Home | Film
Favorit
FILM FAVORIT
Kelompok #5
-
2001: A Space Odyssey (Stanley Kubrick) -- The
Evolution is guided by a Higher Intelligence -- accompanied by
classical music -- and, after a last supper, a Star Child is born! (Kontras
menarik: respon mekanistis [atau manusiawi?] HAL-9000 saat merasa
dirinya terancam dan sikap penuh pengorbanan David Bowman untuk
menolong seorang rekan. "Do you read
me, HAL?")
-
Airplane! (Jim Abrahams, David Zucker dan
Jerry Zucker) -- "Good luck, we're all counting on
you." Menu: 88 menit hahaha. Trivia: Apa hubungan Charles
Dickens dengan film ini? Petunjuk: Jangan beranjak saat credits
bergulung -- tunggu sampai akhir, ya, sampai Anda mengetahui bagaimana nasih si penumpang taksi yang ditelantarkan oleh Striker.
-
All
Quiet on the Western Front (Lewis Milestone) -- Sebuah film
anti-perang yang realistis, brutal dan tragis tentang pemuda-pemuda
ingusan yang terjun ke medan tempur dengan "penuh semangat
namun kurang hikmat," dan menemukan kenyataan pahit di lapangan.
Bila ditilik dari perspektif zamannya, film ketiga peraih Best
Picture (saat itu sebutannya masih Best Production) dalam
sejarah Oscar ini tak kalah kontroversial dari Saving Private
Ryan. Aku sendiri tercengang. Semula kupikir akan mendapatkan
suguhan film perang yang lamban seperti The Red Badge of Courage,
namun nyatanya film hitam-putih yang gambarnya sudah bercak di
sana-sini ini bergerak amat tangkas, to the point. Deru
pertempuran berbaur dengan keterguncangan, kegentaran dan kepiluan
prajurit-prajurit muda itu. One of the best war films.
-
Antwone Fisher (Denzel Washington) --
Menyembuhkan, disembuhkan. Dan, perjamuan makan pada awal dan akhir
film itu... what a welcome! -- Catatan samping: Saya sependapat dengan catatan Jeffrey Overstreet: But it also lends a strange and unnecessary emphasis to the importance of a young man losing his virginity.... in a film that places so much emphasis on family and faithfulness, this endorsement of hasty intimacy seems irresponsible and contradictory.
-
Beloved (Jonathan Demme) -- "It
ain't evil, just sad."
-
Bend It Like Beckham (Gurinder Chadha) --
Komedi cantik tentang impian seorang gadis dalam jelujuran dinamika hubungan antaretnis dan antargenerasi.
Tentu saja ada sepakbola, pesta pernikahan, dan -- meski hanya muncul dua kilas -- Beckham. Bumbu percintaannya
tergarap lumayan cerdas -- aku terkesan dengan adegan menjelang
akhir saat Jess yang masih mengenakan sari mendatangi Joe di
lapangan.
-
Castle in the Sky (Hayao Miyazaki) -- Incredible! "When you fell from the sky, my heart started racing. I knew something wonderful
had begun."
-
Catch Me If You Can (Steven Spielberg) --
Seorang bocah, Frank William Abagnale, Jr. (Leonardo DiCaprio),
melarikan diri dari keluargnya yang retak, dan ia berusaha
memperbaiki keretakan dengan... meniru kelemahan sang ayah yang
menjadi biang keretakan tersebut! Anugerah terulur baginya saat Carl
Hanratty (Tom Hanks) berhenti menjadi polisi yang mengejarnya, dan
menjadi sesosok bapak yang menunggunya pulang.... (Opening
credits-nya sebuah 'bonus' menarik yang sayang dilewatkan,
mengingatkan pada gaya animasi segmen "Rhapsody in Blue" dalam Fantasia
2000.)
-
Chungking Express (Wong Kar-Wai) -- Disconnected lives. Alienasi dan kehilangan membuat
label kadaluwarsa dan serbet basah pun jadi bermakna. Sebuah review di LoveHKFilm.com
mengomentarinya begini: "What's more important are the
character's inner lives. In Chungking Express, the standard genre
character is fleshed out and humanized, and their inner struggles
take on tremendous meaning. Wong Kar-Wai has created a Hong Kong cop
thriller that's about the cops and not the thrills."
