Home | Film
Favorit
FILM FAVORIT
Kelompok #4
Mulai kelompok ini saya
akan mencoba lebih konsisten dengan hanya mencantumkan dan mengomentari
film-film yang baru saja saya tonton.
-
Adaptation
(Spike Jonze) -- Entah menjadi lebih baik atau lebih buruk, diam-diam kita beradaptasi, meski tidak jarang kita gamang mengakui perubahan yang terjadi. Cerita berbingkai tentang pencuri
anggrek, pergumulan seorang penulis menghadapi writer's bloc, film tentang penyusunan skenario film, atau... bauran fakta dan fiksi dalam jalinan plot ganda yang memikat dan penuh jebakan. Dua jempol untuk akting Nicolas Cage sebagai si kembar yang masing-masing tampil sebagai pribadi unik.
-
Alexander Nevsky (Sergei Eisenstein & Dmitri Vasilyev) -- Wah, ini mah simbah-nya Kurosawa! Alur kisahnya lempang-lempang saja, namun rangkaian gambarnya sungguh brilian. Frame demi frame (coba saja hentikan secara acak) masing-masing merupakan gambar berkomposisi amat menawan. Selain keelokan pertempuran di danau es yang sudah banyak dibicarakan, ada horor mencekam dalam pembantaian di Pskov: Adegan bocah-bocah cilik Rusia dilemparkan ke tengah api unggun itu terasa lebih menggigilkan bila dibandingkan dengan pendaratan di Pantai Omaha dalam Saving Private Ryan.
-
Alien
(Ridley Scott) -- This monster is a perfect organism -- mere
organism -- "unclouded by conscience, remorse, or delusions of
morality." Dan: "Insure return of organism for analysis. All other considerations secondary.
Crew expendable." Woah!
-
Amores Perros
(Alejandro Gonzalez Iñárritu) -- Jalinan tiga kisah penuh darah,
amarah dan perselingkuhan.
Potret negatif yang menegaskan betapa mahal harga yang mesti dibayar
saat kita nekat mengikuti kemauan sendiri, dan, semoga, mengingatkan kita akan
betapa bermaknanya keluarga dan cinta sejati. Di tengah
rangkaian kekerasan itu, terselip adegan amat menyentuh: El Chivo merekam pesan di mesin penjawab anak
perempuannya, yang ditinggalkannya sejak anak itu berusia dua tahun.
Anda perlu shock teraphy?
-
Back to the Future I-II
(Robert Zemeckis) -- Bisa mengetahui masa depan -- sebuah berkat atau bencana? Kalau Anda bisa mengubah peristiwa masa lalu, apa yang akan Anda ubah? Tidak jarang kejadian-kejadian yang tampaknya sepele dan tak terduga justru memiliki dampak yang hebat dalam hidup kita. Dan karena kita hidup dalam apa yang oleh Agustinus disebut sebagai kekinian yang kekal, aliran kini demi kini, maka waktu untuk memulai perubahan itu bukanlah pada masa lalu atau pada masa depan, melainkan SEKARANG.
-
Biola Tak Berdawai (Sekar Ayu Asmara) --
Musiknya indah, meski kadang-kadang seperti bungkus yang terlalu
megah untuk sebuah kisah yang datar-datar saja. Gambarnya manis,
meski tidak jarang layar terasa lengang: kehadiran pemeran tidak
berhasil menguasai ruang dan menjadikannya padat berisi (saya
tergoda untuk membandingkannya dengan Viskningar och Rop, yang meski
didominasi pula oleh close-up dan two-shot, toh tampil
amat mencekam). Meski penokohannya tipis, penampilan Ria lumayan (dalam balutan kebaya, kok mengingatkan pada perannya sebagai pembantu dalam Selamat Tinggal, Jeanette); sedangkan Nicho, komentar anak ISI, pegang biolanya masih wagu (mungkin perlu belajar pada Meryl Streep saat membintangi Music of the Heart). Namun, tolong singkirkan Mbak Jajang yang, maaf, terlalu menor (riasan dan ucapannya), dan kartunya yang nyebelin
itu.... (dalam Parodi Jali-jali di teve itu Mbak Jajang malah lebih resik dan cantik, lho!)
