Home | Fiksi

Sebuah Cerita tentang Kebosanan

Adakah yang lebih buruk daripada kebosanan?

Jari-jari Marto menutul-nutul keyboard dengan lamban. Seakan-akan dengan itu ia telah mengisi kebosanan dengan sebuah kegiatan. Seakan-akan dengan itu ia telah menepiskan kebosanan itu. Tanpa memandang monitor komputernya yang berdenyar-denyar.

Ia tidak enggan pada kebosanan. Ia tidak benci pada kebosanan. Ia takut: kebosanan adalah panggung yang membiarkan sosok-sosok terjelek dari relung hatinya menongolkan batang hidungnya.

Kebosanan adalah hidup penuh dengan impian, namun serba ditelikung oleh ketidakberdayaan. Kebosanan adalah memiliki ide sangat bagus untuk sebuah novel, namun tidak tahu bagaimana mendramatisasikannya atau menyisipkan dialog-dialog yang cergas. Kebosanan adalah berjumpa dengan selaksa orang, namun tidak mengingat satu nama pun. Kebosanan adalah tersedia segala-galanya, namun tidak kunjung terpuaskan. Kebosanan adalah kata-kata yang meletup-letup di kepala, namun terbungkam, tak terungkapkan. Kebosanan adalah kengerian. Kebosanan adalah: kematian yang tertunda-tunda.

Karena bosan, misalnya, ia memutuskan hubungan dengan kekasih pertamanya, seorang perempuan yang manis.

Kisah cinta mereka mungkin cukup manis untuk sebuah film romantis: Begitu berjumpa dengannya, perempuan itu mengingatkannya pada Dorothy, diperankan oleh Renée Zellweger, dalam film Jerry Maguire. Montok, namun manis, dengan senyum yang memadukan kebungahan, kekaguman, kebanggaan dan dukungan. Perasaannya benar-benar melambung, melayang di antara awan-awan, seperti Bambi. Hanya saja, berbeda dengan Bambi, ia rupanya tidak perlu bertarung dengan jantan lain untuk memperebutkan sang kekasih. Perempuan itu segera menjadi the one and only dalam hidupnya, dan ia menjadi the one and only dalam hidup perempuan itu. Mereka berhasrat saling memberi diri. Sepenuh-penuhnya. Maka, ketika pertama kali perahu kejantanannya berlabuh di teluk keperawanannya, perempuan itu mempersembahkan darah cinta.

Ia memeluk kekasihnya erat-erat.

Mereka tidak pernah membicarakan masa depan. Mereka tidak pernah membicarakan pernikahan. Mereka tidak pernah membicarakan rumah yang akan mereka tempati, anak-anak yang akan mereka besarkan, anjing yang akan mereka pelihara. Mereka lebih suka membicarakan anggur yang memanaskan tenggorokan mereka, desir angin yang menjilat punggung telanjang mereka, karpet empuk tempat mereka bergumul -- atau saling terdiam dan bersitatap. Mereka adalah pasangan carpe diem.

Dan karena setiap hari adalah hari yang baru, mereka senantiasa mereguk kebaruan. Posisi matahari tak selalu persis sama setiap kali dia terbit. Komposisi dan warna awan tidak selalu persis sama ketika mereka mengantarkan matahari tenggelam. Juga bau hujan atau laju angin.

Tetapi, hari juga hanya bilangan yang bergeser di kalender dinding. Hari bukan sesuatu yang begitu saja kita reguk. Sebaliknya, hari menuntut kita untuk mengisinya. Atau kita bisa diam seperti jenasah dalam peti mati, dan waktu akan mengirimkan kita ke hari yang lain, dengan tuntutan yang masih sama.

Begitulah mereka menjelajahi hari dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dengan segenap akal budi, dan dengan segenap kekuatan. Mereka saling mencium, berpisah pada pagi, pergi ke aktivitas pribadi masing-masing. Saling merindukan. Saling menantikan. Untuk bertemu lagi. Mereka berkunjung ke tempat-tempat yang mungkin mereka kunjungi. Mereka ngobrol soal segala sesuatu yang lalu-lalang dalam hidup mereka, di sekitar mereka. Atau, mereka menghabiskan hari dalam suatu liburan panjang. Mereka mempertemukan hasrat mereka.

Mereka tidak pernah membicarakan masa depan. Mereka tidak pernah membicarakan pernikahan. Mereka tidak pernah membicarakan rumah yang akan mereka tempati, anak-anak yang akan mereka besarkan, anjing yang akan mereka pelihara. Mereka lebih suka membicarakan anggur yang memanaskan tenggorokan mereka, desir angin yang menjilat punggung telanjang mereka, karpet empuk tempat mereka bergumul -- atau saling terdiam dan bersitatap. Mereka adalah pasangan carpe diem.

