Home | Fiksi

Mengenang Yus

Menyaksikan Didi, keponakanku, gagah bersanding di pelaminan, serasa ada air sejuk membasahi relung dadaku. Trenyuh, terharu. Mereka bahagia, tentu; namun aku menyimpan segumpal kebahagiaan tersendiri.

Didi anak kedua Mbak Nunung. Waktu ia umur satu setengah tahun dan Ika, kakaknya, tiga tahun, mbakyuku dan suaminya sama-sama jatuh sakit. Agak parah, dan mereka mondok cukup lama di rumah sakit. Didi dan Ika dibawa neneknya. Waktu itu Ibu sudah menjanda - telah dua tahun Bapak meninggal. Aku masih di SMP, dan Mas Tok kelas III SMA. Ramailah rumah kami oleh kehadiran dua bocah cilik itu.

Kembali dari rumah sakit, mbakyuku repot menjelang kelahiran si bungsu. Empat bulan kemudian, lahirlah Aris. Didi dan Ika tetap di rumah kami. Dan rupanya mereka sudah telanjur lekat, sampai Ibuku yang mestinya mereka sebut 'Eyang' mereka panggil 'Ibu'. Ibu mereka sendiri mereka panggil 'Mama'! Mbak Nunung dan Mas Widi terpaksa mengalah, berkala - paling tidak sebulan sekali - menengok ke Jogja.

Aku, yang biasanya menjadi si kecil, harus menjadi 'Mbak' bagi mereka. Repot juga mengurusi dua makhluk yang mulai suka usil itu. Salah sentuh sedikit, merengeklah mereka. Ibu bilang, polah mereka persis tingkahku waktu kecil dulu. Mungkin juga, ya?

Waktu aku kuliah, Didi sudah duduk di TK, Ika kelas satu. Kawan-kawan yang datang ke rumah bertanya-tanya, apa benar mereka adikku. Aku geli juga. Sikap mereka terhadap kawan-kawanku cukup menyenangkan - cepat akrab malah.

Selama itu, aku merasa caraku menghadapi mereka cukup benar. Aku berusaha agar mereka sedini mungkin mengenal kedisiplinan. Mandi, makan, belajar dan tidur secara teratur. Sekali-sekali, kuminta mereka membantu bekerja. Penampilan mesti rapi dan bersih. Kadang mereka memberontak. Tapi aku tak segan-segan menekankan bahwa itu semua baik untuk mereka. Aku maklum, mereka tak sepenuhnya mengerti.

Dan kemudian, ada seorang teman yang menyadarkan aku, bahwa ada sisi yang lepas dari perhatianku.

Namanya Yus. Perjumpaan pertama kami ya pada hari pertama di bangku kuliah. Dengan kaca matanya, ia jadi cepat dikenali di antara rekan-rekan baruku. Hari-hari berikutnya, ia terus menjadi perhatian karena gerak-geriknya terasa lain: kurang gagah, terkesan gemulai. Senyum yang kerap terbentuk di bibir merahnya - yang pasti belum tersentuh rokok - teramat manis untuk seorang laki-laki. Bisik-bisik pun merembet. Bahkan, sempat ada yang nyeletuk: jangan-jangan dia homo....

Namun, memang tak selayaknya orang cuma disorot dari satu sisi. Lambat laun ia memperlihatkan keadaannya yang lebih lengkap. Ternyata ia enak diajak bicara. Pengetahuannya luas, membuktikan kalau kacamatanya bukanlah sekadar pajangan. Tangkas pula ia menyelipkan guyonan segar dalam tiap pembicaraannya. Dan aku melihat betapa luwesnya ia menyelusup di kalangan cowok, menyelinap di kalangan cewek.

Gaya feminin sebagai titik kelemahannya, mulai kusadari sebagai bukti ketidaksempurnaan manusia. Aku justru merasa kagum akan ketegarannya menghadapi cemooh teman-teman yang cukup kerap terlontar. Ia lebih sering menanggapinya dengan guyon.

