Home | Film Favorit

Membaca Di Balik Awan:

Tiga Hari dan Sesudahnya dalam Kehidupan Keluarga Parjo

Parjo dan CecielDi Balik Awan adalah garapan S. Adi Hutomo P. untuk tugas akhir di kampusnya, Jurusan TV FSMR ISI Yogyakarta. Setelah menontonnya dua kali secara terpotong-potong, saya akan mencoba untuk mengelupas, eh, mengupasnya.

Cerita. Film berdurasi sekitar 70 menit ini bertutur tentang "tiga hari dan sesudahnya" dalam kehidupan Parjo, seorang pemulung, dengan isteri dan kedua anaknya. Martini, anak mereka yang sudah remaja, diam-diam sering pergi mengamen sepulang sekolah.

Pada pagi pertama, setelah dikejar-kejar orang karena dikira maling, Parjo menolong Ceciel memasang ban serep mobil. Ketika hendak diberi imbalan, ia menolak. "Saya tulus kok, Mbak. Biar yang di atas saja yang membalas," kilahnya. Ceciel pun memberikan nomor telepon kantornya, meminta Parjo kapan-kapan menghubungi, siapa tahu ia punya lowongan kerja yang pas. Ketika pulang dan bercerita pada Tiwuk, isterinya ini menanggapi dengan sinis, karena toh yang dibawanya cuma dluwang (kertas), bukan dhuwit, padahal utang mereka kian menumpuk. Keesokan harinya, Parjo berulang-ulang berusaha menelepon ke kantor Ceciel. Hasilnya nihil.

Parjo tampaknya bukan pemulung biasa. Ketika ditanya kenapa tidak setuju isterinya jadi TKW, ia berdalih, takut kalau-kalau isterinya dianggap sebagai pekerja ilegal. Ia juga marah-marah, merasa tercoreng martabatnya, ketika tahu Martini sering mengamen.

Hari ketiga, Parjo mencoba menelepon lagi. Diperoleh kabar, Ceciel sedang ke luar negeri. Di bagian lain, diperlihatkan Ceciel naik mobil, dan... menabrak Martini, yang ternyata masih nekat pergi mengamen.

Di sinilah lubang besar menganga. Tanpa penjelasan memadai, kita langsung diangkut ke masa "sesudahnya" -- entah berapa minggu atau berapa bulan sesudah peristiwa kecelakaan itu. Parjo sekeluarga -- minus Martini -- diperlihatkan sudah menempati rumah yang lebih permanen dan mengenakan pakaian yang lebih apik. Apa sebenarnya yang telah terjadi? Kita dipersilakan untuk mengira-ngira sendiri. Flashback hitam-putih yang tersisip hanya mengulang adegan yang sudah penonton saksikan, tidak memberikan informasi baru yang diperlukan untuk menjembatani "tiga hari" dan "sesudahnya" itu.

Bagaimana ini, Mas Adi? Masa kita mesti mencari informasinya di luar film (saya mendapat "bocoran" dari Mbak Upik dan Mbak Titik)? Menurut saya, ada dua alternatif untuk menutupi lubang ini. Pertama,tentu saja, menambahkan sejumlah adegan penghubung. Pilihan kedua, memangkas ending-nya, dan menjadikan film ini berplot terbuka. Bisa saat Martini tertabrak. Atau, saya rasa yang ini lebih puitis, saat kertas berisi nomor kantor Ceciel itu bergetar di samping pesawat telepon (saya berharap kertas itu akan tertiup angin, lalu terbang melayang-layang seperti bulu dalam Forrest Gump).

Teknis. Digarap dengan handycam (ralat dari mas sutradara: XL-1 camera standard brodcast), terasa keterbatasan sudut pengambilan gambar. Sebagian besar gambar tersaji dalam long dan medium shot. Dua dialog panjang antara Parjo dan Tiwuk dipotret dalam two-shot dengan kamera yang nyaris tidak beranjak. Dalam adegan Parjo makan di warung timlo, wajahnya tampak gelap, sedangkan latar belakangnya (kain tenda warung) terang benderang menyilaukan. 

