Home | Fiksi | My Books

Bersama sejumlah cerpen lain, cerpen ini telah dibukukan dalam Arie Saptaji dan Sidik Nugroho, NEVER BE ALONE (Kumpulan Cerpen tentang Kemenangan Iman di Balik Pergumulan Hidup), Yogyakarta: PBMR ANDI, 2004, Format 11 X 18 cm, 148 halaman, harga Rp. 19.500,oo.

Kado Kejutan

Tangannya membolak-balik undangan itu, namun pandangannya menerawang ke arah taman sekolah. Bibirnya yang agak memutih kering tanpa lipstik membentuk segaris senyum yang sulit ditafsirkan. Lalu, ia menunduk lagi, memandang-mandangi kartu hijau pupus itu. Gambarnya seorang gadis dengan rambut tergerai seperti yang biasa dijumpainya dalam komik-komik Jepang yang suka dia tiru-tiru goresannya. Namun, bukan itu yang menyita perhatiannya.

Seperti teman-teman sekelasnya, Desi baru saja menerima kartu undangan ke pesta ulang tahun Fika. Tentu saja Desi gembira, karena sebagai anak baru di sekolah ini, ternyata ia tidak dilewatkan. Ia bahkan tak menduga kalau akan mendapatkan undangan juga, karena mereka berdua sebetulnya belum berkawan dekat. Selain saat perkenalan dulu, baru beberapa kali mereka bertegur sapa singkat bila kebetulan berpapasan.

Terus terang, Desilah yang enggan untuk mengenal Fika lebih jauh, justru setelah tahu sedikit tentang gadis berkacamata itu. Menurut info yang diperolehnya, Fika adalah satu-satunya anak di sekolah ini yang diantar-jemput naik mobil, dan juara kelas setiap kali penerimaan rapor.

Kedua atribut itulah - kaya dan pandai - yang membuat Desi memilih menjaga jarak. Memang, sepanjang pengamatannya, Fika bukanlah orang yang sombong dengan kelebihannya itu. Fika bahkan tergolong ramah, dan ia pun sempat satu kali ditawari ikut menumpang mobil. Kendatipun begitu, Desi merasa, ia mesti tahu diri.

Karenanya, lumayan tergeragap juga ia ketika menerima undangan itu tadi. Dan lebih kaget lagi ia saat melihat tanggal yang tercantum di sana: hari kelahiran mereka berdua ternyata persis sama! Fika akan merayakan ulang tahun keenam belas, sama seperti dirinya.

Hanya saja... hh, sebuah keperihan membuatnya menggigit bibir. Matanya menyipit, lalu ia menyapu bibirnya dengan lidah. Tanpa sadar, tangannya meremas ujung kartu itu.

***

Sekitar delapan bulan yang lalu, ayahnya terkena PHK. Ia ingat bagaimana ayahnya pulang dengan wajah kusut malam itu. Rumah mereka serasa dicekam kesenyapan mendadak. Setelah mandi, ayah meminta ibu, dia dan dua orang adiknya berkumpul di ruang tengah.

"Kita tahu Tuhan tidak akan meninggalkan kita. Ia turut bekerja untuk mendatangkan kebaikan dalam segala sesuatu yang kita alami. Kalian turut berdoa, ya, agar Tuhan membukakan jalan terang bagi kita semua?" hibur ayahnya

Ketika ayahnya mengucapkan "Amin", Desi mengusap air mata yang menggenangi pipinya.

Namun, rupanya pencobaan itu belum segera berakhir. Di tengah kesibukan mencari pekerjaan baru, ayahnya jatuh sakit karena radang ginjal. Hampir sebulan ia mesti terbaring di rumah sakit. Selama beberapa waktu kemudian ia hanya tinggal di rumah, membantu-bantu ibu menjaga kios.

Singkatnya, ia lalu ditawari pekerjaan oleh salah seorang saudara. Namun, untuk itu mereka sekeluarga harus pindah ke Bantul, Yogyakarta.

"Des, kau tidak apa-apa kalau kita harus kita pindah?" tanya ayahnya lembut.

Desi hanya bisa menggigit bibir dan mengangguk. Dadanya sebenarnya begitu sesak dan berat. Ingatan bahwa dia harus meninggalkan teman-teman dekatnya di Jakarta dan hidup di sebuah kota kecil membuat mulutnya terbungkam. Rasanya ia ingin mengatakan tidak, namun ia juga tidak tahan lagi kalau harus terus-menerus melihat kedua orang tuanya gelisah. Bagaimanapun, ia mencoba menghibur diri, mereka pasti sudah memikirkan yang terbaik dalam mengambil keputusan ini.

Begitulah, dua bulan lalu mereka sekeluarga pindah.

***

"Bu, ternyata ada temanku yang hari ulang tahunnya persis denganku," kata Desi begitu tiba di kios di depan rumah - ya, ibunya meneruskan usahanya itu di sini.

"O ya?" sahut ibunya yang sedang menimbang gula pasir yang telah diwadahi dalam plastik-plastik satu kiloan.

