Home | Fiksi

Simbiosis

It's a very rare moment.

Begitu kutulis dalam email, seminggu setelah Alex kembali ke Medan. Kuucapkan terima kasih atas satu hari Jumat istimewa yang kami lewatkan bersama – dia sekeluarga, aku sekeluarga. Itu pertemuan pertama kami setelah berpisah enam tahun lalu.

Menunggu email itu terkirim, kepalaku kembali berdenyut. Sebetulnya yang terus terngiang-ngiang dalam benakku setelah pertemuan sehari itu adalah pembicaraan kami tentang susu.

"Itu susu sapi!" serunya ketika kuberi tahu merk susu yang kuberikan kepada sulungku sebagai lanjutan ASI. "Aku tidak setuju kauberi anakmu susu sapi. Susu sapi ya untuk anak sapi! Ganti dengan susu formula. Kau harus beri yang terbaik untuk anakmu. Kau tahu, dalam lima tahun pertama, perkembangan otak anak mencapai seratus persen. Itu sebabnya disebut golden age. Setelah itu lewat, kau nggak akan dapatkan lagi."

***

Alex Simanjuntak, begitu dia memperkenalkan dirinya.

Entah bagaimana, kami langsung saling cocok. Kalau kupikir-pikir – jauh hari kemudian – betapapun di dalam diri setiap kita pasti ada sejumput sektarianisme. Kampus kami beda, dia Batak, aku Jawa, dan kami hidup di negeri Pancasila yang menghormati keragaman, toh yang menjadikan kami berdua akrab sedikit banyak adalah karena kami sama-sama ke gereja di tengah teman-teman satu kos yang ke masjid semua.

Pernah suatu hari Minggu kami ikut kebaktian dari satu gereja ke gereja lain sambil di sepanjang jalan tertawa-tawa konyol. Minggu depannya kami mangkir sama sekali, menghabiskan waktu di Kaliurang, nyengir nonton orang-orang pacaran. Suatu kali kubawa dia ke kampungku di kaki Sindoro, dan dia tampak enjoy sekali waktu disuguhi nasi jagung. Sebaliknya, kalau dia dapat kiriman sambal teri medan, berarti selama beberapa hari kami tinggal menanak nasi.

Aku mengenalkan dia pada gudeg, nasi liwet dan lontong opor. Dia membawaku mencicipi babi panggang dan babi rica. Aku: B2 (daging babi) oke, B1 (daging anjing) no way. Dia: setelah satu gigitan, sekarang setiap kali ditawari tahu atau tempe bacem, berlagak seperti ibu hamil mau muntah. Aku cuma ketawa.

Sedikit-sedikit dia bisa menangkap percakapan berbahasa Jawa, mengucapkan sejumlah kalimat, dan ikut tergelak kalau aku numpang nonton ketoprak di televisinya. Aku pura-pura tidak mendengar kalau dia dengan penuh semangat berbahasa 'Mars' dengan kawan-kawan sedaerahnya. Yang jelas, kami sama-sama pecinta si Doel. Dia menjagoi Sarah, aku membela Zaenab. Dia pendukung berat Jerman, dan aku memilih tidur ketimbang begadang menunggu siara langsung.

Pada awal bulan, dia sangat royal. Namun, pada akhir bulan, aku mesti siap-siap ditodong untuk nongkrong di warung koboi, menyantap nasi kucing (seporsi hanya pas untuk memberi makan kucing), menyeruput teh jahe.

Dia makin menjadi setelah kebetulan ikut acara PMK (Persekutuan Mahasiswa Kristen). Sudah bisa ditebak, maksud hatinya yang sesungguhnya adalah memikat seorang cewek.

Di situ seorang pendeta mahasiswa memberi gambaran tentang kehidupan jemaat Kristen mula-mula. Mereka menjalankan gaya hidup komunal. Milikku, milikmu, milik kita. Bedanya dengan komunisme: orang komunis dipaksa oleh partai, mereka melakukannya secara sukarela. Mereka mengikat covenant satu sama lain. Covenant adalah perjanjian yang dilandasi kepercayaan dan pertanggungjawaban tak terbatas. Covenant ini tidak akan bubar sekalipun keadaan berubah. Entah bagaimana, pengajaran ini membekas pada Alex. Dengan berapi-api dia menceritakannya padaku.

"Aku bukan komunis," cetusnya. "Dan aku rela. Jadi, kalau aku punya makanan, berarti kau punya makanan. Kalau aku ada uang, kau juga ada uang."

Keadaan kurasa impas saat dia jatuh cinta dan pacaran dengan cewek Ambon-Makassar, mahasiswi fakultas sastra kampusnya (bukan yang ditaksirnya waktu PMK). Segala tetek bengek surat rayuan, kartu Valentine hingga puisi ulang tahun, aku yang mengurusnya. Dan Alex berterus-terang pada Anne bahwa dia melibatkan aku dalam proyek bersastra-sastra ini.

"Jadi, ini tulisan kau atau buatan Kris?"

"Semuanya curahan hatiku, honey! Dia cuma poles-poles sedikit."