-
Citizen Kane (Orson Welles) -- Baru 25 tahun Welles saat menggarap adikarya ini... wow! "He married for love. Love. That's why he did everything. That's why he went into politics. It seems we weren't enough, he wanted all the voters to love him too. Guess all he really wanted out of life was love. That's Charlie's story, how he lost it. You see, he just didn't have any to give. Well, he loved Charlie Kane of course, very dearly, and his mother, I guess he always loved her.
-
The Color Purple (Steven Spielberg) -- Sebuah kisah yang semestinya amat pahit-getir, namun disajikan dengan lapisan gula khas Spielberg, sehingga pesan penebusan yang terpapar pada babak terakhir terasa kurang
berkilau.
-
Dr.
Strangelove Or: How I Learned to Stop Worrying and Love the Bomb (Stanley Kubrick) -- "Gentlemen, you can't fight in here. This is the War Room!" (Pada kesempatan kedua, saya menyimak ulang khusus adegan-adegan di Ruang Perang: satir politik serba konyol!)
-
Edward Scissorhands (Tim Burton) -- Johnny
Depp menatah patung es, dan Winona Ryder menari dalam hamburan
saljunya....
-
Farewell My Concubine (Chen Kaige) --
Membaca gejolak arus politik sejarah Tiongkok modern melalui
pergulatan melodramatis sepasang aktor Opera Peking dan seorang mantan pelacur. Kostumnya
tampil cemerlang dalam tatawarna Technicolor yang kaya nuansa.
-
Freaky Friday (Mark Waters) -- Sebuah
pelajaran yang menggelikan: Melihat melalui jiwa orang lain, dan
turut merasakan kekalutannya. Penampilan Jamie Lee Curtis heboh -- kalau nominasi
Oscar sampai 13 slot, bisa-bisa dia ikut terpilih!
-
The Great Dictator (Charlie Chaplin) -- Sebelum Life is Beautiful dan Jacob the Liar, inilah: a
holocaust comedy. "Balet" dengan bola dunia itu....
Sayang, Chaplin menutupnya dengan khotbah.
-
Holes (Andrew Davis) -- Pertama-tama, tentu
saja, ada: lubang-lubang. Ada juga: keluarga nyentrik,
perkemahan-penjara di tengah gurun untuk remaja-remaja badung,
dengan staf pengawas menyebalkan dan sipir misterius. Lalu: kutukan,
sepatu (dan ramuan anti-bau sepatu!), ular derik, kadal bintik
kuning, bawang, persik, harta karun, Ibu Jari Tuhan. Tak ketinggalan:
percintaan antarras, persahabatan, pengorbanan, bandit wanita yang mencium korban yang
ditembaknya, dua remaja di lubang kadal. Dan akhirnya (atau lebih
tepat: menjelang akhir), guntur menggelegar dan hujan pun
mengguyur gurun tandus bekas danau itu -- wow, sebuah
"soundtrack" yang, sungguh ganjil, amat segar
menyejukkan! (Dengan kata lain: kuakui sulit membuat sinopsis film ini,
namun lihatlah betapa lincah sutradara dan penulis skenario
mempertautkan keping-keping kisahnya.)
-
Indiana Jones and the Last Crusade (Steven
Spielberg) -- My best of the Indy flicks. Bukan saja penuh
aksi dan humor segar, namun sekaligus amat emosional. Unforgettable moment:
Senior mengulurkan tangan pada Junior, "Indiana.... Let it
go." (Untuk Raiders of the Lost Ark, setelah tiga
kali menontonnya: makin sering ditonton makin sedap dan enjoyable.
Adapun The Temple of Doom, juga setelah tiga kali: makin
sering ditonton makin wagu dan menjijikkan [makan malam di
Istana Pankot dan pengorbanan manusia itu, yuck!]. Thanks buat
Indosiar yang menyiarkan serial ini berurutan dalam tiga minggu.)
-
In the Name of the Father (Jim Sheridan) -- A
gripping movie about father's love that sparks hope in the midst of
injustice, with a powerful performance by Daniel Day-Lewis and
strong supports from Pete Postlethwaite and Emma Thompson.
