Home | Film Favorit

Italian for Beginners

Sutradara: Lone Scherfig
Pemain: Anders W. Berthelsen, Ann Eleonora Jørgensen, Anette Støvelbæk, Peter Gantzler, Lars Kaalund, Sara Indrio Jensen
Produksi: Denmark, 2002

Pada mulanya aku agak pening nonton film ini. Bukan karena terangkai tiga kisah cinta paralel yang sekaligus kait-mengait, melainkan karena gerak kameranya yang di sana-sini terlihat limbung.

Italian for Beginners adalah film yang dibuat di bawah payung Dogma 95, sebuah pendekatan pembuatan film yang dipelopori sutradara Denmark Lars von Trier. Semua film Dogma 95 harus, antara lain, direkam dengan kamera video, on location, dengan latar musik seadanya. (Pieces of April terinspirasi oleh pendekatan ini.)

Maka, kelimbungan gambar adalah salah satu keniscayaan. Namun, menilik jalinan kisah Italian for Beginners, hal itu juga bisa dibaca sebagai gaya penceritaan. Film ini menuturkan percintaan enam orang yang limbung, masing-masing mesti bergumul dengan suatu krisis dalam kehidupan pribadi mereka.

Keenam tokoh utama tinggal di sebuah kota kecil di Denmark, dan mereka satu per satu mengikuti kursus Bahasa Italia untuk Pemula. Andreas (Anders W. Berthelsen) adalah pendeta baru di gereja setempat. Enam bulan sebelumnya ia kehilangan istrinya, yang bunuh diri akibat gangguan mental. Karena pendeta lama (juga mengalami gangguan mental, diberhentikan karena mendorong pemain piano dari balkon) belum meninggalkan pastori, ia terpaksa tinggal di hotel. Di situ ia disambut dengan ramah oleh Jorgen Mortensen (Peter Gantzler), seorang desk manager. Sejak cedera saat berolah raga empat tahun sebelumnya, ia mengalami impotensi dan mulai putus asa, akankah ia menemukan wanita yang menggugahnya. Toh ia terpikat pada gadis cantik Italia, Giulia (Sara Indrio Jensen), seorang pelayan restoran. Manager restoran ini seorang pemuda bermulut pedas, Halvfinn (Lars Kaalund), yang kebetulan teman baik Jorgen. Ia tertarik pada Karen (Ann Eleonora Jørgensen), penata rambut yang disibukkan oleh ibunya yang sakit parah. Ada lagi Olympia (Anette Støvelbæk). Gadis penggugup ini telah pindah kerja sebanyak 43 kali akibat kegawalannya. Saat ini ia menjadi pelayan toko roti (ia mengganti kerugian atas setiap kerusakan yang dibuatnya), dan hidup dengan ayahnya yang galak. Gadis inilah yang jatuh hati pada sang pendeta baru. Jalinan tiga kisah cinta ini, dengan segala kembang-kempisnya, berpuncak dalam wisata para peserta kursus ke Venesia.

Tokoh-tokoh itu terasa hidup dan dekat secara emosional. Kita bisa memahami kegundahan mereka, dan barangkali kita pernah dihinggapi pergumulan serupa.

Favoritku adalah Andreas. Ia salah satu gambaran orang Kristen paling menyenangkan yang pernah kujumpai di film. Ia tidak seperti malaikat, namun juga tidak ditampilkan secara sinis atau karikatural (bandingkan dengan orang-orang Kristen dalam Chocolat). Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, rasanya menyenangkan punya pendeta seperti dia. Dia tidak berusaha menyuapkan jawaban, cukup memberikan lampu yang menuntun orang untuk menemukan sendiri. Perhatikan bagaimana ia menanggapi Jorgen, yang berkonsultasi soal impotensinya, di tepi kolam renang. Atau, ketika ia menghibur Olympia yang baru saja menjatuhkan roti dan telur dari rak. Dalam konfrontasinya dengan pendeta lama, kita bisa melihat sikap imannya.

Kondisi gerejanya sendiri membikin trenyuh. Begini to keadaan gereja di sebuah negeri pasca-Kristen. Kebaktian bisa dibatalkan bila pengunjung kurang dari tiga orang. Ada pula keluarga yang keliru jadwal menghadiri upacara pemakaman. Baru pada saat Natal gereja terisi penuh. Beberapa jam sebelumnya, aku membaca artikel "What's a significant ministry?" Hm, apakah Andrea pernah mempertanyakan signifikansi pelayanannya?

