Home | Fiksi

Seorang sahabat mengirimi saya cerpen berikut ini, dan meminta saya mengomentarinya.

Gunung Cinta di Gurun Duka*)

Oleh Sidik Nugroho

Adalah sebuah gurun yang dilewati suatu bangsa ketika mengembara: gurun luas yang seolah-olah tak berbatas. Gurun luas yang beringas. Gurun luas yang kering-kerontang dan penuh dengan ular berbisa. Gurun, yang, ketika kau menyebut namanya, merinding dan diterbangkan oleh nuansa kegetiran akibat kengerian dan hawa memanas.

Di gurun duka inilah sebuah bangsa yang konon dijuluki tegar tengkuk mengembara selama berpuluh-puluh tahun. Empat puluh tahun, tepatnya. Pengembaraan yang ibarat memanggul sebuah kuk. Kuk yang berat, teramat berat, hingga terbungkuk-bungkuk. Mereka menjelajah, mengarungi panas-kering kala siang dan gelap-kelam kala malam. Panas yang mereka rasakan berselimutkan harapan akan pencapaian tanah perjanjian. Malam yang mereka cumbu dalam bosan mengekalkan di benak mereka: impian akan negeri bayangan yang di dalam janji ilahi berlimpah-limpah susu dan madu. Tentulah itu negeri indah dengan warna membiru tanpa jeritan pilu yang membuat udara jadi kelabu!

Di pengembaraan penuh duka nan mengerikan inilah, seorang pemimpin hidup dan memimpin. Ia setia dan dekat pada Pencipta. Ia penyabar dan tak lekas gusar. Ia adalah seorang tua yang delapan puluh tahun sudah usianya. Ia bertongkat dan berjanggut panjang. Pemimpin ini telah lelah memimpin bangsa yang tak bisa tabah sekian lama. Gerutuan, caci maki dan umpatan terngiang dalam jejak panjang pengembaraan yang seolah tanpa akhir.

Suatu hari, pada kala pengembaraan di gurun yang penuh duka itu, ia ingin mendaki ke sebuah gunung. Pemimpin ini memang suka mendaki ke gunung. Ia bukan anggota pecinta alam atau penikmat lingkungan yang memang tidak ada di zamannya. Ia adalah pengamat kilau purnama, pencumbu kerlip bintang dan pendengar jitu bisikan lemah lembut, yang semuanya ia nikmati dengan begitu mengagumkan saat ada di gunung. Ia adalah penafsir jitu gerak waktu, yang membuat sajak indah tentang waktu. Sajaknya itu kini abadi, tercatat dalam kitab tua yang sarat petuah.

Dulu, ia pernah mendaki ke sebuah gunung dan bertemu dengan sebuah kekuatan besar yang memutihkan udara di sana. Kekuatan itu adalah kekuatan Pencipta. Dan samar-samar, pada udara yang memutih itu, tampaklah sebuah semak yang terbakar. Semak itu menguning-memerah. Warna-warni yang mulia, mengenangkan memori yang tak terhapus dalam ruang benaknya.

Nah, gunung yang didakinya kali ini adalah gunung yang tanah dan karangnya membisu. Gunung yang tampak agung karena seringkali berselimutkan awan putih di bagian ujung. Namun, awan-gemawan yang kelabu, yang kadangkala ada pula sesekali di sekitarnya juga dapat membuatmu kelu. Gunung itu, ketika kau ada di sana dan turut memandanginya, akan membuatmu diliputi damba akan kekekalan namun juga ketakutan karena seringkali terlihat kilat berkelebatan.

Sang pemimpin perlahan-lahan mendekati kaki gunung itu, lalu memandangi ujungnya yang rupawan. Rambut dan jenggotnya yang panjang didesiri angin, berombak-ombak ke sana ke mari. Dalam tatapan mata tuanya tersimpan harapan bagai rupa kilat, pula bagai anak panah, siap menembus kekelaman dengan tekad untuk mendaki.

Tongkat yang dipegangnya ditancapkan dengan sekuat tenaga ke tanah, seolah-olah hendak membelah bumi! Tongkat itu, pada pertemuannya dengan tanah menyisakan debu yang tak terekam pada pemandangan mata di malam kelam. Namun, andaikan kita dapat melihat terbangnya debu-debu itu! Bersama angin yang membawanya, ia akan mengisahkan kepada burung-burung sebuah tekad yang bulat, yang menciutkan nyali para pecundang di seluruh jagat.