-
Bruce Almighty (Tom Shadyac) -- Pelajaran
#1: Yang Mahakuasa pun tidak bisa (baca: memilih tidak) memaksakan
cinta. Pelajaran #2: Terima kasih, Tuhan, karena aku bukan Tuhan,
dan Engkau tidak berlibur. Menarik dicatat, film ini penuh dengan rujukan: ada Ten
Commandments, Mummy, Matrix (bandingkan Tuhan-Bruce-Grace dengan
Morpheus-Neo-Trinity), It's a Wonderful Life dan, saat closing
credit, Willy Wonka and the Chocolate Factory. Rujukan
pada It's a Wonderful Life mengisyaratkan kesejajaran tema:
keduanya adalah film pengandaian. Life tentang "seandainya
aku tidak dilahirkan"; Bruce tentang "seandainya
aku adalah Tuhan."
-
Ca-bau-kan (Nia diNata) -- Aku rada grathul-grathul
mengikuti filmmu ini, Mbak Nia, khususnya di bagian ending.
Wah, alamat kudu baca novelnya, nih. Padahal, novel dan film
adaptasinya (atau sebaliknya) mestinya masing-masing bisa dinikmati
secara tersendiri, 'kan? Bagaimanapun, salut untuk debut sampeyan
yang apik ini. Bisa kubayangkan, betapa ciamik ini film bila
durasinya lebih lapang, kira-kira kayak Gone With the Wind begitu.
-
Cinema Paradiso (Giuseppe Tornatore) -- Film
ajaib tentang pecinta film. Adegan paling ajaib: Aflredo
memproyeksikan film ke luar gedung, ke tembok di alun-alun, dan
Salvatore tua menyaksikan rangkaian adegan ciuman yang semula
disensor oleh Romo Adelfio.
-
Cries and Whispers (Ingmar
Bergman) -- Cinta, benci, kenyerian, kematian dan iman: Merahnya merah, pedihnya
pedih....
-
The Crimson Rivers (Mathieu Kassovitz) --
Kalau Anda suka The Silence of the Lambs dan Seven,
dan sulit menemukan film yang setanding dengan itu: ini suguhan
dari Perancis yang tak mudah ditepiskan. Jean Reno cool
banget (bandingkan dengan Morgan Freeman di Seven). Paralell
editing-nya mengingatkan pada The Silence of the Lambs (misalnya,
peralihan dari wajah Fanny ke makam Judith itu). Setting-nya
pun eksotis. Ending-nya saja yang terasa seperti mobil direm
mendadak.
-
Di Balik Awan (S. Adi Hutomo P.) -- Saya menikmatinya -- seperti menonton mBangun Desa tanpa Pak
Bina.
-
Doctor Zhivago (David Lean) -- Satu gerbong
dengan Gone With the Wind, The Sound of Music dan Titanic:
opera sabun berlarat-larat dengan lokasi dan latar sejarah nan
eksotis. Kali ini: salju, kereta api, revolusi Rusia, dan nasib
kehidupan pribadi di tengah arus komunisme.
-
Enter the Dragon (Robert Clouse) --
Saya bukan fans film kung-fu, namun yang satu ini heboh juga. Plot, dan bahkan penjahatnya, ala serial 007 (khususnya Goldfinger); soundtrack-nya juga lebih mirip dengan film-film action Barat, tidak mengambil dari khasanah musik tradisional Cina seperti lazimnya film kung-fu. Namun, aksi Lee punya daya cekam dan ketegangan tersendiri. Istana Han fantastis, khususnya ruang kaca tempat duel
terakhir.
-
The Eye (Pang Brothers) -- Sebuah pelajaran
yang mencekam: Melihat melalui mata orang lain, dan turut merasakan
kepedihannya.