"Kata teman-teman pestanya bakal meriah. Pake 'ngundang band segala. Dia anak salah satu orang kaya di kota ini."

"Begitu."

Pembicaraan mereka terputus karena ada pembeli yang datang. Desi melayaninya.

"Aku makan dulu ya, Bu. Masak apa hari ini?" katanya setelah orang itu pergi.

"Ada semur tuh."

Desi mengambil tas sekolahnya dan beranjak.

"Des," cetus ibunya saat ia sedang menutup pintu kios.

"Kenapa, Bu?"

"Bagaimana dengan ulang tahunmu? Kau juga mau mengundang teman-temanmu?"

Desi nyengir dan mengangkat alis. Selama ini ia memang biasa merayakan ulang tahun dengan teman-teman dekatnya. Ibunya yang jago masak akan menyiapkan sendiri menu kesukaannya. Namun, kali ini, setelah kerepotan sekian bulan terakhir ini, rasanya....

"Nggak usahlah, Bu. Nanti dikira saingan sama temanku itu."

"Ibu pikir kita nanti syukuran saja kecil-kecilan. Sekalian kita antar ke tetangga-tetangga. Kita sudah pindah dengan selamat, pekerjaan ayahmu membaik, usaha ibu juga mulai jalan. Tuhan mendengar doa kita, Des."

"Terserah Ibu, deh. Aku sudah lapar nih."

Desi bergegas menuju rumah, lalu masuk ke kamar untuk berganti baju dulu.

Ketika membuka lemari pakaian, ia berbisik, "Tuhan, sekalipun nggak ada pesta, aku pengin ulang tahun kali ini benar-benar istimewa."

***

Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku.

Itu ayat hapalan yang diperolehnya dari saat teduh pagi ini. Ia menuliskannya di notes kecilnya.

Ditenun. Desi termenung-menung membayangkan kata ini. Kalau benang ditenun jadi kain, ia pernah melihatnya di pameran pembangunan. Tapi, janin manusia ditenun dalam rahim sang ibu -- wah, kok puitis banget!

Ia teringat ilustrasi perkembangan janin di buku biologi itu. Dari bintik kecil seperti koma, lalu membesar dan membesar, sampai punya mata, telinga, kaki, tangan. Kadang-kadang ia bertanya-tanya, bagaimana ya rasanya hamil itu. Pasti repot banget saat janinnya makin membesar. Katanya si bayi dalam rahim bisa menendang-nendang!

Lalu, bagaimana pula sakitnya melahirkan? Ih, ia pernah nonton film yang ada adegan ibu melahirkan. Aduh, rasanya sengsara banget itu ibu! Namun, wajahnya jadi berseri-seri begitu bayinya lahir dan menangis keras-keras!

"Bagaimana ya dulu waktu ibu mengandung dan melahirkan aku?" pikirnya.

Tiba-tiba, secercah senyum membelah wajahnya. "Cihui, aku dapat ide!"

***

Hari ulang tahunnya tiba. Pagi-pagi ia mengendap-endap ke dapur. Ibu sedang menyiapkan makan pagi. Pelan-pelan ia mendekati ibunya, merangkulnya dari belakang, dan mencium lehernya.

"Ih, apa-apaan ini! Geli, ah!" seru ibunya kaget.

"Selamat ulang tahun, Bu!" balasnya girang.

"Ulang tahun apa? Kamu 'kan yang ulang tahun? Nanti, syukurannya nanti!"

"Aduh, Ibu! Memang aku yang ulang tahun. Tapi, aku mau ngucapin selamat pada Ibu. Selamat ulang tahun melahirkan aku!"

Mulut ibunya ternganga.

"Sini, Bu, aku ada sesuatu untuk Ibu."

Desi menyeret ibunya ke meja makan. Di situ ada sebuah bingkisan terbungkus kertas kado berhias pita.

"Ini untuk Ibu. Ibu yang sudah melahirkan aku, pantas mendapatkan hadiah ini!"

"Apa ini, Des?" Ibunya meraba bingkisan itu dengan tangan gemetar.

"Buka saja!"

Tangan ibu masih gemetar ketika merobek kertas kado itu. Sesekali terhenti karena lengannya menyeka pelupuk matanya yang membasah.

Kado itu berupa gambar berpigura. Sebuah gambar pensil goresan tangan Desi, memperlihatkan seorang ibu yang tengah menyusui bayinya. Di bagian bawahnya tertulis kutipan nyanyian pemazmur tadi.

"Des!" Ibunya memeluknya erat-erat. Mengecup dahinya, pipinya, memeluknya lagi. Ibu dan anak itu bersama-sama tersedu-sedu.

***

Hari itu hatinya begitu ringan. Ia merasa seperti kupu-kupu yang baru saja terkelupas dari kepompongnya: serba gembira menyambut hangatnya cahaya matahari yang akan membuat sayapnya mengering dan kokoh, siap mengepak, mencumbui bunga-bunga. Ia merasa, pesta yang diadakan Fika nanti adalah pestanya! ***

Yogyakarta, akhir Januari 2004

© 2004 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1