ParjoTentu saja terlihat pula upaya-upaya Adi untuk menyiasati keterbatasan ini. Film ini dikemas dalam paralell editing yang cukup rapi. Saya suka, misalnya, adegan awal ketika Parjo mengamati baju di jemuran orang, lalu fade in, dan gambar beralih pada baju yang tengah dicuci Tiwuk. Dengan peralatan lebih canggih rasanya akan bisa seindah peralihan dari keping salju ke bunga musim semi ke wajah Lara dalam Dr. Zhivago.

Ya, film ini tak ayal mengundang sejumlah perbandingan. Pembukaannya, selayang pandang kota Solo, mirip Three Seasons yang ber-setting di Hanoi itu (atau pembukaan video pernikahan... hahaha, guyon, Mas, aja dilebokne ati!). Adegan Martini berangan-angan naik sepeda dengan ayahnya, apalagi kalau tidak menerbangkan ingatan pada Children of Heaven? Dialognya, yang leluasa blusak-blusuk antara bahasa Indonesia dan bahasa Jawa dialek Solo, membuat saya seperti sedang menikmati acara mBangun Desa di TVRI Yogya, hanya saja kali ini tanpa pitutur Pak Bina.

Para pemain tampil apa adanya, meski ada sejumlah kecanggungan, atau malah gerak tubuh yang terasa teatrikal. Dalam hal casting, menurut saya pemeran tokoh Martini kurang pas. Ia lebih mirip anak priyayi yang ayu dan kopen daripada pengamen jalanan, anak pemulung yang terbelit utang.

Kesan dan Pesan. (Wah, malah jadi Pak Bina, nih!) Indonesian Film Misrepresents the Country's Everyday Life. Begitu judul sebuah artikel di website Tampere Film Festival 2002, mengutip pendapat antropolog Amerika, Karl Heider. Kalau sinetron juga tercakup, rasanya pendapat ini makin valid saja.

Dalam konteks inilah, film Adi ikut menawarkan kesegaran: ia tanpa rikuh memotret "wajah asli" masyarakat kita. Saya ambil satu contoh. Simak bagaimana Parjo dan Tiwuk menghadapi para penagih utang: Hanya dengan mengandalkan kefasihan bersilat kata! (Bukankah keadaan di "eselon atas" juga setali tiga uang?) Lalu, kendatipun happy ending, ada ironi menyentil di adegan akhir itu. Setelah berhasil melunasi utangnya, isteri Parjo akhirnya mengangguk ketika ditawari perhiasan dengan kelonggaran mengangsur sepuluh kali.

Akhir kata, film ini memperlihatkan Adi punya mata dan telinga yang lumayan jeli merekam situasi dan kondisi masyarakat sekitarnya. Sebuah modal yang berharga untuk menelurkan karya-karya yang jujur. Tak tunggu garapanmu berikutnya, Mas Adi! ***

P.S.
Saya mencoba membaca pula film ini sebagai simbolisasi rohani. Perhatikan: Ceciel -- kenapa dia mesti repot-repot menuliskan nama dan nomor telepon kantornya, bukannya langsung memberikan kartu nama saja?

Saya membacanya begini: Ceciel melambangkan anugerah, harapan, pertolongan "dari atas". Menulis menggambarkan perjanjian, sekaligus menggarisbawahi fakta historis bahwa keduanya benar-benar pernah bertemu (kalau kartu nama 'kan bisa saja ditemukan di jalan tanpa bertatap muka dengan pemiliknya). Upaya Parjo menelepon bisa disejajarkan dengan "berdoa dengan tidak jemu-jemu." Dilengkapi dengan sikap isteri dan teman-temannya, jadilah kisah Parjo ini mengingatkan saya pada sebuah kisah tua, yang konon ditulis sebelum Pentateukh, tentang seorang suami dan ayah bernama Ayub....

Yogyakarta, 15 Desember 2003

Home | Film Favorit | Email

© 2003 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1