-
Faraway, So Close! (Wim Wenders) -- "Life
is an exceptional situation." Dan malaikat itu pun ingin
mengecap putaran waktu....
-
Finding Nemo (Andrew Stanton) -- Lovely
and amazing! Adegan paling menyentuh: Sirip Marlin menaungi dan melindungi Nemo, yang saat itu masih berupa telur -- hm, dicintai sebelum lahir....
-
Good Morning, Vietnam (Barry Levinson)
-- 'The Wizard of Oz' in Saigon. Funny, bittersweet, touching.
-
Gosford Park (Robert Altman) -- Montase
benturan antarkelas sosial di sebuah rumah pedesaan di Inggris dalam
balutan misteri ala Agatha Christie. Tokohnya seabreg, namun
pelan-pelan kita bisa mengenalinya satu per satu.
-
Grave of the Fireflies (Isao Takahata) --
Seribu kunang-kunang di Kobe, di tengah sengkarut perang. Sebuah
kisah pedih -- tanpa harus menjadi sentimentil -- dalam goresan
animasi yang liris dan memukau.
-
Henry V (Laurence Olivier) -- Walah, ini
mah ketoprak Inggris! Kalau di Jawa, Henry pasti gandrung pada Katherine
dengan menembang Asmaradana. Adegan saat Henry menyusup incognito
di antara prajuritnya pada malam sebelum pertempuran itu juga
mengesankan. Dan istana serta benteng-bentengnya, seperti kue
tart....
-
Hero (Zhang Yimou) -- Secara visual, lebih
fantastis daripada Crouching Tiger, Hidden Dragon -- seperti membaca
buku-dongeng bergambar edisi luks. Gaya flashback-nya sekilas
mengingatkan pada Rashomon. Sekilas saja, karena pada
akhirnya cerita ganda itu tidak menyodorkan ketaksaan makna. (Pertanyaan:
Kenapa cerita yang benar dituturkan dalam palet biru, sedangkan
cerita yang dusta ditampilkan full-color? Ada yang mau berkomentar?)
-
It's a Wonderful Life (Frank Capra) -- Bagaimana seandainya engkau tidak pernah
dilahirkan? Penuh dengan adegan mempesona: Bailey merayu Mary akan melaso
bulan, menerima telepon bersama, malam pengantin di rumah hantu,
dompet yang hilang, Bailey meminta pinjaman pada Mr. Potter,
pertemuan dengan Clarence, perjalanan ke "Never-Born
Land", dan tentu saja perayaan Natal dengan gemerincing lonceng
tanda seorang malaikat mendapatkan sayap. Ya, George Bailey memang
"the richest man in town."
-
JFK (Oliver Stone) -- A journey of a
seeker for truth. A question, not an answer.
-
Kandahar (Mohsen Makhmalbaf) -- I'm
speechless. This film unfolds a whole new world for me: eclipse,
burka, famine, drought, land mines, multicolored burkas against the
bone-white desert -- all the way to Kandahar. And, that
unforgettable, almost surreal scene: dozens of Afghan men,
single-amputees, victims of land mines, racing on crutches toward
falling pairs of artificial legs, parachuted by the Red Cross. O
women, came out from behind the curtain!
-
Kwaidan (Masaki Kobayashi) -- Indah, namun sekaligus amat
wingit.
-
The Last Days (James Moll) -- Ingat gadis
kecil berjaket merah dalam Schindler's List? Ini, dalam
pengertian tertentu, narasi-narasi kecil tentang si "gadis berjaket merah" itu:
kesaksian sejumlah orang Yahudi-Hongaria survivor Holocaust.
"Sejak saat itu saya tidak berbicara kepada Tuhan," kata
salah seorang dari mereka.
-
The Lord of the Rings: The Two Towers (Peter Jackson) -- "It's
getting heavier."
