Home | Fiksi

Yang Lebih Berharga

Oo! Tertegun Dion memandangi buku itu. Jantungnya berdetak lebih kencang. Terlambat sudah….

Meski ia sudah buru-buru menyekanya dengan kertas tisu, namun tidak banyak menolong. Tumpahan cat air berbagai warna itu telanjur membasahi dan menyebar mengotori halaman-halaman buku kesayangan Papanya. Dion hanya bisa memandanginya dengan rasa bersalah, rasa sedih, beraduk dengan rasa takut.

Kenapa tadi ia mengambil buku itu? Hanya untuk mencontoh gambarnya! Padahal, Papa pernah mengingatkan, ia tidak boleh mengambil buku-buku di rak itu tanpa izin. Beraninya ia melanggar perintah itu! Dan sekarang, lihat! Gara-gara tidak hati-hati, tersenggollah palet cat airnya menumpahi buku itu.

Setelah mengembalikan buku itu ke tempat semula, Dion mengunci pintu kamarnya. Matanya panas, dadanya sesak. Ia ingin menangis, namun hanya sudut-sudut bibirnya yang bergetar-getar. Ia pun membanting tubuhnya, tertelungkup di tempat tidur. Meja belajarnya dibiarkan tetap berantakan.

Dan ia tidak beranjak dari sana sampai senja turun.

Sampai waktu makan malam pun ia tetap belum keluar dari kamar. Ketukan dan seruan Bik Tun tidak dihiraukannya. Ia juga melewatkan film kartun kesayangannya.

Saat itu rumah sedang sepi. Papa dan Mama sudah pergi sehabis ia mandi sore tadi. Pulangnya nanti malam, karena mereka akan menghadiri acara di kantor Papa.

Ah, menunggu mereka pulang malam ini menjadi penantian paling menyiksa bagi Dion. Biasanya ia paling tidak sabar menunggu kepulangan mereka. Papa dan Mama tidak selalu membawakan oleh-oleh untuknya. Tetapi, berada di dekat mereka membuatnya merasa senang dan aman. Mungkin karena dia anak tunggal. Yang jelas, Papa dan Mama benar-benar orang tua yang sangat baik bagi Dion.

Seingat Dion, Papa jarang marah padanya. Kalau ia berbuat salah, Papa akan menegurnya dengan tegas, namun lemah lembut. Papa bukan orang yang suka membentak-bentak.

Tapi, kesalahan sebodoh yang dilakukannya sore tadi! Apakah Papa masih akan cukup bersabar? Apakah Papa akan memaafkannya? Ah, Dion tidak bisa membayangkan reaksi Papa nanti!

Dion tahun benar betapa Papa menyayangi buku-buku itu. Setiap kali membeli buku baru, Bik Tun segera diminta menyampulinya. Sehabis dibaca, pasti disusun kembali di rak pajang. Bila kawan-kawan Papa bertamu, dengan bangga Papa akan menunjukkan buku-buku koleksinya yang berjejer rapi.

Ia sendiri kadang-kadang melihat isi buku-buku itu - bersama-sama Papa. Ia juga dibelikan buku-buku tersendiri. Bagus-bagus. Namun, aduh, kenapa sih tadi aku ingin sekali mencontoh gambar di buku Papa? Dion merasa bingung dan sekaligus takut.

Bagaimanapun, ia memutuskan untuk tidak melakukan apa-apa sampai Papa pulang. Hatinya gelisah. Akhirnya, ia tertidur karena letih.

Ia terbangun kaget ketika deru mobil Papa terdengar memasuki halaman. Jantungnya kembali berdebar kencang. Dion bisa menduga, sebentar lagi Papa pasti akan mengetuk pintu kamarnya. Bik Tun tentu akan menceritakan apa yang diketahuinya.

Agak lama kemudian baru terdengar suara Papa di depan pintu.

"Halo, Sayang? Ada apa nih tutup pintu segala? Buka dong!" pinta Papa dengan suara renyah seperti biasanya.

Saat itu Dion sudah berdiri di balik pintu. Tangannya sudah siap menekan tombol. Tapi, apakah Papa…? Pikiran-pikiran itu sempat berkecamuk lagi di benaknya.

"Ayo dong, Dion! Dion 'kan sudah janji, kalau ada masalah mau cerita sama Papa. Oke?"

Entah keberanian dari mana yang membuat Dion memutar tombol pintu.

Papa pun memasuki kamar dan menemukan Dion yang tertunduk.

"Ada apa ini dengan anak Papa, hm?"

Dion hanya menggigit bibirnya.

Papa pun jongkok, dipegangnya bahu Dion. Lalu diusapnya kepala Dion.

"Kenapa, Sayang?"

"Papa, Dion minta maaf, Pa," kata Dion lirih dan pelan.

"Kenapa?"

"Tadi Dion lihat-lihat buku Papa. Tapi, tapi, lalu ketumpahan cat air," Dion menjelaskan dengan terbata-bata.

Keadaan terasa hening sejenak. Papa memegang bahu Dion erat-erat. Dion terus menunduk, tidak berani menatap Papa.

"Dion, coba lihat Papa," kata Papanya, lembut namun tegas.

Agak takut, Dion mengangkat wajahnya. Matanya berkaca-kaca.

"Dion, Papa sedih dan kecewa karena Dion tidak mematuhi larangan Papa. Namun, Papa juga senang karena Dion berani berterus-terang mengakui kesalahan Dion. Papa bangga pada Dion."

Papa memeluk Dion. Air mata Dion meleleh, dan pecahlah tangisnya. Papa terus memeluknya sambil menepuk-nepuk dan mengelus-elus punggungnya. Dion merasa sangat lega. Hatinya hangat kembali.

"Dion," Papa mengangkat wajah Dion lagi. Dion melihat bibir Papanya tersenyum, dan matanya bening sekali.

"Dion tahu, Papa sangat sayang pada Dion?"

Dion mengangguk dengan isak tertahan. Mata Papa sekarang tampak begitu lembut.

"Kalau buku-buku itu rusak, kita bisa membelinya lagi. Tapi, kalau Papa kehilangan Dion yang berani dan jujur ini, ke mana Papa harus mencari gantinya? Bagi Papa, Dion lebih berharga daripada seluruh dunia. Dion mengerti, Sayang?"

"Ya, Pa," sahut Dion, hampir tak terdengar, tertelan oleh sisa isak tangisnya.

Sekali lagi, Papa memeluk Dion erat-erat. Kemudian, dibopongnya anak itu, dibawanya ke tempat tidur.

"Eh, kamu belum makan, 'kan? Makan dulu, ya?"

Dion menggeleng pelan. "Dion pengin tidur sama Papa saja."

"Oke," sahut Papa sambil tersenyum.

Papa membaringkan Dion di tempat tidur. Ia menepuk-nepuk punggung Dion dengan lembut. Tidak lama kemudian Dion pun sudah terlelap. ***

Yogya, 2000

© 2004 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1