Di Bawah Langit Kota
Seperti naik bis
kota. Paling-paling
cuma Yul yang agak serius menanggapi keluhanku yang aneh ini. Itu pun
lama-lama dia bosan dan kelihatan jengkel. Kalau sudah begitu, ia akan
menuduhku tidak bisa menyesuaikan diri. Terus terang, aku sudah berusaha
membiasakan diri dengan keadaan ini. Lama-lama terasa biasa juga, meski
tetap ada yang kurang sreg, tidak kena di hati. Datang kebaktian
Minggu di gereja, duduk bersebelahan dengan orang yang tak kukenal.
Minggu depannya, bersebelahan dengan orang yang tak kukenal yang lain
lagi. Begitu seterusnya. Sudah setahun lebih – sejak terdampar jadi
mahasiswa di kota ini – aku menanggungnya. Kalau di desaku, seusai
kebaktian, kami selalu berjabat tangan satu sama lain dan menyempatkan
diri ngobrol menanyakan kabar masing-masing. Aku merasa
kehilangan suasana, kehangatan, keramahan. Itu saja. Toh akhirnya
aku mesti – ya, seperti kata Yul – membiasakan diri dengan sesuatu
yang tidak biasa bagiku. Penasaran bagaimana kelanjutannya? Bersama sejumlah cerpen lain, cerpen ini telah dibukukan dalam Arie Saptaji dan Sidik Nugroho, NEVER BE ALONE (Kumpulan Cerpen tentang Kemenangan Iman di Balik Pergumulan Hidup), Yogyakarta: PBMR ANDI, 2004, Format 11 X 18 cm, 148 halaman, harga Rp. 19.500,oo. © 2003 Denmas Marto |