Adegan mengesankan: percakapan terakhir antara Gerry dan ayahnya;
para tawanan membakar kertas dan melemparkannya ke luar jendela
sebagai ungkapan dukacita atas kematian Guiseppe (what a
condolence!); sidang dengan si lidah tajam Gareth Peirce. Plus:
great rock-and-roll soundtrack throughout.
-
Jaws (Steven Spielberg) -- Aku nonton Jurassic
Park dan Jaws berurutan. Sebagai film: menit-menit
menunggu si hiu muncul, lengkap dengan interaksi ketiga pemburu di
atas kapal, jauh lebih mendebarkan daripada cakar T-Rex yang
langsung menggebrak atau Brachiosaurus yang melenggang anggun semampai. Sebagai ide: pengklonan dinosaurus itu lebih
kontroversial dan problematis (Ian Malcolm: "God creates dinosaurs. God destroys dinosaurs. God creates man. Man
destroys God. Man creates dinosaurs." Ellie Satler: "Dinosaurs eat man. Woman inherits the earth!").
-
The Kid (Charlie Chaplin) -- Yes, it's
short, yet bittersweet. Geli-pedih: Saat Si Bocah yang masih bayi "menyusu" dari teko. Geli-pilu: Saat Si Gelandangan dipisahkan dari Si Bocah, dan Si Gelandangan mengejar dengan berlari-lari dari atap ke atap. (Penampilan polos Jackie Coogan sebagai Si Bocah tidak kalah menawan dari akting Haley Joel
Osment.)
-
Lone Star (John Sayles) -- Ada misteri pembunuhan dan kisah asmara yang kembali
menyala. Namun, lebih dari itu, film ini terutama adalah potret
relasi sosio-historis
antargenerasi dan antaretnis pada suatu waktu di Rio County, sebuah kota kecil di perbatasan
Texas/Meksiko, yang dapat dijadikan contoh bagus untuk kita di sini. Dengan plot non-linear, berbagai flashback
terolah amat mulus -- flashback pertama itu khususnya, sulit
kubayangkan bagaimana menyiasatinya. Dan ending-nya, sebuah surprise yang perih....
-
The Magic Flute (Ingmar Bergman) --
Kesempatan langka nonton opera lengkap, kendati cuma lewat layar
kaca (ini memang film televisi). Kisah perjuangan Pangeran Tamino
melewati tiga ujian yang ditetapkan oleh Sarastro untuk memperoleh hikmat dan kebenaran serta
menyelamatkan belahan hatinya, Pamina, dari pengaruh buruk sang ibu,
Queen of the Night. Namun, Papageno -- pendampingnya yang mau ikut
menempuh ujian demi makanan, anggur, kenyamanan dan "a
little Papagena" alias seorang isteri mungil -- steals the
show. Lihat bagaimana dia mengoceh ketika semestinya tutup mulut
dalam ujian kedua, dan kemudian duet rancaknya dengan Papagena. Berdasarkan opera anggitan
Wolfgang
Amadeus Mozart dan libretto garapan Emanuel Schikaneder. Ludwig
van Beethoven menyanjungnya sebagai karya terhebat Mozart. (Dan, ya, membuat kangen nonton ketoprak atau wayang wong langsung di gedung pertunjukan.)
-
Man on the Moon (Milos Forman) -- "Aku
bukan pelawak." Lalu, makhluk apakah Andy Kaufman itu? Saya
tertawa, nyengir, gigit bibir, mengerutkan kening, geleng kepala,
melongo, sakit perut, tertohok.... Yang jelas, Jim Carrey, yang biasanya cenderung over
dan njelehi itu, tampil penuh greget.
-
The Man Who Would Be King (John Huston) --
Duet Sean Connery dan Michael Caine dalam petualangan lintas budaya
dan lintas agama, bergulat dengan ambisi dan keserakahan: ketika
seorang anak manusia berlagak menjadi sesosok dewa. Adegan sedap:
longsoran salju yang justru, ajaib, membuka jalan ke Kafiristan. Dari cerpen Rudyard Kipling.
-
Mary Poppins (Robert Stevenson) -- "Supercalifragilisticexpialidocious."
-
My Neighbor Totoro (Hayao Miyazaki) --
Oh, Japanimation! How lovely! Monsternya pun kita ingin
memeluknya! (Tapi, oh, kenapa yang populer dan gampang diperoleh di
sini adalah rombongannya Doraemon?)
