Home | Film Favorit

November 1828

Sutradara: Teguh Karya
Pemain: Maruli Sitompul, Yenny Rachman, Slamet Raharjo, El Manik, Sunarti Rendra, Rahmat Hidayat.

Sekitar dua dasawarsa lalu, aku berulang-ulang milang-miling menatapi poster November 1828, yang selama berbulan-bulan dipajang di etalase bioskop kecamatanku. Namun, sampai gedung itu dikembalikan fungsinya sebagai Balai Desa, film ini tidak pernah diputar di Ngadirejo.

Seingatku, hanya satu film Teguh Karya yang sempat kutonton di bioskop, Di Balik Kelambu. Aku masih SMP, dan belum paham maksud adegan jempol kaki Slamet Rahardjo menggoyang-goyang boks tempat tidur anak bayinya. Lainnya aku nonton sepenggal-sepenggal di teve. Yang utuh hanya drama teve (aku lupa, waktu itu sudah disebut sinetron atau belum) Pulang, yang bintangnya antara lain Didi Petet.

Kini, seperempat abad setelah diproduksi, November 1828 dirilis dalam format VCD. (Kuharap film-film "klasik" Indonesia lainnya menyusul. Kalau U.S. National Film Registry mengoleksi The Great Train Robbery, masih adakah salinan Loetoeng Kasaroeng di Sinematek Indonesia?)

Kisah film ini berlatar perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap Belanda. Namun, alih-alih menampilkan sosok kharismatis ini, Teguh Karya memilih menyoroti peran wong cilik dalam perjuangan tersebut. Tepatlah pula kalau ia membesutnya dengan gaya yang mirip teater rakyat, dalam hal ini ketoprak.

Di TVRI Yogyakarta, yang secara teratur menyiarkan pertunjukan ketoprak, penonton dapat menyimak tiga format pertunjukan. Ada lakon panggung yang direkam; ada yang digarap di studio teve; ada pula yang, seperti film bioskop, shooting-nya on location. Olahan Teguh ini tergolong format yang ketiga -- tentu saja dengan kualitas penggarapan yang jauh lebih canggih.

Dari segi pemeran, film ini dipenuhi oleh, meminjam istilah orang-orang kampungku, "pemain-pemain watak" alias aktor-aktor serius yang aktingnya jaminan mutu. Maruli Sitompul, yang tentunya orang Batak, luluh menjadi Kromoludiro yang sangat Jawa. Slamet Raharjo dan El Manik beradu akting sebagai dua perwira Indo berseberangan watak -- adegan-adegan yang memajang keduanya terasa amat intens. El Manik diganjar Piala Citra sebagai Pemeran Pembantu Pria Terbaik.

Masih ada lagi Yenny Rachman, yang parasnya terlalu ayu sebagai gadis dusun, namun tetap patut diacungi jempol karena berhasil memancarkan kesedihan yang tidak cengeng. Sunarti Rendra menunjukkan penjiwaan yang matang, khususnya saat bermonolog menyayat di depan arwah Kromoludiro. Patut dicacat pula Sardono W. Kusumo yang tampil teatrikal sebagai Bambang Sableng. Adapun bagi Herman Felani, ini penampilan pertamanya di film, sebelum kemudian menjadi bintang remaja populer pada zamannya.

Jalinan kisah November 1828 sederhana saja. Kapten van der Borst, disertai pasukannya, berusaha mengorek informasi tentang lokasi persembunyian Sentot Prawirodirjo, tangan kanan Pangeran Diponegoro. Jayengwirono, seorang demang gila jabatan, memberitahukan bahwa Kromoludirolah yang mengetahui informasi tersebut. Kromoludiro pun ditangkap, ditawan di rumahnya sendiri, dan dengan berbagai upaya dipaksa membuka mulut.

Sepanjang proses interogasi dan mata rantai peristiwa yang ditimbulkannya, kita diajak menilik lebih jauh: bahwa di balik konflik antara Belanda dan rakyat Jawa ini sebenarnya berkecamuk konflik internal yang tak kalah dahsyat dalam diri tokoh-tokohnya. Film ini mengingatkan bahwa permusuhan (baca: peperangan) atau sikap agresif berlebihan terhadap orang lain seringkali merupakan ungkapan yang tak disadari dari chaos dan ketegangan dalam diri orang itu sendiri.

Kontras menarik diperlihatkan dalam sosok Kapten de Borst dan Letnan van Aken. Kapten de Borst disulut oleh ambisi pribadi. Ia gerah karena perwira lain yang lebih muda dari dia, nyatanya sudah meraih pangkat lebih tinggi. Alasannya gampang ditebak: mereka orang Belanda tulen, dia hanya seorang Indo. Sebaliknya, Letnan van Aken, yang juga seorang Indo, diam-diam bersimpati terhadap rakyat Jawa, dan menolak untuk menghalalkan segala cara.