Di antara nada-nada miring itu, ia telah memperoleh tempatnya sendiri. Dengan kecemerlangan otaknya, ia tak segan-segan membantu kami dalam memecahkan kesulitan-kesulitan masalah kuliah. Ia pun mulai dibicarakan dengan decak kagum.

Aku bisa lebih mengenalnya lagi setelah ia mau dolan ke rumahku. Sudah kuduga, Didi dan Ika segera akrab dengannya. Mereka bisa asyik menyimak dia membacakan buku cerita, atau menyanyi bersama. Ibu pun cukup terkesan dengan pembawaannya. Apalagi aku juga sering menceritakan kehebatannya. Ia termasuk temanku yang paling sering datang ke rumah. Kami lumayan terbuka. Ia suka bercerita macam-macam. Ia percaya padaku, dan aku mencoba menghormati kepercayaannya.

Entah karena sudah terbiasa dengan gaya gemulainya, bila berhadapan dengannya aku tak pernah merasakan meruaknya getaran-getaran khusus. Lain sekali bila dibandingkan misalnya dengan Budiarto atau Lilik. Apalagi dengan Iskandar - yang sekarang menjadi bapak anak-anakku. Aku cuma bisa tersenyum waktu itu. Tak kusangka, ia akan mengisi tempat yang istimewa dalam hidupku.

Sore itu, ia datang ke rumahku dengan sikap agak lain. Aku kurang memperhatikannya karena sedang ribut menyuruh Didi dan Ika mandi. Aku tidak suka sesore itu mereka masih berkeliaran dengan pakaian kusut dan kotor.

"Repot benar, An," sapanya enteng.

"Biasa," sambutku sambil nyengir. "Sulit banget mereka. Disuruh rapi saja banyak tingkah. Dasar anak-anak."

"Memang anak-anak. Mereka tahunya cuma senang. Belum bisa membedakan yang patut dan tidak."

"Iya. Makanya aku melarang mereka main sembarangan. Anak sekitar sini 'kan mainnya nggak keruan. Keliaran di kali cari ikan, main bola ribut-ribut di halaman orang, bergelut sampai nyolong buah di kebun tetangga. Risi rasanya. Was-was aku kalau melihat."

"Tapi mereka mungkin memerlukannya. Apalagi anak laki-laki kayak Didi, seharusnya sedikit bandel tak apa."

"Bandel yang bagaimana dulu. Toh mereka perlu diarahkan untuk mengenal yang lebih baik."

"Betul, tapi sudut pandangmu agak sempit. Kamu ingin mereka selalu tampak resik, rapi, manis, ya, sopan. Itu muncul dari rasa kehalusanmu sebagai wanita. Ada benarnya tentu, meski tak sepenuhnya tepat, karena mereka juga butuh yang lain."

"Maksudnya?" tanyaku, mulai tertarik.

Ia lalu menjelaskan tentang anima dan animus. Sifat atau unsur feminin dan maskulin itu selalu ada dalam diri seseorang, baik dalam kepribadian maupun fisiknya. Untuk mengarahkan anak agar menemukan identitasnya yang sesuai - laki-laki atau perempuan - kita perlu mendorong perkembangan anima pada anak perempuan dan animus pada anak laki-laki. Ya, agar tidak terjadi bias yang sering amat menggetirkan.

Aku sedikit terperanjat. Gerak polah Didi tiba-tiba terbayang. Kuakui, anak itu kurang cekatan, kurang tangkas. Ika tampak melindunginya. Mereka rukun, bermain bersama: rumah-rumahan, pasaran.... Aku terhenyak.

Ketika itu Didi keluar menyuguhkan minuman. Hatiku berdesir menatapnya. Sekilas terlintas sosok Aris yang gemuk menggemaskan. Yah, Didi kalah tegap dari adiknya itu.