-
Nagabonar (M.T. Risyaf) -- "Apa kata dunia kalau di tengah perang Nagabonar kawin?" (Sayang, transfer ke VCD-nya amat semena-mena. Kiri-kanan atas-bawah gambar terpotong ["NAGABONAR" hanya terbaca "IGABON/"]. Halo, Jallywood, apa kata dunia?!)
-
Nicholas Nickleby (Douglas McGrath) --
Adaptasi lumayan rancak atas novel ketiga Charles Dickens tentang
perjuangan seorang pemuda membangun kembali keluarganya dan
memutuskan belitan culas sang paman. Jamie Bell (Billy Elliot)
sebagai Smike, sahabat Nicholas, menyodorkan potret pedih seorang
anak yang tergilas oleh ambisi tamak orang tuanya. Tokoh-tokoh
jahatnya meyakinkan, khususnya Ralph Nickleby dan suami-isteri
Squeers. Kate Nickleby dan Madeline Bray sebenarnya bisa lebih kokoh
lagi bila tersedia cukup ruang bagi penokohan keduanya; sedangkan si
kembar Cheeryble, dan juga rombongan teater rakyat itu, tampil
menggembirakan seperti punakawan. Adapun Nicholas ... hm, ya mirip malaikat (atau teen-idol?), di tengah
dunia Dickens yang kelam, pahit dan sarat kritik sosial itu. Adegan
paling mengharu biru: Ralph menekuri kamar tempat Smike disekap,
sementara di luar seorang pria menyanyikan sebuah himne.
-
Nosferatu, the Vampyre (Werner Herzog) -- "The
absence of love is the most abject pain." Dan Kematian pun,
dengan tikus-tikus dan pageblug di ujung jubahnya, melayap
pada jam-jam gelap kota kecil yang semula elok tenang itu....
-
Oeroeg (Hans Hykelma) -- Persahabatan,
menurut Oeroeg, hanya mungkin kalau kita sederajat. Dan persahabatan
kedua bocah itu pun terkerat oleh arus sejarah. Sebuah sisi lain
perjuangan kemerdekaan Indonesia -- lebih tepatnya, sebuah paparan
dari perspektif Belanda. Di sini tidak ada sosok tentara Belanda
tipikal yang cuma memaki dan mengoceh soal "ekstremis."
Orang-orang Belanda tampil lebih berwarna dan manusiawi, termasuk
para penganut politik etis yang bersimpati dan mendukung perjuangan
rakyat Indonesia. Sayangnya, orang-orang Indonesia, kecuali Oeroeg
tentunya, tampil tipis dan datar. Film ini terasa sebagai sebentuk
apologi. Betapapun, upaya semacam ini
mestinya perlu terus ditindaklanjuti, mengingat masih banyak
sudut-sudut gelap (digelapkan?) dalam rentang sejarah negeri ini. Adegan
krusial: Oeroeg nonton Tarzan the Ape Man di balik layar
(huruf dan gambarnya terbalik). Saat rehat, ia mendapati Johan, yang
tadinya memutuskan mau jalan-jalan saja, rupanya nonton juga, di
depan layar, bersama dengan orang-orang Eropa lainnya. Yang indah:
Kamera George Kamarullah menyapu bentang alam Sunda yang... hm,
pantas Ramadhan K.H. mendendangkannya sebagai Priangan si jelita.
Yang ganjil: Benarkah perempuan Sunda, saat itu, suka
menanyikan Rasa Sayange saat mencuci dan mandi di kali? Yang
wagu: Gambar sampulnya -- kalau menimbang porsi
penampilannya, kok bisa-bisanya sosok separuh badan Mbak Ayu Azhari
ditonjolkan sebegitu rupa.
-
One True Thing (Carl Franklin) -- Sang ibu ingin merengkuh anak
perempuannya, namun sang anak lebih mendambakan perhatian sang ayah,
dan sang ayah.... Ellen pada George: "Kenapa Ayah bisa libur
untuk [menulis] novel terbaik Amerika, namun tidak untuk [merawat]
Ibu?" Kate pada Ellen: "Tidak
ada yang kauketahui tentang ayahmu yang Ibu tidak tahu -- dan Ibu
mengetahuinya dengan lebih baik." (Still, Kate, should you take the matter into your own hands?)