Sentot PrawirodirjoKalau dicermati, pihak-pihak yang berkonflik secara frontal adalah para bawahan. Para atasan -- dalam hal ini Belanda dan Pangeran Diponegoro -- hanya berada di latar belakang. Di pihak Belanda, sebenarnya bahkan tidak ada orang Belanda; hanya ada sejumlah perwira Indo dan yang lainnya adalah prajurit bayaran. Pangeran Diponegoro sendiri hanya diperbincangkan; yang muncul di layar adalah orang kepercayaannya, Sentot Prawirodirjo. Itu pun ia ditampilkan dalam citra mesianis: muncul pada detik-detik terakhir untuk memetik hasil perjuangan gotong-royong wong cilik.

Maka, ini memang kisah perlawanan wong cilik. Menariknya lagi, wong cilik ini pun ditampikan dalam wajah majemuk. Kalau Jayengwirono adalah pemimpin karena memiliki jabatan pemimpin, Kromoludiro adalah pemimpin karena orang segan pada keteguhannya memegang prinsip. Karto Sarjan dan anak-anak padepokan mewakili golongan agama, adapun Bambang Sableng dan rombongan jathilan-nya menggambarkan kaum seniman yang memakai seni sebagai alat perjuangan.

Saat mencoba mengkategorikan film ini, aku tersadar bahwa Teguh Karya telah memadukan berbagai genre secara piawai. Film perang, sudah jelas; namun ada pula unsur drama psikologis, percintaan (yang nyaris berkembang menjadi kisah cinta segitiga nan pelik), dan bahkan bumbu misteri ala film detektif. Simak saja tindak tanduk Jaduk. Sosok yang tidak banyak berbicara, namun cermat mengamati sekelilingnya, ini mencetuskan sejumlah tindakan cerdik dan penuh perhitungan -- bahkan sampai pada klimaks cerita.

Dalam ketoprak, dagelan adalah penyeling yang dinanti-nantikan. Selain untuk memancing tawa, guyonan yang dilontarkan tak jarang disisipi sindiran tajam. Dalam film ini, yang ketiban sampur menyegarkan suasana adalah Kopral Dirun dan Kopral Tukijo. Mang Udel dan Henky Solaiman menjalankan tugas dengan baik. Paling menohok celotehan mereka menjelang film berakhir.

Secara artistik, kualitas penggarapan film ini amat menawan. November 1828 memborong enam Piala Citra dalam Festival Film Indonesia 1979 di Palembang, termasuk sebagai Film Terbaik. Teguh Karya terkenal sebagai sutradara yang cemat memperhatikan detil. Kostum dan penataan artistiknya, ditunjang pula dengan musik latarnya, berhasil melontarkan kita ke masa silam.

Penataan adegannya juga mengagumkan. Selain peperangan pada bagian klimaks, adegan yang melibatkan para penari jathilan memperlihatkan koreografi yang rapi-jali. Adegan tarian Saminten Edan yang dijalin dengan pernyergapan terhadap Jarot mengalir secara memikat. Saat Ibu Kromoludiro dan Laras mengantarkan makanan ke pendopo, dengan dinding hujan di kiri-kanan mereka, suasananya benar-benar magis.

Kalau dibandingkan dengan sinetron laga-misteri yang menjamur di layar kaca, sungguh sedih, setelah 25 tahun, kita justru mengalami kemunduran. Kuduga, penyebabnya bukan karena awak perfilman sekarang kalah cakap menguasai teknologi. Sederhana saja, dalam situasi masih krisis begini, prinsip ekonomi benar-benar dikukuhi: bagaimana menghasilkan produk yang murah, namun toh laris manis alias cepat balik modal. Kualitas urusan belakang.

Yang cukup membuatku tercenung, kok bisa-bisanya film ini lolos sensor, mengingat Badan Sensor Film saat itu terkenal galak. Apakah mereka cuma membacanya di permukaan: oh, ini film patriotik tentang perjuangan melawan penjajahan Belanda? Padahal, bukankah film ini justru merefleksikan potret retak kita sendiri? Seperti disinggung tadi, di pihak pasukan Belanda, tidak ada orang Belanda tulen. Jadi, November 1828, astaga, sebenarnya berkisah tentang konflik di antara orang-orang Indonesia sendiri!

Lebih celaka lagi, film ini justru makin relevan dengan situasi dan kondisi bangsa kita. Di tengah-tengah hiruk-pikuk pesta demokrasi kali ini, cobalah simak kata-kata Kromoludiro: "Sebuah pademangan jika terdiri dari banyak maling akan membuat sebuah kabupaten tidak bisa berdiri. Sebuah kabupaten jika terdiri dari banyak maling tidak bisa membuat sebuah kepatihan berdiri. Sebuah kepatihan jika terdiri dari banyak maling tidak bisa membuat sebuah kesultanan berdiri kokoh. Jika penduduk sebagian besar terdiri dari maling, maka lebih baik pulau Jawa ini tenggelam ke dasar laut." *** (17/05/2004)

* Sebagian informasi diperoleh dari buku skenario Teguh Karya, November 1828, disunting dan diubah ke dalam bentuk master scenes oleh Bondan Winarno (Jakarta: Sinar Harapan, 1979).

Home | Film Favorit | Email

© 2004 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1