Home | Fiksi

Warrior

Dan apa yang dicemaskannya, tibalah.

"Jadi seragamnya adalah kaos olah raga sekolah kita, dan rok seragam biru biasa. Untuk sepatunya, telah kita sepakati, yaitu memakai Warrior dengan kaos kaki putih."

Warrior. Warrior. Warrior....

Kaos olah raga jelas ia punya. Juga rok birunya. Tapi Warrior, sepatu-tali hitam kombinasi putih yang lagi beken itu?

Sri melirik kakinya. Terbungkus Bibos (begitu disebut orang) hitam-kumuh sekaligus ketinggalan zaman. Lagipula berjendela sudah, menongolkan kelingking kakinya. Sri memejamkan mata. Pedih.

***

"Lis, aku tak ikut saja, ya? Mumpung belum sempat latihan. Jadi kamu bisa mencari gantinya," pintanya, dulu. Ya, sejak namanya tercantum dalam regu sekolah, ia sudah merasa khawatir.

"Jangan guyon kamu," Lisa mendorong pipinya. "Justru yang seperti kamu, yang sangat diharapkan untuk memperkuat regu kita. Pak Harman pun sangat mendukung terpilihnya kamu."

Untuk gerak jalan dengan medan cukup berat, memang tak salah memilih Sri. Ia jago lari di sekolah ini. Telapak kakinya sudah amat terlatih secara alami: berlarian melintas pematang, tersentuh rumput basah, atau merambah bukit mencari kayu.

"Tapi...."

"Tak ada tapi-tapian. Nanti sore sudah mulai latihan. Kamu harus datang. Apa mau kuseret?"

Lisa mengerling nakal. Sri menghela napas.

***

Soal-soal seperti Warrior itulah yang mencemaskannya.

Ia miskin. Ia tidak malu mengakui itu. Memang nyata dirinya anak seorang bakul lupis dan thiwul. Tak sempatlah berganti sepatu setahun sekali. Miliknya ada dua pasang. Bibos itu, dan sepatu sandal pemberian buliknya, yang ia rawat begitu cermat serba hati-hati. Ia tak menyesal.

Malah bersyukur, Mboknya punya tekad besar untuk menyekolahkannya.

"Cuma ini yang Mbok bisa lakukan untuk meneruskan harapan bapakmu almarhum. Sebisa mungkin kau harus sekolah terus. Orang pandai hidupnya akan lebih baik tinimbang wong tuamu ini."

Trenyuh, sering mata Sri basah berkaca-kaca. Mbok yang tabah. Sejak matahari sepenggalah sudah ke pasar menjual thiwul dan lupis. Sering masih diselingi kerja ini-itu. Ditambah dengan sedikit uang pensiun ayah Sri, agak tercukupi kebutuhan mereka.

"Biarlah. Kamu membantu di rumah saja. Mbok masih sanggup, kok. Gusti mesti memberkahi kita."

***

"Oo, jadi soal sepatu yang dulu hampir membuatmu mengundurkan diri? Gampang."

"Bagimu memang gampang."

"Sri! Jangan ngomong begitu."

"Maaf."

"Maksudku, kita bisa meminjam. Kan banyak yang punya sepatu begitu sekarang."

"Apa mereka akan mau meminjamkannya?"

"Lho, untuk sekolah sendiri, masa tak mau ikut berkurban sedikit?"

***

Ternyata Lisa salah harap. Dua kali bahkan.

"Jangan, ah!"

Itu penolakan dari Ita. Gadis centil itu segera berlari ke teman sekelompoknya, yang memandang mereka dengan tatapan tak mengenakkan.

Kalau sekadar penolakan biasa memang tak apa-apa. Tapi, tadi, mata Ita sempat menusuk-hunjam ke kaki Sri. Sri sungguh merasakannya, perihnya.

Di sini, Sri sudah mau menyerah. Lisa tidak. Lisa tidak merasakannya.

"Toh masih bisa pinjam yang lain. Usaha kan tidak cukup satu kali."

Terpaksa Sri mengikuti Lisa ke rumah Nuryani. Mereka diterima di ruang tamu berhias bufet penuh porselen antik dan buku-buku tebal berjejer tak tersentuh.

"Memangnya siapa yang akan memakai?" tanya Nur angkuh.

"Saya...," sahut Sri lirih.

"Eh, Lis, makanya kalau memilih peserta hati-hati," balas Nur tanpa memandang Sri.

"Kurasa kami sudah cukup hati-hati," tukas Lisa cepat. Hm, mengajak menikung ke sini rupanya. "Kami mengutamakan kemampuan fisik. Baru kemudian soal keseragaman."

"Tapi nyatanya kau jadi kelabakan, kan? Hh! Kenapa bukan kamu saja yang memberi dia sepatu?"

Sri gemetar menggigit bibirnya. Perasaannya seperti diremas.

"Nur! Kamu boleh menolak permintaan kami. Tapi, tidak bisakah dengan cara yang lebih halus?"

"Kurasa ini sudah cukup halus."

Sejenak ketiganya terdiam. Sunyi menekan.

"Baiklah. Kami minta diri."

Dan sekarang Sri benar-benar terguncang. Ia terisak hebat dalam rangkulan Lisa.

"Mungkin masih ada yang lain...."

"Tidak... tidak...."

***

Kaki Sri yang telanjang mengguncang-guncang air sungai jernih-bening. Sesekali dilemparkannya daun, atau rumput kering, atau juga batu. Benda-benda yang ringan melayang menunggang aliran air, cepat berlalu ke hilir.