-
A Perfect World (Clint Eastwood) --
"Kita ternyata punya banyak kesamaan. Kita berdua sama-sama
lelaki tampan. Kita sama-sama suka RC Cola. Dan kita sama-sama punya
ayah yang tak berguna." Kedua bocah kecil -- ya, keduanya sama-sama 'bocah':
si sandera seorang bocah kecil, yang pengin ikut merayakan Halloween
dan naik pesawat roket; si penjahat juga seorang 'bocah kecil', terluka dan terperangkap dalam
sebuah tubuh yang besar -- itu pun menjalani pelarian yang menjelma
jadi proses pembelajaran bersama, sambil bersama-sama menggerapai sosok
seorang ayah. Adegan menawan: Butch ngebut dan Phillip naik 'roll-coaster'
di kap mobil itu. Adegan memilukan: Sejak di rumah Mack si petani hingga ending
di padang rumput. A wrenching movie.
-
Pirates of the Caribbean: The Curse of the Black
Pearl (Gore Verbinski) -- Judulnya sepanjang tanding pedangnya.
Petualangan sedap tentang kutukan yang mesti dipatahkan dengan
pencurahan darah. Namun, bagaimana darah itu dicurahkan pada
akhirnya -- wah, sebuah kejutan tak terduga! (Seperti HP and the
Chamber of Secrets, di ujung closing credits ada bonus
konyol.)
-
Il Postino (Michael Radford) -- A poet and
his admirer. And metaphors!
-
Quiz Show (Robert Redford) -- Kejujuran vs.
hiburan (baca: rating!). Individu vs. perusahaan. Ralph
Fiennes sebagai Charles Van Doren, seorang profesor muda yang
melakukan blunder, mengambil sebuah pilihan yang tidak
bijaksana demi popularitas, dan akhirnya malah menghancurkan karier
dan reputasinya sendiri -- dan reputasi keluarganya. Rob Morrow
sebagai Richard Goodwin, investigator yang dengan gigih membongkar
kecurangan dalam acara kuis Twenty-One, namun akhirnya
terperangah saat menyaksikan bahwa ia hanya berhasil menjolok
buahnya, sedangkan pohonnya sendiri tetap tegar bergeming. Adegan
menyentuh muncul saat Charles, di tengah kebuntuan, akhirnya
berpaling pada sang ayah -- sayangnya, ia sudah melangkah terlalu
jauh.
-
Rebecca
(Alfred Hitchcock) -- Sebelum Xanadu dan kastil dalam Beauty and
the Beast, Manderley sudah lebih dahulu menghantui layar perak
dengan sosoknya yang misterius. Puri besar megah namun mencekam ini
menjadi latar terpadu bagi thriller dan misteri tentang
percintaan yang dihantui oleh masa lalu. Khas Hitchcock,
protagonisnya orang tak bersalah yang terjepit dalam sebuah perkara
kriminal pelik. Adegan paling manis: Mr. dan Mrs. de Winter menonton
film bulan madu mereka -- tata cahayanya apik banget. Film
hitam-putih bersinematografi cantik ini adalah Best Picture
di ajang Oscar 1940 -- satu-satunya film Hitchcock yang menyabet gelar
bergengsi itu, padahal sesudahnya ia masih terus menggarap karya-karya yang tak kalah cemerlang. (Setelah kubandingkan lagi, nyatanya banyak
kesejajaran antara Beauty dan Rebecca. Undak-undakan dan sayap barat dalam Beauty
jelas turunan dari sini. Seorang pelayan mengaku pada Mrs. de
Winter, "We, none of us, want to live in the past, Maxim
least of all. It's up to you, you know, to lead us away from
it." Bukankah ini serupa dengan harapan yang ditujukan pada
Belle? Hanya saja, kali ini "Gaston" is in the house!)
-
Red Beard (Akira Kurosawa) -- A great
example of discipleship. Main lesson: Kindness is contagius.