-
Modern Times (Charlie Chaplin) -- Si
Gelandangan di tengah arus industrialisasi. Sayang, terasa
antiklimaks karena adegan paling heboh [rangkaian peristiwa di
pabrik, khususnya si Gelandangan "ditelan" oleh mesin]
tampil di awal.
-
Monsoon Wedding (Mira Nair) -- Lebih
kompleks dan lebih gelap daripada My
Big Fat Greek Wedding (simak perbandingan yang dipaparkan Andy
Crouch), dan dengan demikian lebih menohok. Seperti Gosford
Park-nya Altman, seabreg tokoh tidak membuat film ini
jadi benang kusut. Sang ayah, Lalit Verma, tampil sebagai tiang
penopang bagi jalinan kisah multiplot ini. What a father!
Dalam berbagai keterbatasan dan kelemahannya, ia berusaha memberikan
yang terbaik dan melindungi keluarganya. Di sini sosoknya
benar-benar berada (meminjam istilah dari Unbreakable-nya
Shyamalan) di ujung spektrum yang lain dari jenderal busuk-pengecut
dalam The General's Daughter-nya Simon West (perhatikan
kemiripan pilihan yang mesti mereka hadapi). Dan, tentu saja, ada
Dube yang sulit dilupakan itu!
-
Moonlight Mile (Brad Silberling) -- Ketika orang yang kita kasihi pergi -- bagaimana menghadapinya?
-
Music of the Heart (Wes Craven) -- Hm,
konser di Carnegie Hall itu....
-
National Velvet (Lawrence Brown) -- Liz
Taylor saat masih ABG dan seekor kuda dalam kisah tentang impian
seorang gadis kecil. "I too believe that everyone should have a chance at a breathtaking piece of folly once in his life," kata Ny. Brown. Mickey Rooney menjadi si pelatih (peran yang 35 tahun kemudian diulanginya di Black Stallion), yang berubah karena Velvet mempercayainya. Ada pula Mrs. Potts, eh, Angela Lansbury sebagai dara jelita yang tengah jatuh cinta. Sebuah film keluarga yang menawan!
-
Once Upon a Time in America (Sergio Leone) --
Too elegiac, bloody and distressing. Friendship, loyalty and
betrayal told in a zig-zaq of flashforward and flashback structure. Not for multiple viewing.
-
Ordinary People
(Robert Redford) -- Permukaannya seakan mulus dan tenang, arus
bawahnya menggelegak penuh gejolak. "If you can’t feel
pain, then you’re not going to feel anything else, either."
Ya, kau akan terus mencengkeram kekosongan yang bisa kaukontrol,
atau melepaskan kontrol itu, membuka diri dan mencoba saling
merangkul?
-
Punch-Drunk Love
(Paul Thomas Anderson) -- Beast in the basement and the
beauty that is love.
-
The Quiet American
(Phillip Noyce) -- "How I wished there existed someone to whom I could say I was sorry." (Philip
Yancey menyodorkan perbandingan menarik antara film ini dan
sebuah film perang lain.)
-
The Red Badge of Courage
(John Huston) -- Oh, kegentaran.... (Catatan: Setelah Mutiny on
the Bounty, ini satu lagi contoh buruk pewarnaan film hitam-putih. Warna
kulit wajah para tentara itu jadi ganjil.)
-
The Right Stuff
(Philip Kaufman) -- Sebelum Buzz Lightyear, ini dia: To infinity
and beyond.... Tiga jam yang padat dan memikat!
-
The Scent of Green Papaya
(Tran Anh Hung) -- Apa yang kaulakukan pada lelehan getah di atas
daun, iringan semut mengusung makanan, katak, jangkrik, dan bebijian
pepaya muda? Kaya detail, liris, ngelangut, dan eksotis. What
a visual beauty!
-
Sunset Boulevard (Billy Wilder) -- Grandiose
delusions of a former movie star. "I am big. It's the pictures that got small.''
