Home | Fiksi

Bima Melacak Tirtapawitra

Bima Melacak Tirtapawitra

Ya, melacak. Dalam pencarian ini, keuletan dan ketabahannya lebih tangguh daripada seekor anjing pelacak: pantang mundur sebelum yang dicarinya berada di tangan. Anjing pelacak dapat dikendalikan oleh Pak Polisi. Ia tidak, oleh saudara-saudara pancatunggal tercintanya sekalipun.

Dengan kecut Kurawa mengakui, ia seorang jago hebat benteng Pandawa. Ia lebih dahsyat dibanding Rocky dan Rambo, bahkan bila keduanya digabung! (Hahahaa! Mereka 'kan cuma dua peran dalam seorang Sly. Dan di luar film, Sly butuh dampingan bodyguard!) Tak heranlah, banyak usaha pihak Kurawa untuk mengepruk tulang punggung Pandawa ini, sebelum Perang Dunia Wayang Baratayudha meletus. Salah satunya dengan nabok nyilih tangan Pendeta Dorna.

Sang pendeta adalah guru yang pilih kasih. Ia guru keluarga Pandawa maupun Kurawa, namun lebih oke kepada Kurawa yang berandal itu. Mengangguk akurlah Dorna ketika Duryudana memintanya menyiapkan ranjau untuk menghancurkan Bima. Maka Bima dipanggilnya, diberi sebuah PR (sekarang sebutannya kokurikuler).

"Ngger, Anakku! Pergilah engkau meng-upadi Tirtapawitra. Air suci ini akan membuatmu mampu menguasai hidup, memiliki kesempurnaan. Di seluruh dunia, tak ada yang menandingimu. Kamu jadi hero tunggal! Kamu dapat melindungi serta membahagiakan orang tuamu, kebahagiaan terbesar yang bersifat langgeng," kata Dorna penuh madu di bibir racun di hati.

"Baik, Guru, sendika," sembah Bima. "Di manakah air suci itu terdapat?"

Hutan Tibaksara, hutan yang kondang angker dan miteriusnya, itulah tempat yang ditunjukkan Dorna. Dengan ketulusan dan keberanian, segera Bima siap tinggal landas. Tak peduli aneka bahaya mengancam. Segala rintangan akan diterjangnya.

Belum-belum, Kurawa cengar-cengir kesenangan. Begitu pasti bahwa muslihat mereka akan sukses besar. Diadakanlah pesta andrawina.

Bima sudah sampai di Tibaksara. Tekadnya semakin menyala. Langkahnya tegap bertenaga. Tibaksara bubar diobrak-abrik. Pepohonan tumbang bergelimpangan. Binatangnya kacau-balau, banyak yang terkapar mati. Wah, kalau terjadi sekarang, pasti dikecam hebat oleh pers dunia. Untung, waktu itu, persediaan hutan masih lebat berlimpah.

Di hutan itu, tinggal dua raksasa, Rukmaka dan Rukmakala. Tentu saja mereka sangat murka didatangi tamu tak diundang sekaligus amat kurang ajar. Terjadilah perkelehian, ah jauh lebih sengit dibanding perkelahian massal anak-anak SMA sekarang. Bima dikeroyok. Tapi ia memang bukan macan kertas. Ia berhasil membekuk dua raksasa jahanam itu. Mampuslah mereka!

Simsalabim! Lenyap menghilang tubuh Rukmaka dan Rukmakala. Kemudian terdengarlah suara tanpa rupa. Ternyata Batara Indra dan Batara Bayu, eks raksasa tadi. Menurut skenario, mereka barusan kena kutuk.

"Bima, Tirtapawitra itu tak akan kautemukan di Tibaksara ini. Kembalilah dan tanyakan kepada gurumu yang brengsek itu, di mana tempat Tirtapawitra yang sebenarnya.

O ya, hampir lupa, kami berdua berterima kasih, karena sekarang terlah berujud dewa lagi. Doa restu kami menyertaimu."

***

Dorna terbahak-bahak mendengar laporan Bima.

"Aduh, ngger, Anakku. Betapa bahagianya aku melihat kesetiaan dan keteguhanmu. Yang dulu itu cuma sebuah ujian."

