whale ushered in a new era of horror films, and
Karloff was never quite able to shake his image as the frightening,
yet often sympathetic "monster" of Dr. Frankenstein,"
kata AFI. Dan monster itu, sepanjang film diacu sebagai
"it"! Dan, eh, adegan di Beauty and the Beast saat
Gaston memimpin penduduk desa berderap menuju istana Si Buruk Rupa
itu ternyata dicuplik dari sini to.
-
Free Willy (Simon Wincer, AS, 1993) --
Dengan membebaskan Willy, Jesse membebaskan dirinya.... (ah, tapi
perjalanan mereka rupanya demikian panjang, sampai ada Free Willy
3!).
-
Funny Face (Stanley Donen, AS, 1957) --
Kalau Anda suka tata warna yang molek, kalau Anda suka musik
Gershwin, kalau Anda suka kisah cinta antara fotografer separuh baya
dengan model yang masih muda, kalau Anda suka Fred Astaire menari
solo dengan jas dan payung, kalau Anda suka Audrey Hepburn menuruni
anak tangga dengan gaun merah memikat (gaun merahnya atau
Hepburn-nya?)... film ini untuk Anda.
-
The Great Escape (John Surges, AS, 1963) -- ...
but not a great film, just a good one.
-
High Noon (Fred
Zinneman, AS, 1952) --
-
Hotel Rwanda (Terry
George, Kanada/Italia/Inggris/Afrika Selatan, 2004) -- If people
see this footage, they'll go, 'Oh my God! That's horrible!"
then go on eating their dinner." (If you love Schindler's
List, this film is a must!)
-
Ikiru
(Akira Kurosawa, Jepang, 1952) -- Setelah 30 tahun rutinitas kerja
yang memboyakkan, tiba-tiba kau divonis hidup lebih kurang setengah
tahun lagi -- apa yang akan kaulakukan? Mr. Watanabe berjumpa dengan
sesosok "iblis" dan kemudian sesosok "malaikat"
yang menunjukkan pilihan-pilihan yang bisa diambilnya dalam sisa
masa hidupnya yang singkat itu. Apakah ia akan terus menjadi mummy
-- atau coba menikmati hidup (ia sempat tersadar betapa selama 30
tahun tak sempat menikmati keindahan senja) dan membuat hidupnya
bermakna? Dengan subplot menarik tentang njelimet-nya
birokrasi dan betapa -- sekadar dengan niat baik -- perubahan
nyatanya tidak gampang.
-
Ketika
(Deddy Mizwar, Indonesia, 2005) -- Komedi korupsi yang lumayan
Indonesia.
-
Jacob's Ladder
(Adrian Lyne, AS, 1990) -- Mimpi buruk di dalam mimpi buruk di dalam
mimpi buruk. Roger Ebert: "This is a film about no less than
life and death, and Jacob seems to stand at the midpoint of a ladder
that reaches in two directions. Up to heaven, like the ladder that
God put down for the Biblical Jacob in Genesis. Or down to hell, in
drug-induced hallucinations. This movie was not a pleasant
experience, but it was exhilarating in the sense that I was able to
observe filmmakers working at the edge of their abilities and
inspirations. Not every movie has to be fun."
-
Janji Joni
(Joko Anwar, Indonesia, 2005) -- Saya menonton film ini pertama kali
dengan mengikuti pola berpikir Kompas: mempertanyakan "kesetiaan"
Joni waktu. Nggak masuk akal dalam jangka waktu sesempit itu si Joni
mengalami rentetan petualangan seheboh itu, dan hanya terlambat
beberapa menit dalam mengantarkan rol filmnya. Kemudian, saya
menontonnya lagi dengan menuruti pola pikir Tempo, yang
memilihnya sebagai film terbaik 2005. Kuncinya: Justru
ketidaklogisan itulah titik kelucuannya. Dan, asyik, saya bisa
ngakak di berbagai adegan sepanjang cerita. Saya jadi sepakat dengan
Tempo, film ini membuka kemungkinan segar bagi perfilman
Indonesia. Betul-betul menghibur. Idenya tidak basi, dan digarap
dengan penuh kecintaan -- ya, seperti temanya: kecintaan pada karier.
Kalau membandingkan dengan Gie, yang jadi Film Terbaik FFI
2005, saya jadi melihat bahwa dewan juri FFI masih terpesona dengan
tema besar. Ya, Gie memang mengangkat tema besar, namun
eksekusinya lumayan terbata-bata. Sedangkan Janji Joni,
temanya bersahaja, namun eksekusinya manis. Untuk kemajuan dunia
film, mestinya kita memilih kefasihan eksekusi lebih dulu.
-
Kabhi Khushi Kabhie Gham
(Karan Johar, India, 2001) -- Aku menyimak kemiripan pola pikir sang
ayah di film ini (diperankan oleh AB) dengan pola pikir Jawa (lebih
tepatnya, ayahku sendiri). Kegagapan untuk mengungkapkan cinta-kasih,
meledak dalam amarah -- dengan risiko disalahpahami oleh orang-orang
terdekat selama bertahun-tahun! Dan, apakah aku mirip tokoh yang
diperankan SRK, yang gagal membaca pola pikir sang ayah? Begitulah,
meski amat berlarat-larat, film ini mendentingkan sebuah dawai
khusus di dalam diriku.