Alex membiarkan diriku menjadi saksi kemesraan – dan tidak jarang juga, pertengkaran hebat – mereka berdua. Aku mendapatkan teman ngobrol yang asyik untuk mendiskusikan Umar Kayam hingga One Hundred Years of Solitude (oleh-oleh papanya sepulang dari Amerika). Dan Alex mempercayaiku, atau dia sangat yakin aku cukup tahu diri bahwa di luar urusan sastra, aku sadar Anne bukan kelasku.

"Biar aman juga, 'kan!" cetusnya mengomentari kebiasan kami pergi bertiga dengan Katana Anne. "Lagian, seliar-liarnya awak, Kris, paling banter kami cuma ciuman." Aku cuma ketawa.

Saat orang tuanya berkunjung, aku bisa unjuk kemampuan. Mereka minta diantar berkeliling Borobudur-Prambanan. Beribu-ribu terima kasih untuk dosen senior Telaah Teks Klasik. Beliau sempat menuntun kami menelusuri panil demi panil relief candi-candi ini.

Ketika pulang, Om Simanjuntak menyelipkan amplop ke saku bajuku. Dua ratus ribu. Kubelikan kamus Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, dan sepotong celana jeans. Selebihnya, Alex menyeretku ke McD. Untuk urusan semacam ini, jelas Anne tidak dilibatkan.

Alex diwisuda satu semester setelah Anne. Tiga bulan kemudian mereka menikah. Sengaja di Yogya, untuk memudahkan keluarga kedua pihak hadir semua. Dua minggu kemudian, mereka berangkat ke Medan.

***

Tiga tahun kemudian aku menyusul kawin. Kusunting Dian, adik angkatan Anne. Kami sudah sempat ketemu beberapa kali sebelumnya dalam acara-acara di rumah Anne. Waktu Alex dan Anne menikah, aku jadi MC, dan dia menyumbangkan sebuah lagu. Dengan lekuk vokal lumayan mirip-mirip Vina Panduwinata, dia menyanyikan Cinta. Saat itulah hatiku menggelepar. Dan kami resmi pacaran dengan berdua nonton Titanic.

Kami sepakat repot duluan. Segera lahirlah dua anak kami, laki-laki dan perempuan, sehat-sehat dan manis-manis. Cukup. Kami menjalani KB lestari.

Aku berusaha membina keluarga kecil sejahtera dengan gaji guru SMU swasta dan tambahan dari menerjemahkan dan menulis. Dengan itu aku bisa mengontrak rumah, kredit motor, dan menggaji seorang pembantu.

Sebelum menikah Dian sempat mengajar di bimbingan belajar, namun kemudian ia memilih mengembangkan keterampilan menjahitnya. Dengan begitu, ia juga punya banyak waktu untuk mengurus si kecil. Sebagian besar pakaian anak kami dijahitnya sendiri.

Alex, entah bagaimana, rasanya menguap begitu saja. Aku hanya sempat mengingatnya satu-dua kali ketika kebetulan berpapasan dengan Henry, kakak Anne, yang menyunting seorang putri Solo dan menetap di Yogya.

Sampai Jumat pagi itu. Dia, Anne, tiga orang anak dan seorang pembantu, mendadak muncul di depan rumah kontrakanku dengan mobil Kijang kapsul biru metalik. "Lumayanlah, Kris, iparku berbaik hati meminjamkannya selama kami di Yogya," cetusnya, sambil dengan ringan menyebutkan bahwa di Medan dia bisa saja membawa Peugeot, salah satu kendaraan pribadinya.

Kisah sukses pun segera berentetan dari mulutnya. Dia mengikuti jejak mertuanya, bertekun di dunia perbankan, sambil bisnis kanan-kiri, "mencari sesuap nasi, dan sepiring berlian." Anne mengajar bahasa Inggris di SMU swasta top dengan gaji yang "lumayanlah untuk tambah-tambah beli susu." Sulungnya, lima tahun, mengikuti the best kindergarten in town, sudah fasih baca-tulis. Anak kedua sudah siap ikut playgroup.

"Kami sebenarnya diminta tinggal di rumah besar orang tuaku di sebuah kawasan elit. Itu rumah sudah atas namaku. Tapi, ya tahu dirilah, masa baru saja menikah langsung jagoan begitu, 'kan ya piye. Makanya kami pilih tinggal di perumahan lain dulu."

Aku memberinya kumpulan puisi pertamaku yang belum laku-laku. "Wah, masih setia berpuisi-ria, toh?" sambut Anne, sehangat dulu.

Alex mengajak kami makan di restoran kenangan: babi rica. Sesudah itu, kami meluncur ke Kids' Fun.

Sungguh satu hari Jumat yang tak terduga, dan setelah Alex sekeluarga berpamitan pulang, rasanya memang seperti mimpi saja. "Masih Alex yang dulu," hanya begitu komentar istriku.

Namun, yang masih terus terngiang-ngiang dalam benakku setelah pertemuan sehari itu tidak lain adalah pembicaraan kami tentang susu. Kemarin, ketika aku membeli sekotak lagi susu sapi untuk si sulung, kepalaku berdenyut.

It's a very rare moment.

Yogyakarta, April 2003

© 2003 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1