"Apa tidak lebih baik kalau ia ikut ayah-ibunya?" lanjutnya setelah Didi masuk. "Ia membutuhkan figur seorang ayah. Sebagai panutan. Di sini 'kan perempuan semua."

"Sulit rasanya," gumamku. "Ia sangat dekat pada Ibu. Bahkan kalau Mamanya ke sini, tak mau ia dikeloni. Tetap pilih tidur sama Ibu."

"Apa tidak akan kauusahakan kalau sekiranya itu lebih baik bagi perkembangan dirinya."

Aku mengerutkan dahi, mendesah.

"Memang tidak selalu begitu, dan kita tidak pernah mengharapkannya. Semoga tidak terjadi. Toh kita mesti siap-siap. Jangan sampai kita diguncang kejutan yang tak kita bayangkan. Aku ikut khawatir."

Kata-katanya tak sanggup mengusir keresahan yang telanjur merayapiku.

"Tak usah jauh-jauh contohnya," katanya, setelah meneguk minuman. "Aku...."

Aku mendongak, terus terang kaget. Manik matanya yang hitam tampak sayu. Ia tampak berusaha menekan kegalauan hatinya.

"Masa kecilku terasa getir bila kukenang. Aku punya banyak kakak, laki-laki dan perempuan. Kakak laki-lakiku sering menolakku, enggan mengajakku bermain-main. Ini membuat hatiku terluka. Jadinya aku lebih dekat dengan kakak-kakak perempuanku. Begitu pula pergaulanku sehari-hari. Aku lebih akrab dengan karet gelang, kecil, pasaran, daripada bermain bola, layang-layang. Kalau berkelahi aku selalu menangis.

Dan kini kau bisa lihat sendiri bagaimana aku. Aku cukup tahu bagaimana tanggapan kalian di belakangku, atau justru secara terang-terangan. Tapi aku berusaha keras tak ambil peduli. Aku kian kebal. Sampai kalian melihatku sebagai orang yang serba ceria, tak pernah sedih. Aku bersembunyi di balik kepandaianku, pergaulanku. Tentu saja tak sepenuhnya berhasil. Kadang aku ngeri. Rasanya aku tak pernah benar-benar bahagia. Aku merasa gagal. Sekarang aku hanya berusaha untuk tidak menyalahkan siapa-siapa."

Ia menggeleng kuat-kuat, menggigit bibir. Di sudut matanya ada genangan air bening. Aku sendiri bisa mendengar detak jantungku yang berkejaran selama menyimak ceritanya. Kutatap Yus. Ia menunduk. Jakunnya terlihat turun-naik, menelan ludah.

"Sudahlah, An," katanya kemudian. "Anggap saja tidak pernah ada apa-apa."

Ia pamitan dan beranjak pulang.

"Terima kasih, Yus," bisikku serak.

Aku memandangnya, sampai ia membelok ke jalan besar.

Esoknya, ia tak muncul di kampus. Dan seterusnya, ia tak pernah bertandang lagi ke rumahku. Sosoknya seperti ditelan bumi. Hanya sekali-sekali kujumpai namanya di majalah wanita bacaanku, sebagai penulis fiksi. Namun, ia tak pernah mencantumkan nama kota tempatnya menulis.

Kalau melihat anak laki-laki yang bertingkah kewanita-wanitaan, selalu hatiku terusik. Aku ingat Yus. Dan menyaksikan Didi kini, aku membiarkan air mataku meleleh di antara senyumku.

Di manakah engkau bersembunyi, Yus? ***

Temanggung-Yogya, 1987-2001

Komentar Slamat P. Sinambela:

Pertama, aku benar-benar merasakan jadi 'An (baru ini fiksi yang tokoh utamanya tidak lengkap namanya, walaupun dalam kumpulan cerpen penulis Hungaria yang diterjemahin Fuad Hasan, banyak tokoh yang hanya disebutkan "mahasiswa" atau hanya "serdadu").