Ketika langkah pertama sang pemimpin bermula, setan-setan meringkik dan bercericit dalam lengkingan pilu. Bagi yang mendengarnya, itu dapat membuat telinga merah. Bahkan, berdarah! Lengkingan yang menggemparkan, membuat pasir di gurun berputar dan udara seolah-olah bergetar. Sang pemimpin tak peduli dengan kegemparan itu, ia melangkahkan langkah-langkah selanjutnya….

Uh, hampir terjatuh sang pemimpin kala ia menginjak karang yang licin nan terjal di tengah gunung itu! Ia lalu merangkak-merayap, mencari cara melangkah yang tepat agar tak jatuh atau tergelincir. Sangat bahaya bila kakimu, kala mendaki gunung itu, terkilir.

Kala ditemuinya jalanan yang landai, ia bernostalgia akan hari-harinya sebagai putra mahkota di sebuah kerajaan dari bangsa yang besar. Kenangannya memanjang, menembus batas-batas ruang sadar menuju benak, tempat peristirahatan segala memori. Tapi, itu bukan bukan bangsanya sendiri. Di sanalah ia dibesarkan bagai seorang putra mahkota. Dimanja dan dibelai penuh cinta. Ia teringat akan warna-warni permadani istana yang mampu membuat hatinya diliputi berbagai rasa. Juga, ia mengenang gadis-gadis belia di kerajaan itu, yang sering menari dan mengajaknya untuk bertamasya dalam taman-taman yang dibangun anggun dan rindang. Ia mengenang pula guru-gurunya yang hebat: para ahli nujum, tukang sihir dan cendekia, yang mengajarinya dengan rupa-rupa hikmat dan didikan.

Namun, jalanan landai ini hanya sesaat. Nostalgia terhenti! Di depannya kini berdiri lagi sebuah tebing terjal yang harus ditembus dengan merayap-merangkak secara sangat hati-hati. Sesaat ia beristirahat. Di dalam istirahatnya itu, tiba-tiba saja, perenungannya dikacaukan oleh sebuah solilokui yang pertama-tama terucap pelan, namun kemudian membahana….

"Aku telah menerima hikmat dan didikanmu, ya bangsa…. Namun, ya bangsa, kau menindas bangsaku! Kau mengenakan kuk bertumpuk-tumpuk! Kau menyumpahserapahinya di dalam kerja paksa dan tuntutanmu! Kau membuatnya menderita sengsara di bawah pemerintahanmu! Kau, kaulah yang akhirnya kutinggalkan! Kaulah yang akhirnya membuatku memanggil berlaksa-laksa gumpalan air dengan kekuatan Junjunganku untuk menggilas dan membenamkan segenap pasukan, kereta dan rajamu yang gagah-gagah itu! Oh, bangsa, oh, bangsa…. Betapa aku mencintaimu, namun, betapa engkau mendukai bangsaku! Betapa aku rindu jadi kawanmu, tapi kau memusuhi bangsaku! Oh, bangsa, oh bangsa…."

Ia berteriak, menangis, tersuruk lalu jatuh tengkurap. Wajah, dada, perut dan lututnya mencium tanah lekat-lekat. Disaksikan malam, dibuai semilir angin, dan disaksikan berjuta pasang mata malaikat, ia lalu terlelap sesaat. Oh, kasihan sang pemimpin!

Tiba-tiba saja, dalam beberapa jenak ia bangkit kembali. Ia usap air matanya, mengebaskan debu dan tanah yang melekat dari wajah dan jubahnya. Tinggal satu tebing terjal lagi, dan setelah itu, sampailah ia pada tujuan akhir: puncak. Ia lalu beringsut perlahan, menapaki kembali perjuangannya yang hampir selesai….

Akhirnya, terselesaikanlah perjuangan itu. Telah dilewatinya sebuah tebing terjal yang menjadi kendala akhir. Namun, ia agak marah karena kaki dan tangannya berdarah. Namun, tak mengapalah, katanya sambil mendesah dan tersenyum bungah!

Ah… ia tak percaya dengan pemandangan ini! Bintang serasa dekat, awan tak begitu pekat sehingga langit bersih terlihat! Pada puncak gunung ini tak terasa lagi lelah yang menari-nari. Hembusan napas panjang yang dibarengi hembusan angin yang mesra, sama-sama menghembuskan rasa suka: sebuah pencapaian tercapai dalam perjalanan yang membuat capai.

