Denmas Marto | Puisi - Fiksi - Renungan - Film - Buku - Artikel

FIKSI


Baur dan Sunyi -- Benarkah aku menarik?

Bima Melacak Tirtapawitra -- Ya, melacak. Dalam pencarian ini, keuletan dan ketabahannya lebih tangguh daripada seekor anjing pelacak: pantang mundur sebelum yang dicarinya berada di tangan. Anjing pelacak dapat dikendalikan oleh Pak Polisi. Ia tidak, oleh saudara-saudara pancatunggal tercintanya sekalipun.

Di Bawah Langit Kota -- Paling-paling cuma Yul yang agak serius menanggapi keluhanku yang aneh ini. Itu pun lama-lama dia bosan dan kelihatan jengkel. Kalau sudah begitu, ia akan menuduhku tidak bisa menyesuaikan diri.

Gunung Cinta di Gurun Duka -- Adalah sebuah gurun yang dilewati suatu bangsa ketika mengembara: gurun luas yang seolah-olah tak berbatas. (Cerpen seorang sahabat dan komentar saya.)

Kado Kejutan -- Tangannya membolak-balik undangan itu, namun pandangannya menerawang ke arah taman sekolah. Bibirnya yang agak memutih kering tanpa lipstik membentuk segaris senyum yang sulit ditafsirkan. Lalu, ia menunduk lagi, memandang-mandangi kartu hijau pupus itu. Gambarnya seorang gadis dengan rambut tergerai seperti yang biasa dijumpainya dalam komik-komik Jepang yang suka dia tiru-tiru goresannya. Namun, bukan itu yang menyita perhatiannya.

Ketika Benci Itu Mencair -- Aku tak habis pikir kenapa ia bisa begitu kena mengusik bagian yang paling peka dalam diriku.

Ketika Lari Sore-sore -- Ingin berganti suasana, penyegaran pikiran, itu saja niatnya. Tanpa pikir panjang, ia menyetujui ajakan Mirza untuk berlari sore. Akhir-akhir ini, Mirza memang lagi sibuk mempersiapkan diri untuk ikut ujian masuk Akmil. Tapi, Ari... ahai, Ari, kutu buku kelas berat itu, akan lari!

Mangga yang Nikmat -- "Bu, Mas Anto dan teman-temannya mau mencuri mangga di kebun Pak Jono!" lapor Nano kepada ibunya.

Maskumambang -- Tinggal sederet kenangan menggigit, meski terasa baru kemarin, seperti sebuah gending akhirnya mencapai suwuk, suatu babak kehidupan akhirnya juga harus dipungkasi. Ning telah melepaskan masa bocahnya, dengan berdebar. Itulah hari-hari yang paling panjang yang paling indah dalam hidupnya. Ya, masa bocah adalah masa yang paling tidak mengenal curiga yang paling tidak mengenal setitik pun tahi cemburu.

Mengenang Yus -- Menyaksikan Didi, keponakanku, gagah bersanding di pelaminan, serasa ada air sejuk membasahi relung dadaku. Trenyuh, terharu. Mereka bahagia, tentu; namun aku menyimpan segumpal kebahagiaan tersendiri.
(Plus: Komentar Slamat P. Sinambela)

Riwayat Hilangnya Gunung Pelontar -- Gunung Pelontar – begitu sesekali, dalam tempo yang sangat jarang sekali – orang mendengar nama itu. Akan lebih tepat bila dikatakan bahwa nama itu sudah nyaris dilupakan oleh penduduk Pulau Ramai. Mendengar nama itu, orang akan berkata, “Ah, dongeng kuno!” – dan nyaris tak akan tebersit dalam pikirannya kalau gunung itu masih dan tetap ada. Gunung itu telah lebih menyerupai sebuah khayalan daripada kenyataan.

Sebuah Cerita Tentang Kebosanan -- Adakah yang lebih buruk daripada kebosanan?

Sepucuk Surat, Kuharap Kaubaca -- Aku ingin menulis, menulis dan menulis. Aku ingin ilham itu mengalir, menggerojok, menggelora. Aku ingin mengungkapkan perasaan-perasaan yang sebetulnya ingin diungkapkan suami pada isteri saat berdekapan setelah anak-anak pulas, namun selama ini perasaan-perasaan itu hanya berdesir-desir di ulu perutnya.

Simbiosis -- Menunggu email itu terkirim, kepalaku kembali berdenyut. Sebetulnya yang terus terngiang-ngiang dalam benakku setelah pertemuan sehari itu adalah pembicaraan kami tentang susu.

Warrior -- Dan apa yang dicemaskannya, tibalah.

Yang Lebih Berharga -- Meski ia sudah buru-buru menyekanya dengan kertas tisu, namun tidak banyak menolong. Tumpahan cat air berbagai warna itu telanjur membasahi dan menyebar mengotori halaman-halaman buku kesayangan Papanya. Dion hanya bisa memandanginya dengan rasa bersalah, rasa sedih, beraduk dengan rasa takut.


Home - Puisi - Fiksi - Renungan - Film - Buku - Artikel

© 2003 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1