Mas Ari melukiskannya dengan baik, terasa kalau pembaca jadi "wanita", walaupun memang secara keseluruhan cerita ini tidak harus menonjolkan "kewanitaan" tokoh 'An. Tapi cara "merasanya" , "berpikirnya" , "berbicaranya" benar-benar feminin. Mas berhasil! (Are you really an introvert man? I do not think so! :)

Ceritanya realis, pembaca mudah terlibat. Aku suka. Dibuka dengan tokoh Didi yang menikah dan menyeret tokoh utama flashback dan mengingat tokoh Yus. Tokoh Yus digambarkan cerita ini dengan baik:

"….kurang gagah, terkesan gemulai. Senyum yang kerap terbentuk di bibir merahnya - yang pasti belum tersentuh rokok - teramat manis untuk seorang laki-laki…"

Ada reaksi kejiwaan yang pembaca pasti akan sadari terlepas dari pengamatannya terhadap orang-orang kewanitawanitaan yang diungkap cerita ini. Dengan ceritamu pembaca jadi berpikir untuk tidak langsung "menghakimi" orang type begini. "Mengenang Yus" juga mengungkap pendidikan gender lewat kata anima dan animus, sesuatu yang sering terlupakan dalam pendidikan anak. (Kalau pendidikan gender menjadi tujuan cerita ini, Mas berhasil)

Mas menggunakan bahasa prosais sehingga mudah mencerna cerita ini. Pemilihan dan penggunaan kata sangat baik, hampir setiap kata "bekerja dan tidak ada yang menganggur". (Sudah tepat seperti yang disebut penulis terkenal itu: Dalam cerpen tak boleh ada satu kata pun yang terbuang percuma, harus punya fungsi, tujuan dalam komposisi keseluruhan -- Edgar Allan Poe)

Ceritamu juga penuh guncangan emosional seperti: Aku sedikit terperanjat. Gerak polah Didi tiba-tiba terbayang. Kuakui, anak itu kurang cekatan, kurang tangkas. Ika tampak melindunginya. Mereka rukun, bermain bersama: rumah-rumahan, pasaran.... Aku terhenyak.

Penggambaran sikap juga cukup baik, seperti : "Ia menggeleng kuat-kuat, menggigit bibir. Di sudut matanya ada genangan air bening…. Ia menunduk. Jakunnya terlihat turun-naik, menelan ludah." Pembaca jadi merasa sedang menatap Yus membaca bagian ini.

Tidak ada digresi (lanturan) yang tidak perlu -- yang sering dijumpai pada penulis pemula (seperti saya, masih sering terjebak ngelantur dulu cerita kemana, seakan-akan merasa kalau pembaca belum jelas satu tokoh, latar atau topik hehehe).

Sebenarnya (kalau dalam perspektif masyarakat secara luas) terdapat keganjilan minor ketika Didi dan Ika memanggil eyang mereka dengan panggilan "Ibu". Tapi ini, dalam perspektif-ku sendiri ini bukan sebuah keganjilan. Karena adikku Josua, pernah memanggil ibu kami dengan Ompung (nenek) karena terlalu lama di desa (sejak dia bisa berjalan, dia tinggal bersama Ompung. Mulai SD, baru berkumpul dengan kami lagi, karena ibu keberatan anaknya jadi ndeso dan ketinggalan kalau harus sekolah di desa). Lama dia bisa bilang Mama' (orang batak panggil "mama" seperti ada "k" di belakangnya hahaha…) Juga sakit parah berdua tokoh suami-istri "Mbak Nunung" dan "Mas Widi", jadi ganjil karena tidak jelas sakit apa. Kalau alasan kecelakaan, mungkin masih bisa diterima logika. Tapi memang ada permakluman ada karena tema yang diangkat tidak menyentuh kedua tokoh itu." *** (28/1/2004)

© 2004 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1