Sampai hari-hari mereka menjadi sekotak kenangan yang tidak pernah dibongkar-bongkar. Menjadi tua dan mengendap, coklat. Tersimpan semuanya: segala tempat yang mereka kunjungi, segala minuman yang mereka cicipi, sejumlah pakaian dalam yang tak sempat mereka cuci. Dan desah napas. Dan lagu-lagu yang mengiringi mereka menari. Dan obrolan yang terkunci. Sampai suatu malam ia bermimpi....

"Akankah kita menikah?" tanya kekasihnya sesantai bertanya apakah ia menginginkan telur ceploknya digoreng setengah matang atau well-done.

"Aku takut akan bosan," jawabnya itu seringan keengganannya memakai kaus kaki kotak-kotak.

"Apa?! Sesudah sekian puluh posisi persetubuhan? Sesudah belasan tempat tamasya? Kau bicara soal kebosanan? Come on! Tidak adakah alasan yang lebih signifikan?" rengek kekasihnya, mendadak, seperti pemain sinetron yang marah-marah.

"Justru karena semuanya itu," jawabnya, tetap kalem. "Aku mendapati jauh lebih mudah melepaskan kancing bajumu, menyibakkan gerai rambutmu, memuaskan hasratku -- ketimbang meretas lapisan-lapisan hatimu. Tubuhmu hanya 162 centimeter, dan kalau lekuk-lekuknya nyaris selesai kuhapal, lalu apa lagi? Selama ini kita hanya tubuh bertemu tubuh."

Itu yang dikatakannya. Dengan kalem dan tenang. Yang tidak dikatakannya adalah: Betapa sulit bagiku membuka hatiku sendiri: membiarkan sosok-sosok terjelek dari relung hatiku menongolkan batang hidungnya.

Namun, justru kekaleman itulah yang mencemaskan kekasihnya. "Sudahlah. (Kekasihnya mengendus tengkuknya.) Aku sebenarnya tak bersungguh-sungguh menanyakan itu. Kau tahu 'kan? Kita sudah berjanji untuk mencukupkan diri dengan hubungan ini. Kita telah puas bersetia satu sama lain kendatipun tanpa ikatan. Kalau kita telah menikmati apa yang mungkin dinikmati oleh suami-isteri -- sambil menolak untuk menanggung apa yang tidak ingin kita tanggung -- tanpa mesti terlebih dahulu melangkah ke depan altar, masih perlukah kita bermimpi tentang pernikahan? Kau tahu aku tidak bersungguh-sungguh, 'kan? Kau tahu kita sudah sepakat untuk puas dengan tubuh bertemu tubuh, 'kan?"

Kekasihnya tersenyum seakan-akan hendak menenangkannya.

Bersitatap.

Mendengus.

Saling merengkuh.

Lalu mereka bergumul. Sampai puas. Sampai pulas.

Malam-malam ia terbangun. Dengan udara yang bosan.

Ia memutuskan mencekik kekasihnya.

***

Adakah yang lebih buruk daripada kebosanan?

Jari-jari Marto menutul-nutul keyboard dengan lamban. Seakan-akan dengan itu ia telah mengisi kebosanan dengan sebuah kegiatan. Seakan-akan dengan itu ia telah menepiskan kebosanan itu. Tanpa memandang monitor komputernya yang berdenyar-denyar.

Ia tidak enggan pada kebosanan. Ia tidak benci pada kebosanan. Ia takut: kebosanan adalah panggung yang membiarkan sosok-sosok terjelek dari relung hatinya menongolkan batang hidungnya.

Karena bosan.....

Ia memutuskan untuk mengundurkan diri dengan hormat dari pekerjaan pertamanya, sebuah pekerjaan yang rutin, mantap dan menjanjikan -- sebab sebenarnya ia toh tak perlu bekerja pada orang lain untuk hidup dalam kebosanan. Ia memutuskan untuk berhenti membaca berita-berita soal koruptor, yang terus-menerus dibicarakan, namun tidak juga ditangkap. Ia memutuskan tidak mempedulikan berita-berita bencana dan musibah, yang selalu ditakuti, namun tidak juga diatasi. Ia mematikan televisi. Ia membiarkan mayat kekasihnya terkapar di ranjang. Ia tidak menonton film. Ia tidak mengirim SMS. Kekasihnya sedang hamil setelah bosan menenggak pil. Ia membisukan volume MP3. Ia tidak berhenti menutul-nutulkan jari-jarinya ke keyboard dengan lamban. Tanpa memandang monitor komputernya yang berdenyar-denyar.

Karena bosan, akhirnya, ia saat ini memutuskan untuk memutuskan hubungan dengan dirinya sendiri, seseorang yang terjebak bosan dalam mimpi.... ***

Yogyakarta, April 2005

© 2005 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1