-
The Remains of the Day (James Ivory) --
Mengalir, pelan, menghanyutkan. Demi tugas dan tanggung jawab,
Stevens menyekap perasaan-perasaan manusiawinya -- terhadap ayah
sendiri, terhadap sepasang gadis Yahudi, terhadap seorang wanita
yang diam-diam dia cintai, dan mencintainya. Anthony Hopkins yang
selalu menawan sebagai Stevens yang seolah bergeming di tengah
gerusan zaman, bagaikan Darlington Hall yang tetap tegak berdiri
kendati penghuninya telah berganti. Emma Thompson sebagai Miss
Kenton secara memikat menyajikan kehalusan nuansa perasaan seorang
wanita yang berusaha menembus dunia seorang pria yang menutup diri (perubahan
penampilannya setelah menjadi Mrs. Benn kurasa patut disebut
mengharukan). Hujan yang masih tercurah saat Stevens mengangkat topi di bawah payung, melepaskan Mrs. Benn naik bis itu....
-
Shane (George Stevens) -- A classic
Western. Shane dan Wilson sama-sama muncul entah dari mana ke
pemukiman yang tengah dalam proses transisi. Yang satu membunuh
untuk mempertahankan tatanan lama; yang lain membela kehidupan untuk
memungkinkan pergantian era. Yang satu tewas; yang lain, seperti
kemunculannya, menghilang di balik cakrawala. Dengan pola tutur
tradisional yang memberi kesempatan pada tokoh-tokohnya untuk
mempergulatkan ide-ide dan tindakan mereka, film ini kemungkinan
besar akan terasa memboyakkan bagi generasi instan MTV. Hanya ada
sejumlah perkelahian dan orang yang tewas bisa dihitung dengan jari,
dan menyadarkan kita betapa berharganya kehidupan itu. Bandingkan
dengan film laga sekarang, yang sejak awal tidak jarang sudah
berdarah-darah, dan hidup serasa bagai sampah yang gampang dibuang.
(Kami nonton rame-rame untuk merayakan ulang tahun seorang teman
bernama Musa Shane Arung -- ya, ibunya kesengsem berat
pada tokoh yang diperankan Alan Ladd ini.)
-
The Shawshank Redemption (Frank Darabont) -- Film tentang pengharapan yang terus
berpijar di tengah kepengapan dan kebobrokan penjara. Many
great moments and quotes. Aku pilih: [1] "Hope is a
dangerous thing"; [2] Para tawanan "tersihir"
menyimak The Marriage of Figaro-nya Mozart; [3] Andy "lahir kembali"
melalui "rahim" Raquel Welch, melewati saluran tinja, lalu
tercebur ke sungai dan terguyur hujan, ia pun merentangkan tangan ke
langit, penuh kemerdekaan. Komentar di Hollywood Jesus: Sometimes we must confront our own dung (and of others), and work through it to
be truly free.
-
The Shining (Stanley Kubrick) -- "I
wish we could stay here forever, and ever, ever." Kejahatan,
bila tidak dipungkasi dengan semestinya, akan terus menggerapai,
menagih utang, dari generasi ke generasi. Kejahatan masa lalu itu
secara berangsur menggerogoti Jack Torrance -- ya, "mencuri,
membunuh dan membinasakan" dia -- serta nyaris merenggut
seluruh keluarganya. Adakah Dick Hallorann sesosok "juruselamat"?
Karena dia juga punya kemampuan paranormal, bukankah dia sudah tahu
apa yang menunggunya di lobi hotel? Apakah dia sengaja mengorbankan
diri? Adegan pedih mencekam: [1] Dialog antara Jack dan Danny,
khususnya saat Danny bertanya, "You would never hurt Mommie or
me, would ya?"; [2] Wendy menemukan bahwa Jack hanya mengetik
"All work and no play makes Jack a dull boy"
berulang-ulang dalam berbagai tipografi pada berlembar-lembar kertas; [3] Jack
mengejar-ngejar Danny di dalam labirin bersalju. Gambaran kemanusiaan
yang merosot menuju nadir.
-
Spartacus (Stanley Kubrick) -- "I am
Spartacus!"
-
Spirit: Stallion of the Cimarron (Kelly Asbury
dan Lorna Cook)
-- Sejarah wilayah Barat AS, dituturkan bukan dari atas pelana,
melainkan dari dalam hati seekor kuda: tentang kebebasan dan
persahabatan. Rina (Lesra juga!) suka ilustrasi dan lagu-lagunya. Ya,
paduan animasi dan musik yang segagah kisahnya. Saat Spirit dan Rain tergulung sungai berarus deras
itu....