Adegan terakhir itu -- khususnya ekspresi Max saat 'menyutradari'
Norma Desmond menuruni tangga -- benar-benar "menggigit." "All
right, Mr. De Mille, I'm ready for my closeup.''
-
The Thin Blue Lie (Robert Young) -- Ya ampun,
ternyata saya tidak salah baca, ini memang bukan The Thin Blue Line-nya
Errol Morris. Namun, terus terang, saya terpukau. Mungkin karena
mengira sedang nonton film hebat (jebul di Rotten Tomatoes
baru terdaftar satu review). Mungkin karena kisah seorang
wartawan mengerjakan laporan investigatif demi sebuah kebenaran
paling tidak menggetarkan dua dawai saraf: dawai kepenulisan dan
dawai kepahlawanan (teringat pada The Insider dan kasus Udin).
Selebihnya: "Ini beneran?" tanya Rina, isteriku,
setengah tidak percaya kalau film ini berdasarkan kisah nyata.
-
True
Grit (Henry Hathaway) -- Apakah "indah" cocok
sebagai adjektiva untuk film Western? Cobalah yang satu ini!
-
Unforgiven (Clint Eastwood) -- A lesson
in anger management.
-
Vertigo (Alfred Hitchcock) -- Aku cenderung
melihat film ini dari sudut padang Judy: Seorang wanita yang
diperalat sebagai boneka, namun malah benar-benar jatuh cinta pada
korbannya -- yang juga jatuh cinta padanya, eh, pada sosok yang dia perankan. Betapa terkoyak hatinya saat dicecar pertanyaan: "Did he train you? Did he rehearse you? Did he tell you what to do and what to say?"
-
The Wind Will Carry Us (Abbas Kiarostami)
-- Seperti puisi tertentu, saya cukup puas menikmati film ini, tanpa
mesti berlagak memahami: jalan panjang berliku di tengah lanskap
yang "membara", kampung bak labirin, handphone yang
mesti dilarikan ke atas bukit setiap kali berdering, puisi di
kandang sapi (di bawah tanah!) dalam temaram cahaya pelita, dan tulang yang dilemparkan ke aliran sungai. Tentang
perjalanan, tentang perubahan: Behzad yang semula menantikan
kematian seorang wanita tua (baca: hanya melihatnya sebagai obyek),
akhirnya melihat wanita itu sebagai sesamanya, dan ia pun turut
mengulurkan tangan untuk menolong, sebelum akhirnya wanita itu
benar-benar meninggal. Alih-alih memfilmkan seluruh upacara, ia
hanya memotret sejumlah pelayat. Biarlah angin menerpa
kita....
-
Wuthering Heights (William Wyler) -- Oh,
hati yang terbelah.... (Seandainya film ini dibuat setelah akhir
'60-an [saya belum sempat nonton versi baru yang dibintangi Ralph
Fiennes dan Juliette Binoche], tak ayal akan kuyup dengan adegan
ciuman dan bahkan seks. Dalam versi 1939 ini, yang ada hanya
sentuhan tipis antarbibir dan pelukan hangat yang lebih mirip
keakraban kakak-beradik. Hidup film kuno!)
-
X-Men (Bryan Singer) -- Apa yang kalian
lakukan kalau kalian adalah minoritas yang ditindas?
-
The Year of Living
Dangerously (Peter Weir) -- Wartawan: pengamat atau
partisipan?
-
Zulu (Cy Endfield) -- Separuh bagian awalnya
memang agak lamban, namun berfungsi untuk membangun ketegangan
psikologis. Tunggulah sampai pasukan Zulu berderap bagaikan deru
"kereta api", berjajar di sepanjang horison. Meskipun
tidak sepuitis Kurosawa, adegan-adegan pertempuran tertata sangat
mengesankan. (Orang-orang Zulu semula tidak mau memainkan adegan ini.
Setelah dipertontonkan sebuah film western, baru mereka
bersedia.)
Home - Puisi
- Fiksi
- Renungan
- Film
- Buku
- Artikel
©
2003 Denmas Marto
|