Home | Film Favorit

The Hours

Sutradara: Stephen Daldry
Pemain: Nicole Kidman, Julianne Moore, Meryl Streep, Ed Harris, Stephen Dillane, John C. Reilly.

Deretan pemainnya menyilaukan. Baca saja. Nicole Kidman. Julianne Moore. Meryl Streep. Ed Harris. Stephen Dillane. John C. Reilly. Keenam-enamnya, kalau menilik jalinan kisah, adalah pemeran utama. Para pemeran pendukungnya juga bukan bintang kacangan. Pertanyaannya: adakah bakat-bakat besar ini akan terpadu secara cantik dan kinerja mereka terolah optimal?

Mereka dipasang dalam film yang bisa diperas sebagai statistik: tiga wanita, tiga masa, tiga tempat. Ketiganya dihubungkan oleh sebuah novel, Mrs. Dalloway. Wanita pertama, Virginia Woolf, adalah penulisnya; wanita kedua membacanya; wanita ketiga punya nama depan sama dengan nama depan protagonis novel itu, dan ada yang menjulukinya "Mrs. Dalloway." Ada tiga usaha bunuh diri; dua berhasil, satu batal. Kisah pertama berdasarkan riwayat nyata. Dua tokoh dalam kisah kedua, muncul kembali dalam kisah ketiga.

Ya, ada tiga cerita dalam film ini. Stephen Daldry (Billy Elliot) tidak merangkainya dalam bentuk antologi, namun dalam gaya penyuntingan paralel yang teranyam amat rapi. Aku terkesima oleh kemulusan flashback pertama dalam Lone Star; seperti itulah peralihan adegan dari cerita yang satu ke cerita yang lain di film ini: tidak ruwet, namun malah saling menyelusup, rapi jalin-menjalin. Lebih penting lagi, tidak sia-sia memajang seabreg bintang kawakan: meski hanya Nicole yang menyabet Oscar di ajang Academy Awards ke-75, namun masing-masing pemain bersinar secara cemerlang.

"Pagi ini Mrs. Dalloway ingin pergi membeli bunga sendiri," begitu kalimat pertama novel Mrs. Dalloway. Kalimat ini dapat dianggap sebagai benang merah film ini -- bila penekanannya pada kata SENDIRI, dan 'bunga' menyimbolkan 'kebahagiaan atau kepuasan hidup.' The Hours memotret upaya tiga orang wanita dalam mengejar (ya, 'membeli'!) kebahagiaan atau kepuasan hidup. Sayangnya, keputusan-keputusan yang mereka ambil menjadikan film yang dikemas secara indah ini seperti serangkaian elegi menyayat hati.

Kisah pertama: Virginia, yang berbakat cemerlang sebagai penulis, didera oleh serangan depresi, suara-suara di kepalanya, cinta yang mendalam, namun sekaligus konflik dengan suaminya, Leonard. Akhirnya, ia memutuskan bunuh diri. Kita mungkin tidak menyetujui pilihannya ini, namun kita dapat memaklumi alasannya: melepaskan diri dari kegilaan, membebaskan sang suami dari kewajiban mengurusnya. Dengan begitu, ia merasa paling tidak telah mengurangi jumlah orang yang menderita dari dua menjadi satu.

Julianne Moore sebagai Laura BrownKisah kedua: Laura Brown, isteri dan ibu yang tengah hamil anak kedua. Suaminya, Dan, pria yang baik, namun tidak peka akan ketidakbahagiaan isterinya, yang merasa terperangkap dalam peran sebagai ibu rumah tangga. Lebih rumit lagi, Laura merasakan ketertarikan pada sesama wanita, seorang sahabat yang mewakili sosok yang dia impi-impikan. Terinspirasi oleh novel Mrs. Dalloway, ia nyaris bunuh diri, dan kemudian mengambil keputusan yang tak kalah memilukan, menuruti kata hatinya.

Kisah ketiga: Clarissa dan Richard sempat menikah, kemudian bercerai, dan masing-masing memilih menjalani kehidupan homoseksual, namun tetap bersahabat. Saat Richard terkena AIDS, Clarissa merawatnya. Di permukaan seperti sebuah kepedulian tanpa pamrih. Namun, sebenarnya, ia sendiri membutuhkan kehadiran Richard untuk menghidupkan kenangan kebahagiaan yang tak ingin dia tepiskan. Dan Richard tampaknya merasa bahwa dirinya dimanfaatkan. Makanya, pagi itu ia melontarkan pertanyaan telak, "Apakah kau marah kalau aku mati?"

Begitulah, ketiga wanita tadi berupaya mengejar kebahagiaan menurut cara mereka sendiri.  Ada yang merasa harus menjadi juru selamat; ada yang malah menyakiti dan membuat orang lain menderita. Saat hubungan heteroseksual tidak lagi memuaskan, mereka mencoba hubungan homoseksual.

(Catatan: Homoseksualitas sebenarnya bukan unsur yang menonjol dalam film ini, namun penyampaiannya terhitung sumbang. Disiratkan, hubungan homoseksual lebih stabil, lebih memuaskan, daripada hubungan hoteroseksual. Kalau mau jujur, hubungan antarmanusia yang mana pun berpotensi konflik, karena kita adalah makhluk-makhluk egois. Hubungan antarmanusia adalah dasar yang rapuh bagi pencarian kebahagiaan hidup.)

Mereka mungkin sempat mengecap kebahagiaan, namun pada titik tertentu, mereka gawal -- karena pencarian mereka masing-masing sebatas pada hubungan antarmanusia. Mereka kurang jauh menggerapai. Mereka tidak menemukan sukacita.

Dalam salah satu kesempatan pemahaman Alkitab, dibahas perbedaan antara kebahagiaan (happiness) dan sukacita (joy). Kebahagiaan bersifat sementara, dan ditentukan oleh keadaan sekitar. Adapun sukacita lebih kokoh dan lestari karena beranjak dari keasadaran akan kasih tanpa syarat (agape) -- kesadaran bahwa kita dihargai, disukai dan diterima apa adanya, bahwa kita leluasa untuk menjadi diri kita sendiri.

Tiadanya unsur sukacita inilah yang menjadikan The Hours seperti lagu bernada minor. Tidak ada gambaran kasih tanpa syarat. Tidak ada figur Kristus. (Yang mendekati mungkin Leonard, yang berusaha sedapat mungkin menolong Virginia, namun malah ditampik.)

Virginia sempat mengatakan, "Seseorang harus mati, agar kita yang lain dapat lebih menghargai kehidupan." Ah, seandainya Virginia tahu bahwa 'seseorang' itu bukan dirinya: ia tak perlu menenggelamkan diri di sungai karena sudah ada Satu Orang yang mati bagi semua orang.... *** (20/05/2004)

Home | Film Favorit | Email

© 2004 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1