-
Surat untuk Bidadari (Garin Nugroho) -- Bung
Marthen, film garapan sutradara sekaliber Garin Nugroho pun ternyata
mengidap kelemahan yang sama dengan cerpenmu: warna
lokal yang ditampilkannya baru sebatas "hiasan" atau sekadar
latar, bukan bagian terpadu dari kisahnya. Istilah kerennya, baru latar
fisik, belum latar budaya. Toh, lumayanlah, paling tidak
kita sudah berwisata secara visual ke sabana Sumba yang eksotis plus disuguhi berbagai upacara adat setempat
(saya catat minimal enam: tarik batu, penguburan, penyucian hewan, minta maaf pada
arwah, pernikahan dan menginjak padi). Pertanyaan untuk Mas Garin: kenapa pembunuhan Lewa atas Kuda Liar
diadili, sedangkan pembunuhan-pembunuhan sebelumnya oleh Kuda Liar tidak diusut
sama sekali? Kuda Liar menyuap pengadilan 'kah?
-
Tootsie (Sydney Pollack) -- "I was a
better man with you, as a woman, than I ever was with a woman as a
man." Dan, It Might Be You.... (ah, lagu memang
"mesin waktu" yang sangat baik; mendengarnya, aku melayang
ke masa-masa SMP-SMA: filmnya belum mampir, namun soundtrack-nya sudah menyelinap ke desaku di kaki Gunung Sindoro).
-
The White Balloon (Jafar Panahi) --
Ketidakpedulian dan kesalahpahaman antara orang tua dan anak (seperti
Dorothy dengan paman dan bibinya dalam The Wizard of Oz, atau
Pazu dengan bosnya dalam Castle in the Sky), mengirim
anak-anak ke dalam sebuah petualangan. Kali ini, petualangan itu
tidak berlangsung di sebuah dunia fantasi, namun di lorong-lorong
dan jalan-jalan Teheran. Kita pun mendapatkan galeri orang-orang
Iran yang, yah, tidak berbeda jauh dengan tetangga sebelah kita: ada
yang licik, ada yang egois, ada yang ringan tangan mau menolong --
namun semua itu dipotret dari sudut pandang kanak-kanak. Kisah
sederhana yang menyadarkan betapa sering kita mengabaikan
detil-detil menawan dalam kehidupan ini.
-
X2: X-Men United (Bryan Singer) -- Potret
kegamangan kita dalam hidup berdampingan, dan kegatalan kita untuk
saling menghancurkan. Dan di tengah-tengah itu: ada Wolverine yang
menunjukkan dirinya bukan "hanya" hewan bercakar; ada Jean
yang memilih keluar dari pesawat; ada Nightcrawler yang
mendaraskan doa Bapa kami dan Tuhan adalah gembalaku.
-
Young Sherlock Holmes (Barry Levinson) --
Wah, ini mah template untuk Harry Potter, dan bisa dijuduli Sherlock
Holmes and the Temple of Doom! Saat Chris Columbus
mengomandani proyek Harry Potter, tak ayal ia terkenang-kenang pada
skenario yang digarapnya untuk film ini. Lalu, dengan produser eksekutif Steven
Spielberg, sentuhan ala Indiana Jones pun tak terelakkan. Ini rekayasa petualangan
pertama Sherlock Holmes dan John Watson -- dan ya, seorang gadis
yang sempat menghiasi masa muda Holmes, yang nantinya kondang
sebagai detektif bujangan itu. Sir Arthur Conan Doyle, kurasa, akan
manggut-manggut menontonnya. Catatan
kecil: Ksatria yang meloncat dari kaca mosaik itu adalah contoh
CGI generasi pertama -- dan tak sampai dua dekade kemudian kita
sudah mendapatkan Yoda, peri rumah, dan Gollum.
-
Z (Costa-Gravas) -- Thriller politik
dengan editing jempolan, plus olesan humor kecut di sana-sini.
Dan, film Perancis peraih Oscar untuk Film Asing Terbaik 1969 ini
tetap terasa aktual -- barangkali karena intrik politik memang berkutat
di situ-situ saja....
Home - Puisi
- Fiksi
- Renungan
- Film
- Buku
- Artikel
© 2003-2004 Denmas Marto
|