Pada perenungan yang dibuai dengan tatapan bintang dan gerak perlahan awan, sang pemimpin merasakan damai cinta. Dan tiba-tiba saja, Pencipta menghadirkan diri-Nya! Ia tampil menggeletar dalam kedahsyatan yang membuat lutut sang pemimpin bergetar-getar. Dan, tanpa dapat dihitung dalam jejak waktu yang konstan, tiba-tiba saja sang pemimpin dibawa dalam kekekalan. Tiba-tiba saja ia tak lapar dan tak bosan. Ia tergenang dalam hadirat-Nya yang rupawan.

Malam itu, pertemuan dua hati: satu manusia dan satu Tuhan, mencapai tingkatan tertinggi. Sang pemimpin, si manusia itu, tak jengah dan bosan dalam gundah dan kekecewaan. Ia bahagia, sebahagia-bahagianya manusia yang paling bahagia di dunia. Di dalam pergulatan indah itu, ia pun berseru kepada Pencipta: "Ya Tuhan, Engkau telah menjadikanku bagi-Mu! Hatiku tak akan tenang sebelum menemukannya di dalam-Mu!"**)

Lalu, setelah ucapan itu terucap tulus dalam lengkingan kekaguman dan cinta yang memuncak, empat puluh hari, empat puluh malam, sang pemimpin bercumbu dengan Pencipta, menikmati kasih-Nya. Semua masa lalunya yang pahit dan berdarah, perlahan-lahan sirna, berganti dengan kekaguman karena seribu nuansa yang menakjubkan dari hadir-Nya. Ingatan dan cinta akan bangsa yang telah ditunggangbalikkannya dengan tongkat sakti sirna. Kebencian dan amarah pada bangsanya sendiri yang kurang ajar memudar. Tinggallah ia, bersama angin, dalam sunyi sepi, lalu… hatinya dirasuki cinta!

Kepada sang pemimpin, Pencipta menyatakan cinta. dan setelah menyatakan cinta, ia menyatakan hukum. Hukum yang lalu ditulisnya dalam dua keping batu besar, menjadi pedoman bagi bangsanya tegar tengkuk yang mengembara di gurun duka. Pencipta berpesan, "Kau, kelak bila turun, akan memproklamirkannya dengan sedikit kekuatan-Ku sehingga suaramu yang membahana menggetarkan gurun duka, membungkam segala pemrotes dan pembangkang. Suaramu pula yang akan berotoritas bagaikan para rasi di langit kelam yang menjadi penentu langkah yang menyisakan jejak musafir kala cari petunjuk di malam kelam."

Empat puluh hari, empat puluh malam
Hati diliputi damai tak padam-padam
Empat puluh hari, empat puluh malam
Duka dari gurun sirna digelapkan kelam

Ah, percintaan yang memikat! Empat puluh hari sudah semuanya terjadi. Sang pemimpin lalu turun dari gunung dengan satu tangan memegang tongkat sakti dan satu tangan memeluk dua keping batu gunung.

Dan, oh, lihatlah…. Lihatlah hai bangsa yang tegar tengkuk! Lihatlah pemimpinmu yang hati dan jiwanya diliputi cinta! Lihatlah: wajah, rambut, jenggot dan jubahnya memutih bagai kapas! Cinta telah membawanya menjadi putih…. Lalu, segenap bangsa sujud menyembah, dan lamat-lamat terdengar suara membahana megah yang menyatakan hukum dalam 10 perintah!

Bangsa tegar tengkuk tetap mengembara di gurun. Namun, hati mereka telah diterangi cinta pada perjuangan seorang pemimpin ketika menemukannya di puncak gunung cinta. Pengembaraan tetap berlangsung, gurun duka tetap terarung. Menyaksikan semua ini, tentang gunung cinta dan gurun duka aku hanya bisa berkata, "Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat."***)

Malang, 27-28 Mei 2005

Catatan:
*) Terinspirasi dari cerpen Raudal Tanjung Banua berjudul Pulau Cinta di Peta Buta.
**) Kata-kata dari Santo Augustinus.
***) Sepenggal bait dari puisi Chairil Anwar berjudul Catetan Th. 1946.

Komentar saya:

Yogyakarta, 4 Juni 2005

Mas Wrekso yang terhormat,

Membaca karya Saudara yang bertajuk "Gunung Cinta di Gurun Duka", saya mencium sebuah lompatan lumayan besar. Karya-karya sebelum ini yang terbaca prosais, tak banyak terendus lagi jejaknya di sini. Tampaknya Saudara telah melakukan, meminjam istilah Bung Agustinus Wahyono, pengembaraan aksara yang cukup suntuk. Terlihat kalimat-kalimat Saudara bukan sekadar sebagai penyampai informasi, namun telah mengalami stilisasi sedemikian rupa sehingga terlahir tuturan-tuturan puitis yang rada-rada menggemaskan.

