Home | Resensi Film

Kill Bill, Vol. 1 & 2

Pertobatan Itu Proses Berdarah-darah

Bill and The Bride

Quentin Tarantino konon sempat menyesal karena membelah Kill Bill menjadi Vol. 1 dan Vol. 2. Bila dirilis sebagai satu film, akan lebih besar kans Uma Thurman masuk dalam bursa nominasi Oscar. Benar saja. Meski Golden Globes menominasikan Thurman (Pemeran Utama Wanita) dan David Carradine (Pemeran Pendukung Pria), anggota Academy Awards selama dua tahun berturut-turut sama sekali tidak melirik film keempat QT ini. Yang jelas dia tetap bisa nyengir senang karena menangguk untung dua kali untuk sebuah film yang disyuting sekali jalan.

Yang menarik dipertanyakan: QT berniat membikin film elok atau bernafsu meraih profit ganda? Adakah Kill Bill memang "wajib" disajikan dalam dua tahap, atau sebenarnya bisa dipangkas dan dipadatkan menjadi satu film belaka?

Film adalah pergulatan antara teknik dan gagasan. Teknik piawai, namun gagasan dangkal atau tak jelas juntrungannya -- kita serasa menonton pertunjukan sirkus. Gagasan hebat, namun teknik kedodoran -- film-film semacam itu cenderung jatuh menjadi khotbah atau ceramah. Film utamanya memang untuk hiburan. Namun, kepaduan antara teknik dan gagasan itulah yang menentukan, entah nantinya ia berkembang menjadi hiburan dengan H besar entah sekadar hiburan kopong.

Bagaimana dengan Kill Bill? Vol. 1 membelalakkan mata, sebuah tontonan akrobat serba memikat, namun benang ceritanya begitu tipis, dan terpenggal di tengah jalan pula. Sajian akrobat jauh berkurang di Vol. 2, yang memberi ruang lebih lapang pada pengembangan karakter, lengkap dengan pelintiran kisah yang menggedor hati. Vol. 2 bisa berdiri sendiri, namun alangkah bagusnya kalau Vol. 1 disarikan, diambil bagian-bagian terbaiknya, dan dipadukan sebagai latar belakang yang mengutuhkan kisah film ini.

Menyebut Vol. 1 memikat rasanya akan mengundang protes sebagian orang -- mereka yang jengah dengan adegan kekerasan. Vol. 1 memang keras, sangat keras -- salah satu film paling penuh dengan kekerasan -- dan pantas dihindari oleh mereka yang jantungan atau lagi hamil.

Berbeda dengan kekerasan hiper-realistik dalam The Passion of the Christ, Vol. 1 menampilkan kekerasan ala komik atau video game. Dan, mesti diakui bahwa QT membesutnya secara artistik dan penuh gaya. Dua bagian terasa amat istimewa. Pertama, animasi bergaya komik Jepang yang menuturkan riwayat O-Ren Ishii. Kedua, pertarungan antara The Bride dan O-Ren Ishii. Duel berlangsung di taman Jepang yang hening dan bersalju, The Bride berpakaian ala Bruce Lee, O-Ren berkimono elegan, lalu menyusup musik latar yang out of place (dari Meksiko?), namun toh padu-padan dengan keseluruhan suasana.

Sayang, QT juga seperti bocah bandel yang keasyikan dan kelamaan main video game-nya. Harusnya ia dan editornya mau bersusah-payah, sudi membuang bagian-bagian yang berlebihan, dan cukup menyuguhkan satu film Kill Bill saja.

Vol. 2 nyaris serasa film dari dunia lain, hanya dengan tokoh-tokoh dan cerita yang melanjutkan Vol. 1. Memang, Vol. 1 adalah stilisasi genre kung-fu, sedangkan Vol. 2 mengacu pada genre Western (sang protagonis sempat dicemooh sebagai cow-girl oleh lawannya). 

Masing-masing menyisipkan bintang tamu yang lumayan mencuri perhatian. Di Vol. 1 ada Sonny Chiba, si pembuat pedang mahatajam ("Kalau di perjalanan kau bertemu Tuhan, Tuhan pun akan tertebas"). Di Vol. 2 ada Gordon Liu, sang empu kung-fu yang perannya dapat dibandingkan dengan Yoda.

