Home | Film Favorit

Kwaidan

Sutradara: Masaki Kobayashi
Pemain: Rentaro Mikuni, Michiyo Aratama, Tatsuya Nakadai, Keiko Kishi, Kazuo Nakamura, Kan-Emon Nakamura

Film Jepang ini menyuguhkan empat kisah misteri dengan pendekatan khas budaya Timur. Film-film misteri Barat cenderung meragukan keberadaan dunia roh, memperlakukan alam roh sebagai intruder, untuk kemudian memunculkan sosok pembasmi hantu (ghostbuster) dan berupaya menyodorkan penjelasan "ilmiah" atas fenomena supranatural tersebut. Film ini menyambut jagading lelembut sebagai "tetangga sebelah", yang mestinya diperlakukan secara arif dan dengan penuh hormat.

Sebagaimana khasanah dongeng leluhur, kisah-kisah supranatural ini bukan sekadar dimaksudkan untuk menakut-nakuti, melainkan sedikit banyak mengusung pesan dan petuah tertentu. Para protagonisnya gagal menanggapi dinamika alam roh dengan semestinya, yang dapat ditafsirkan secara luas sebagai kegagapan berkomunikasi.

Kisah pertama, Rambut Hitam, bertutur tentang kesetiaan dalam pernikahan. Seorang samurai meninggalkan isterinya dalam kemiskinan ketika mendapatkan kesempatan untuk menikahi anak gadis orang kaya. Tidak perlu waktu lama baginya untuk menyadari betapa tak berharganya kekayaan dan kedudukan bila dibandingkan dengan cinta yang sejati. Ketika bertahun kemudian ia kembali ke rumah lamanya yang telah porak-poranda, sebuah kejutan mengguncangkan menantinya.

Perempuan Salju berbicara tentang integritas dan keteguhan memegang janji. Seorang tukang kayu bertemu perempuan salju pada malam berbadai yang menewaskan temannya. Perempuan itu memperingatkannya agar tidak menceritakan kejadian itu kepada siapapun. Ia kemudian menikahi seorang perempuan yang cantik dan baik budi -- dan tak kunjung menua. Siapakah sebenarnya perempuan ini? Dan apakah tukang kayu itu berhasil menahan bibirnya? Episode ini mengingatkan saya pada dongeng Jaka Tarub dan Anglingdarma.

Pemain biwa (sejenis siter) buta dalam Hoichi yang Tak Bertelinga, setelah sebuah pelajaran yang "berdarah", memutuskan untuk berdamai dengan alam roh melalui musik. Kisah berbingkai ini disisipi lukisan-lukisan Jepang bercorak klasik.

Kisah terakhir dengan cerdik memotret betapa tipisnya batas antara khayalan dan kenyataan, antara fiksi dan fakta. Di Dalam Cangkir Teh, juga sebuah cerita berbingkai, memaparkan sebuah cerita yang tak selesai: seorang prajurit "meneguk" bayangan orang yang muncul dalam cangkir tehnya dan kemudian disatroni oleh orang dalam bayangan itu. Apa yang terjadi pada penulis lain yang berusaha merampungkan kisah ini?

Film yang tata adegannya antara lain mengadaptasi Kabuki dan teater boneka Bunraku ini memenangkan Special Jury Prize di Festival Film Cannes 1965. Latar tempatnya (seluruhnya direkam di studio) menakjubkan: indah, namun sekaligus amat wingit. Didukung pula dengan ilustrasi musik yang nglangut dan gerak pengisahan yang bagaikan langkah-langkah khidmat seorang puteri berkimono. Mencekam. *** (4/9)

Home | Film Favorit | Email

© 2003 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1