Itulah kesan umum saya saat pertama kali membaca karya terbaru Saudara tersebut. Akan tetapi, karena Saudara mengundang saya memberikan "seabrek" catatan, yang saya artikan juga sebagai sejenis dengan pengulitan, dengan ini saya mencoba mencermati lebih jauh karya termaksud.

Saya temukan sejumlah kalimat yang rancu akibat kekurangcermatan. Sebagai misal:

  • Gurun, yang, ketika kau menyebut namanya, merinding dan diterbangkan oleh nuansa kegetiran akibat kengerian dan hawa memanas. (Siapa yang merinding dan diterbangkan?)
  • Kuk yang berat, teramat berat, hingga terbungkuk-bungkuk. (Siapa yang terbungkuk-bungkuk?)

Saya percaya, Saudara mampu memperbaiki kalimat semacam itu sehingga menjadi kalimat yang mangkus.

Setelah saya cermati sejumlah kalimat, saya temukan memang belum seluruh daya puitis Anda kerahkan sejadi-jadinya. Masih lumayan banyak berkelebat kalimat-kalimat prosais:

  • Ia setia dan dekat pada Pencipta. Ia penyabar dan tak lekas gusar. (Masih prosais, kendati sudah mencoba bersajak melalui 'penyabar' dan 'tak lekas gusar'.)
  • Ia bahagia, sebahagia-bahagianya manusia yang paling bahagia di dunia. (Waduh, abstrak, Mas! Piye sih sebahagia-bahagianya bahagia itu?)

Perhatikan bedanya dengan petilan puitis yang sudah lumayan manis ini:

  • Ia adalah pengamat kilau purnama, pencumbu kerlip bintang dan pendengar jitu bisikan lemah lembut....
  • Tongkat itu, pada pertemuannya dengan tanah menyisakan debu yang tak terekam pada pemandangan mata di malam kelam.

Nah, Saudara Wrekso, dua kalimat di atas menunjukkan jenis kalimat yang TELLING, sedangkan dua kalimat di bawahnya merupakan contoh kalimat-kalimat yang SHOWING. Kalimat-kalimat telling itu mirip khotbah dan ceramah. Setia -- tapi setia yang bagaimana dan seperti apa, tidak jelas. Cerita yang bagus semestinya showing: mendeskripsikan sesuatu dan membiarkan para pembaca menafsirkannya sendiri. Showing membuka ruang untuk tafsir majemuk. Dua kalimat di atas meninggalkan suatu kesan tertentu, meskipun mungkin sulit untuk diuraikan, yang sangat mungkin berbeda-beda antara pembaca yang satu dengan yang lain. Kalimat pertama, "Ia adalah..." itu, misalnya, lebih dalam maknanya ketimbang bila disampaikan secara lugas: "Ia seorang pecinta alam", misalnya.

Ada pula "kesamaran" yang bagi saya agak mengganggu. Begini:

  • "Aku telah menerima hikmat dan didikanmu, ya bangsa…. Namun, ya bangsa, kau menindas bangsaku!" dst.

Keengganan Saudara menyebutkan nama 'bangsa' itu membuat paragraf itu kurang sedap dibaca. Bagaimana kalau disebutkan secara lugas saja, misalnya:

  • "Aku telah menerima hikmat dan didikanmu, ya Mesir…. Namun, ya Mesir, kau menindas bangsaku!" dst.

Baiklah. Itu tadi soal-soal perkalimatan. Sekarang kita memasuki isinya. Membaca judul "Gunung Cinta di Gurun Duka", sebagai pembaca setidaknya saya mengharapkan tampilnya deskripsi dua buah tempat: sebuah gunung yang karena keunikannya layak menyandang sebutan Gunung Cinta, dan sebuah gurun yang juga karena keunikannya pantas disebut sebagai Gurun Duka. Pertanyaan-pertanyaan yang mengemuka adalah: Mengapa gunung itu dinamakan Gurun Cinta, dan mengapakah gurun itu disebut Gurun Duka? Nah, sidang pembaca tentu mengharapkan suatu deskripsi yang kuat (showing), yang akan mendorongnya bergumam seusai membaca kisah ini: O, layak namanya Gunung Cinta! O, pantas namanya Gurun Duka!