-
Lemony Snicket's A Series of Unfortunate Events
(Brad Siberling, AS, 2004) -- Visual bagus, akting anak-anaknya
ciamik, tapi... kacian amat itu anak-anak Baudelaire.
-
Mean Creek (Jacob Aaron Estes, 2004) -- Salah
satu film remaja terbaik! Ketika sebuah keisengan meliuk ke arah
yang sangat, sangat keliru. Bukan hanya tragis, namun sekaligus
menyodorkan dilema moral yang alot untuk dikunyah oleh orang dewasa
sekalipun. (Catatan buat Arek Malang: Jangan ajak keluarga nonton
film ini! Stres tidak ditanggung!)
-
The Merchant of Venice (Michael Radford) --
-
Metropolis (Fritz Lang, Jerman, 1926) -- Sebuah
dunia ganda dengan pola hubungan yang mencemaskan: justru karena
saling membutuhkan, pihak yang kuat menginjak pihak yang lemah.
Pemandangan kontras pun tak ayal bertebaran, bertumpuk-tumpuk, di
sekujur kota raya itu.
-
Million Dollar Baby (Clint Eastwood, AS,
2004) -- Sebagai film: t-o-p. Sebagai sodoran ide: huh, bikin
tenggorokan tercekik. Dan, sebuah hardikan menohok atas
ketakberdayaan gereja. Ya, seandainya kau seorang beriman, nasihat
apa yang akan kausodorkan pada Frankie? Dan, apa sih sebenarnya
motivasi Frankie? Belas kasihan salah arah? Atau... ah, kenapa
judulnya pakai kata "million dollar" segala? (Catatan buat
Arek Malang: Jangan ajak keluarga nonton film ini! Depresi tidak
ditanggung!)
-
Misery (Rob Reiner, AS, 1990) -- Menulis
sebagai senjata.
-
Notorious (Alfred Hitchcock, AS, 1946) --
Cary Grant. Ingrid Bergman. Claude Rains. Makin kacian aja dengan
para wanita dalam film-film sang empu ini! Kalau kau jadi Alicia,
siapa sebenarnya, jujur from the bottom of your heart, yang
akan kaupilih: Devlin atau Alex?
-
Open Range (Kevin Costner, AS, 2004) --
Serasa dilempar ke dalam kawasan Old Western. Hm, ternyata film
koboi masih bernapas. Moralitasnya setegas Shane dan High
Noon. Lanskapnya seelok True Grit. Bumbu percintaannya
lumayan manis. Dan, tembak-menembaknya, wow!
-
Out of Africa (Sydney Pollack, AS, 1985) --
Segerobak dengan Gone with the Wind, Dr. Zhivago, Titanic -- you
name it.
-
The Polar Express (Robert Zemeckis, AS, 2004)
--
-
Pulp Fiction (Quentin Tarantino, AS, 1994)
-- Hm, kisah pertobatan di tempat yang tak terduga.
-
Ray (Taylor Hackfor, AS, 2004) -- Di luar
kepiawaian akting Jamie Foxx dan kehebohan soundtrack (sayang,
favoritku, I Can't Stop Loving You, nggak muncul), biopik 2
jam 32 menit ini terasa flat. Padahal, aku sudah menyediakan
waktu khusus dan nyaman untuk menikmatinya. Beda banget dengan saat
nonton Malcolm X. Kedua nama itu sama-sama belum kukenal, toh
Malcolm X jauh lebih menyedot dan wrenching banget.
-
Rebel Without a Cause (Nicholas Ray, AS,
1955) -- Ayah yang hilang -- dengan penebusan.
-
Rob Roy (Michael Caton-Jones, AS, 1995) -- Braveheart
memang lebih kolosal, lebih gemuruh, lebih berpanjang-panjang;
film ini justru singkat-padat: lebih subtil, lebih menyedot emosi,
lebih membetot nurani, lebih terfokus pada karakter ketimbang pada
aksi, lebih punya hati. Oh, saat Jessica Lange keluar dari rumah
yang terbakar itu.... And, of course, it's has the best
sword-play I've ever seen!
-
Roman Holiday (William Wyler, AS, 1953) --
Hm, what a holiday.... (Ketika protokol kenegaraan mesti
menepiskan cinta... hiks! Coba aja kalau dibuat chicklit, pasti beda
jauh ending-nya!)