Secepat itukah kegelisahannya akan segera mengalir?

Ia miskin. Tapi cukup pandai, ya pandai memang, karena tekun. Sekaligus jago lari. Itukah kesalahannya? Mengapa Ita dan Nuryani, mungkin juga beberapa yang lain, seperti tak suka? Ah, ia mendesah, haruskah ia menyalahkan Lisa? Lisa memang cukup akrab dengan mereka, tapi dirinya? Mengapa tak ia saja yang meminjam kepada teman yang mengerti keadaan dirinya?

Sri mengerjap-ngerjapkan mata basahnya.

Pinggir sawah yang sejuk dengan irama air tak terbeli, di bawah naungan langit biru luas-teduh, inilah tempat yang paling menerima dirinya, apa-adanya. Ia bisa menata hatinya yang seperti terkeping. Pulang nanti, ia tak ingin Mbok tahu duka-citanya. Mbok sudah terlalu banyak menanggung beban. Mestikah dihimpit lagi dengan persoalan remeh, namun menyakitkan ini?

***

Tapi malamnya, ia menangis di dada Mboknya. Dada yang tua dan kerempeng dan keriput itu ternyata tetap menjanjikan kehangatan dan sekaligus kesejukan. Mbok, atau Ibu, sang pengandung buah rahim, siapa bisa menandingi ketulusan relung kalbunya?

Penuh trenyuh serba masygul, Mbok tua itu membelai rambut tergerai anaknya. Halus, penuh kelembutan. Mata nyaris rabun itu basah mengaca, penuh kilat muram dalam redup cahaya lampu minyak yang serba suram.

Diam. Sesekali Sri sesenggukan ringkih.

"Sudahlah. Sumarah-lah, Nduk,"suara yang penuh gemetar.

Malam berkilau manik-manik bintang melarutkan dekapan mereka.

***

"Selamat pagi, Bu!" sapa Sri kepada ibu Lisa yang tengah menyiram bunga di halaman.

"Oh, Nak Sri. Mari masuk!" sambut beliau sangat ramah. "Sudah ditunggu-tunggu oleh Lisa. Sebentar Ibu panggilkan."

Sri duduk menanti di kursi rotan. Nyaman sungguh ruang ini, menenteramkan yang duduk di dalamnya. Akrab dengan lingkungan sekitar yang penuh bunga.

"Sri...."

"Lisa!" Sri berseru tercekat.

Lisa berdiri di ambang pintu dengan telapak kaki terbalut. Lalu berjalan agak pincang menemuinya, diikuti ibunya.

"Itulah, Nak Sri, temanmu yang bandel ini. Ibu selalu menyuruhnya berhati-hati. Ee, kemarin sore-sore, dia berkeliaran di kebun tanpa alas kaki. Nah, kena pecahan kaca kakinya."

Lisa tersenyum meringis menahan sakit.

"Jadi, kamu tak bisa ikut lomba hari ini?" tanya Sri setelah ibu Lisa berlalu ke halaman lagi.

"Yaah, apa mau dipaksakan? Untung regu kita mengambil jumlah maksimum. Jadi tak perlu repot mencari pengganti. Tadi aku sudah dimintakan izin kepada Pak Harman," jelas Lisa sambil mendesah kecewa.

"Eh, kamu sudah dapat pinjaman sepatu?"

Sri menggeleng. "Belum. Aku merencanakan tak ikut saja."

"Hush! Guyon lagi. Kamu kan tidak sakit apa-apa."

"Tapi...."

"Ee, sekarang tak ada tapi-tapian lagi. Kamu tidak boleh mengecewakan teman-teman. Juga Pak Harman. Beliau kan sudah sungguh-sungguh melatih kita. Apa kamu tega?

Kamu bisa memakai sepatuku."

"Kok aku bersenang-senang ikut lomba, sementara kamu sakit?" Sri kehabisan alasan.

"Ini bukan senang-senang, Sri! Ini demi nama sekolah kita! Atau kamu mau menggantikan penyakitku?"

***

Prit, prit, prit. Tu, wa, ga pat. Satu, dua, tiga, empat.

Regu Sri memasuki alun-alun finish, dengan tetap menjaga kekompakan dan kerapian barisan. Pipi-pipi sudah merah disengat terik matahari. Keringat yang bergulir berkilau-kilau. Tepuk-tangan menggema menyambut mereka. Ow, bibir mereka semua mengukir senyum puas serba bangga.

"Sri!"

Sri menoleh cepat, dan secepat itu pula ia terbelalak sangat kaget. Lisa! Lisa berdiri di antara lalu-lalang orang. Dengan senyum lebarnya. Dengan kaki, telapak kaki, begitu mulus tanpa balutan secarik kain pun. Segera Sri menyadari apa sebenarnya yang telah terjadi.

Keharuan menyentakannya, melayang dengan kedua tangan terbuka lebar, menghambur ke arah Lisa. Mereka berdekapan erat. Sangat erat.

"Lisa...."

Terima kasih yang begitu dalam, tak terucapkan.

Sri menangis. Lisa berkaca-kaca, akhirnya tergulir juga. Bibir mereka penuh senyum. Penuh syukur.

Di antara suasana riuh rendah serba sibuk, ada lagi sepasang bibir yang menbentuk senyum syukur-mengerti: Pak Harman. ***

Pernah dimuat di Majalah Hai, tanggal tidak terlacak.

© 2006 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1