Di sinilah saya merasa Saudara belum mengerahkan daya artistik Saudara sejadi-jadinya. Yang terdeskripsi cukup baik adalah kepedihan pendakian (Itu dia, Saudara tidak memunculkan kata kepedihan dalam kisah ini, namun sebagai pembaca saya menangkap nuansa kepedihan tersebut. Itulah hebatnya showing!). Namun, Saudara seperti kehilangan tenaga ketika mesti menceritakan bagian yang seharusnya menjadi pusat kisah ini: "percintaan" di atas gunung. Perhatikan bagaimana Saudara menuturkannya:

Lalu, setelah ucapan itu terucap tulus dalam lengkingan kekaguman dan cinta yang memuncak, empat puluh hari, empat puluh malam, sang pemimpin bercumbu dengan Pencipta, menikmati kasih-Nya.

Waduh, kalau meminjam bahasa gaul zaman ini, uraian seperti itu sudah garing. Mana nih showing-nya? Yang mau digambarkan adalah sebuah "percintaan" empat puluh hari empat puluh malam, lho!

Adegan turun gunungnya juga seperti tergelincir (cepet banget!), dan gurunnya pun tak sempat tergambar sebagai gurun duka. Ya, kenapa disebut Gurun Duka? Belum terjawab.

Sedikit catatan tambahan, karena Saudara mengangkat sebuah kisah historis, walaupun difiksikan, "kebenaran historis"-nya tetap perlu dipertimbangkan. Nah, yang Saudara gambarkan ini perjalanan-Musa yang pertama atau yang kedua? Kalau perjalanan yang pertama, bukankah sesampai di bawah beliau muntab karena menyaksikan bangsa Israel tengah orgi di hadapan patung lembu emas? Kalau perjalanan yang kedua, perenungannya sepanjang pendakian akan sangat berbeda (dalam pendakian kedua ini ia membawa dua loh batu yang baru, yang Tuhan perintahkan kepadanya untuk memahatnya). Mungkin ia begitu nyesek mengingat bangsanya yang bebal dan tegar tengkuk itu. Nah, bukankan Saudara berkesempatan melukiskan kebebalan dan ketegartengkukan bangsa itu (tanpa mesti menggunakan kata 'bebal' dan 'tegar tengkuk'), dan dengan demikian Saudara akan berhasil memberikan jawaban kenapa gurun itu dinamai Gurun Duka. Mau mencoba?

Bila Saudara berhasrat menekuni lebih jauh penulisan karya-karya serupa, cobalah membaca Godlob-nya Eyang Danarto untuk dijadikan bahan pembelajaran dan perbandingan. Perkenankan saya mengutipkan sebuah paragraf:

Gagak-gagak hitam bertebaran dari angkasa sebagai gumpalan-gumpalan batu yang dilemparkan, kemudian mereka berpusar-pusar, tiap-tiap gerombolan membentuk lingkaran sendiri-sendiri, besar dan kecil, tidak keruan sebagai benang kusut. Laksana setan maut yang compang-camping mereka buas dan tidak mempunyai ukuran hingga mereka loncat ke sana loncat kemari, terbang ke sana terbang kemari, dari bangkai atau mayat yang satu ke gumpalan daging yang lain. Dan burung-burung ini jelas kurang tekun dan tidak memiliki kesetiaan. Matahari sudah condong, bulat-bulat membara dan membakar padang gundul yang luas itu, yang di atasnya berkaparan tubuh-tubuh yang gugur, prajurit-prajurit yang baik, yang sudah mengorbankan satu-satunya milik yang tidak bisa dibeli: nyawa! Ibarat sumber yang mati mata airnya, hingga tamatlah segala kegiatan, perahu-perahu mandek dan kandas pada dasar sungainya dan bayi menangis karena habisnya susu ibu.

Bagaimana, Saudara? Dahsyat, ya? Nah, teruslah mencoba, jangan menyerah melanjutkan pengembaraan aksara dan mengasah ketajaman pedang metafora. Kutunggu bangkitnya sang pendekar kata dari kota sejuk di Jawa Timur, Malang!

Saran penutup, jangan Saudara memakai kalimat-kalimat seperti di "Gurun Cinta" dalam skripsi yang tengah Saudara kerjakan!

Salam sastra,

Denmas Marto

P.S.

  1. Dengan ini saya memohon perkenan Anda untuk memuat cerpen Anda bersama komentar saya di situs Catatan Denmas Marto.
  2. Huahaahaha.... enak juga nulis dengan gaya formal sok tua begitu!

© 2005 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1