-
Sanjuro (Akira Kurosawa, Jepang, 1962) -- A
Kurosawa-lite, yet still a very good one. Bila Anda memulai
perkenalan dengan Kurosawa melalui film ini, berbahagialah. Film
sekeren ini belum termasuk dalam lima besar karyanya. Bayangkan saja
bagaimana bila Anda bersua dengan masterpieces sang empu,
seperti Rashomon, Seven Samurai, Throne
of Blood, Ran. "Tanda tangan" Kurosawa lumayan
jelas dalam komedi samurai ini: hentikan frame mana saja, dan
hampir bisa dipastikan Anda akan mendapatkan gambar berkomposisi
apik dan enak dipandang. Film ini juga berhasil memberikan sentuhan
komedi melalui koreografi: Sanjuro dibuntuti sembilan samurai muda,
bergerak ala kaki seribu. Kisahnya sendiri menampilkan kontras
antara kematangan dan kearifan seorang samurai kawakan &
semangat kurang hikmat samurai muda. Sanjuro adalah sekuel Yojimbo,
film Kurosawa yang paling populer di Jepang.
-
Sideways (Alexander Payne, AS, 2004) --
Anggur dan kehidupan. Dan persahabatan. Dan penuaan. Dan ketengilan
menjelang pernikahan. Dan dialog ajaib ini: Maya: You know, can I ask you a personal question, Miles?
Miles Raymond: Sure.
Maya: Why are you so in to Pinot?
Miles Raymond: [laughs softly]
Maya: I mean, it's like a thing with you.
Miles Raymond: [continues laughing softly]
Miles Raymond: Uh, I don't know, I don't know. Um, it's a hard grape to grow, as you know. Right? It's uh, it's thin-skinned, temperamental, ripens early. It's, you know, it's not a survivor like Cabernet, which can just grow anywhere and uh, thrive even when it's neglected. No, Pinot needs constant care and attention. You know? And in fact it can only grow in these really specific, little, tucked away corners of the world. And, and only the most patient and nurturing of growers can do it, really. Only somebody who really takes the time to understand Pinot's potential can then coax it into its fullest expression. Then, I mean, oh its flavors, they're just the most haunting and brilliant and thrilling and subtle and... ancient on the planet.
Miles Raymond: What about you?
Maya: What about me?
Miles Raymond: I don't know. Why are you into wine?
Maya: Oh I... I think I... I originally got in to wine through my ex-husband.
Miles Raymond: Ah.
Maya: You know, he had this big, sort of show-off cellar, you know.
Miles Raymond: Right.
Maya: But then I discovered that I had a really sharp palate.
Miles Raymond: Uh-huh.
Maya: And the more I drank, the more I liked what it made me think about.
Miles Raymond: Like what?
Maya: Like what a fraud he was.
[Miles laughs softly]
Maya: No, I- I like to think about the life of wine.
Miles Raymond: Yeah.
Maya: How it's a living thing. I like to think about what was going on the year the grapes were growing; how the sun was shining; if it rained. I like to think about all the people who tended and picked the grapes. And if it's an old wine, how many of them must be dead by now. I like how wine continues to evolve, like if I opened a bottle of wine today it would taste different than if I'd opened it on any other day, because a bottle of wine is actually alive. And it's constantly evolving and gaining complexity. That is, until it peaks, like your '61. And then it begins its steady, inevitable decline.
Miles Raymond: Hmm.
Maya: And it tastes so fucking good. (Dari: IMDB)
-
Sling Blade (Billy Bob Thornon, AS, 1996)
-- Ada yang menyebutnya dungu, terbelakang. Ada yang menyebutnya pahlawan. Ada yang menyebutnya main hakim sendiri -- menjatuhkan hukuman dengan satu-satunya cara yang dia ketahui. Ada yang menyebutnya sosok yang paling tidak realistis, seseorang yang
out of place, di tengah sebuah kota kecil yang realistis. Ada yang menyebutnya figur ayah bagi si bocah sahabatnya. Ada pula yang menyebutnya juruselamat. Mungkin saja, ia hanya pria bersahaja, yang diperhadapkan pada sebuah pilihan sukar.
-
Touch of Evil (Orson Welles) --
-
The Treasure of Sierra Madre (John Huston,
AS, 1948) -- Oh, emas! Oh, ketamakan!
-
The Triplets of Bellevile (Sylvain Chomet,
Perancis/Kanada/Belgia, 2002) -- Animasi nyeleneh yang akan membuat
sampeyan nyengir! Secara visual membelalakkan mata, secara musikal
mengentakkan kaki. Namun, kisahnya -- yang sebenarnya paralel dengan
Finding Nemo -- digelar di sebuah dunia yang getir, egois dan
sinis. Hiks!
-
What's Eating Gilbert Grape (Lasse Hallstrom,
AS, 1994) -- A young man’s patience is
tried when his responsibilities as the Oldest Child grow heavier.
How many movie heroes can you name whose prime motivation was
"to be a good person"? Johnny Depp is a warm, winning
Gilbert, whose love for his sick mother and handicapped brother
transcends family crises. Poetic and real. This film contains
Leonardo DiCaprio's greatest performance. (Jeffrey Overstreet) And
yes, love as a catalyst!
Home - Puisi
- Fiksi
- Renungan
- Film
- Buku
- Artikel
© 2005 Denmas Marto
|