Hubungannya dengan Olympia bisa disebut sebagai percintaan yang rasional, penuh perhitungan. Andreas, selain masih bergumul dengan kepergian istrinya, juga gelisah dan mencari kepastian dalam pelayanannya. Di sisi lain, Olympia sempat bertanya pada Karen, "Berapa lama orang yang baru berduka atas meninggalnya orang yang dia kasihi bisa jatuh cinta lagi?" Olympia tampak rapuh dan tak berdaya, namun sekaligus menyemburatkan potensi kekuatan dan ketangguhan.

Jorgen dan Giulia juga menampilkan kedewasaan dan kehati-hatian tersendiri. Jorgen mengikuti kursus bahasa Italia, apa lagi kalau bukan ingin lebih memahami latar budaya wanita dambaannya. Giulia memahami keresahan dan kecanggungan pria separuh baya ini, dan ia berulang-ulang berdoa kepada Perawan Maria untuk membuka jalan. Adegan yang melibatkan mereka berdua berlangsung manis, misalnya saat Jorgen memuji potongan rambut baru Guilia. Yang paling mengesankan saat Jorgen, yang tak kunjung fasih berbahasa Italia, nekat meminang Guilia dengan bahasa Denmark.

Percintaan antara Halvfinn dan Karen bisa dibilang percintaan yang emosional. Karena berbagai sebab, tiga kali Karen batal memangkas rambut Halvfinn, hanya sempat mengeramasnya. Ganjil, Halvfinn tampak tak berkutik dan lebih banyak bungkam saat berhadapan dengan Karen. Bahasa mereka adalah bahasa sentuhan, bahasa seksual. Hubungan semacam ini gampang korsleting. Namun, kita juga memperoleh sebuat potret pengampunan apik dari hubungan mereka. (Jadi ingat lagu yang dinyanyikan Veri AFI, Arti Mencinta, yang katanya "ada salah, tapi juga maaf… marah, tapi merindu." Begitukah?)

Kursus itu sendiri mewakili suatu kesempatan baru bagi mereka. Mereka disembuhkan dari krisis lama untuk menghadapi tantangan baru dan pergumulan baru. Yang terpenting, sepanjang proses itu, mereka menemukan kasih, pengampunan, penghiburan dan penguatan.

Lone Scherfig membubuhkan pula sejumlah kejutan dan guyonan. Kejutannya, termasuk "anugerah" yang memungkinkan mereka berangkat ke Italia, lebih baik Anda temukan sendiri dengan menontonnya. Guyonannya, bolehlah kuceritakan satu. Untuk membangun hubungan dengan Guilia, Jorgen bertanya pada Halvfinn, apa bahasa Italianya "Kita akan pergi ke mana?" Halvfinn malah melontarkan pertanyaan itu kepada seluruh kelas. Olympia, yang baru saja mengusulkan liburan ke Italia, langsung menjawab, "Ke Venesia." Oh, ho-ho.

Persyaratan lain Dogma 95 yang memperkuat film ini adalah make-up-nya yang tidak menor. Tokoh-tokohnya tampil alamiah dan, seperti kukatakan tadi, menggugah kedekatan emosional. Mirip dengan selebritis Yogya. Kalau nonton kemolekan dan kegantengan selebritis Jakarta di sinetron-sinetron mewah, kita memang terpesona, namun juga tersadar, mereka itu bintang, pesohor, sedangkan kita ini cuma orang-orang biasa. Sebaliknya, kalau melihat Den Baguse Ngarso atau Yu Beruk tampil di layar kaca, rasanya seperti paklik atau budhe tetangga sebelah kebetulah muncul di televisi untuk menghibur kita. (Kalau singgah ke Yogya, sempatkan nonton siaran teve lokal. Anda akan tahu apa maksudku. Kalau masih susah juga membayangkannya, ya kira-kira kayak Rieke Dyah Pitaloka cs. di Bajaj Bajuri.)

Aku juga terkesan oleh closing credit-nya. Lagi, gara-gara Dogma 95, yang juga mengharamkan elaborasi teknologi canggih, rangkaian kartu bertulisan tangan, ditutup dengan kartu pos bergambar pemandangan Venesia, itu terasa segar. Bravo!

Kalau pada awalnya aku merasa pening, saat film ini berakhir, pengin rasanya aku ikut kursus Bahasa Italia bersama mereka. Seperti sering dilontarkan Cipto, seorang teman di milis, love is in the air. *** (05/07/2004)

Home | Film Favorit | Email

© 2004 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1