Baiklah, akan kuberitahukan yang sesungguhnya. Untuk memperoleh Tirtapawitra haruslah melampaui medan yang amat berat. Keuletan dan ketabahan amat diperlukan. Tirtapawitra terletak di dasar samudera.

Nah, bila kau bersungguh berguru kepadaku, ikutilah petunjukkan itu."

Dan Bima memang benar-benar murid teladan. Ia menaruh hormat dan kepercayaan setinggi-tingginya kepada gurunya. Lain ya dengan murid sekarang? Lha, kini memang sudah bukan zaman wayang, kok! Zaman edan? Hehe.

Pandawa yang berkewaspadaan nasional amat tinggi, sudah menaruh syak waspada (bukan wasangka) sejak dulu. Mereka memastikan ada udang di balik batu. Mereka berusaha keras membujuk rayu Bima. Konon, alam seisinya ikut mengajak Bima agar mengurungkan niat kemauannya. Tapi Bima tetap pada pendirian tegarnya!

Tibalah ia di pantai. Ombak bergemulung saling menyusul. O, betapa dahsyat cipta-Mu, Dewata! Kedahsyatan ombak menimbulkan kebimbangan. Terngiang peringatan saudaranya, bahwa perkataan Dorna hanyalah muslihat.

Laut memang hebat. Ia sanggup menempa manusia. Lihat saja nenek moyang kita, bahariwan ulung itu. Ah, tapi cucu-cucunya, kita-kita ini, kok seperti kurang gairah. Padahal kita punya laut berlimpah.

Nah, jiwa ksatria Bima pun digedornya. Bima berhasil memupus kebimbangannya. Menceburlah ia ke laut. Ketika air hampir menyentuh leher, ia ingat kalau punya aji yang dapat membebaskannya dari pengaruh air. Nah, trick Jalasengara membuat ia dapat berjalan di atas air.

Namun, bahaya lain segera menyergapnya. Bak sebuah rudal Pershingm seekor naga raksasa menyongsongnya. Gesit ganas naga itu membelit dan menyemburkan bisa kepadanya. Bima berusaha keras berontak. Tapi belitan nagaraja kian kencang pula. Aduh, ikat pinggang yang sudah diikatkan kencang-kencang masih dibuat tak berdaya. Bima nyaris kehabisan napas. Baru kali ini ia menemukan lawan tanggung sepadan. Tapi sang hero memang tak pernah kalah. Ia masih punya senjata yang belum dimanfaatkan. Ya, kuku Pancanaka! Dengan sisa kekuatannya, ditusuknya tubuh naga. Dirobek-robek hancur, darah mengalir dan seterusnya dan seterusnya (Sensor! Terlalu sadis).

Lalu, ia meneruskan perjalanan. Ia tak tahu arah sebenarnya yang harus ditempuh. Ia hanya menuruti gerak kaki....

Ketika tiba di tengah samudera, ia menemukan ketenangan yang luar biasa. Ia menemukan puncak pencariannya selama ini. Di sana, ia berjumpa dengan dewa bajang: Dewaruci. Meski kerdil, tapi kupingnya menjadi lubang untuk memasukkan Bima ke tubuh kerdilnya. Ternyata di dalam begitu luas, seperti alam pikiran manusia mampu menguasai dunia. Di sana, Bima ditontoni film yang sungguh hebat bagus dan yahud. Tentu saja amat sangat jauh lebih semarak daripada film-film paha di bioskop kita. Film itu menyajikan ajaran hidup yang amat bermakna, bermanfaat sebagai pegangan hidup manusia. Inilah Tirtapawitra. Inilah jatining sangkan paran.

Dan Dorna kecele! Ketulusan hati seorang murid mampu mengubah muslihatnya menjelma pelita yang gilang gemilang.

Selamat ya, Bim! ***

Ngadirejo, 12011986

Catatan: Telah dimuat di rubrik "Wayang Mbeling" Minggu Ini (edisi Minggu harian Suara Merdeka). Tanggal tidak terlacak. Ilustrasi saya muat tanpa seizin Mas Goen. 8-) Ada yang tahu alamat kontaknya sekarang?

© 2004 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1