Meskipun tak segencar Vol. 1, Vol. 2 juga memamerkan sejumlah adegan laga seru. Baku serang The Bride versus Elle Driver berlangsung cepat di sebuah ruangan sempit, dengan akhir yang membetot saraf -- penonton bisa tercekik ngeri atau malah terkikik geli karenanya.

Bagian paling indah di Vol. 2, segmen hitam-putih memaparkan pembantaian di Two Pines, mengingatkan pada Once Upon a Time in the West. Bill berseruling, mengikuti Pria Berharmonika dalam film Sergio Leone itu.

Dari Vol. 2 inilah kita bisa berbicara tentang cerita yang utuh, lengkap dengan tokoh-tokoh yang unik, dan pelintiran kisah yang menyentak. Kill Bill memanfaatkan materi cerita yang primitif: pembalasan dendam. Kisah-kisah bermotif balas dendam biasanya melambangkan pertarungan antara kebajikan dan kejahatan. The Bride, protagonis film ini, menempuh jalan balas dendam guna melepaskan kehidupan lama yang jahat dan menyongsong kehidupan baru yang mengandung pengharapan akan kebajikan.

Titik balik itu dimulai ketika ia menyadari telah mengandung benih Bill. Bagi seorang pembunuh profesional, kehamilan mungkin saja dianggap gangguan, dan aborsi hanyalah suatu metode lain untuk membunuh. Nyatanya tidak bagi The Bride. Naluri keibuan, dan kesadaran bahwa sebuah kehidupan baru tengah bertumbuh di dalam rahimnya, kehidupan yang patut dijaga dan dipelihara, mengusik nuraninya. Ia pun memilih meninggalkan kehidupannya sebagai bandit, dan menikah dengan pria lain.

Bill tersinggung berat. Dunia lama, kehidupan lama, nyatanya memang tidak gampang ditepiskan begitu saja. Ia menggerapai, berusaha menjemba kembali, dan kalau perlu membantai. Begitulah. Bill menyuruh anteknya menghabisi The Bride. Persiapan pernikahan The Bride di sebuah gereja kecil di El Paso, Texas, akhirnya menjelma jadi ajang pembantaian sadis.

Bahwa The Bride ternyata punya nyawa rangkap -- kita bisa menyebutnya kebetulan, namun baiklah kita menyebutnya sebuah keajaiban. Sebuah mukjizat. The Bride hanya koma -- selama empat tahun -- dan begitu siuman segera menyusun rencana pembalasan dendam terhadap Bill dan kaki tangannya. Sampai suatu saat ia mengerti, anaknya ternyata lahir dengan selamat dan masih hidup -- dibesarkan oleh Bill. Akankah ini membelokkan rencananya?

Uma Thurman mantap sebagai The Bride, dengan rentang emosi mulai dari kepedihan hingga kebencian. Daryl Hannah sebagai Elle dan Lucy Liu sebagai O-Ren tampil dingin memukau. Yang istimewa justru David Carradine sebagai Bill. Sosoknya terkesan rapuh dan manis, tutur katanya lunak, namun lihatlah sorot matanya -- ada pijar kejahatan di sudutnya.

Dengan tampilnya protagonis perempuan bak Terminator, Anda boleh tergoda untuk mengorek-ngorek mitos feminisme tentang ibu perkasa, atau mengendus-endus bau Freudianisme. Perhatikan, misalnya, julukan bagi antek Bill: Deadly Viper Assassination Squad (DiVas), yang berkonotasi feminin. Anggotanya semuanya cewek, kecuali satu orang, itu pun seorang pria yang telah menyarungkan pedangnya. Namun, ketimbang tergelincir terlalu jauh karena tidak menguasai medannya, baiklah saya pilih tafsiran yang lebih longgar.

Pembalasan-dendam berantai yang ditempuh The Bride adalah perjalanan mengerat karakter-karakter lama yang menautkannya dengan dunia kejahatan. Menarik dicatat, mereka masing-masing, kecuali Bill, punya julukan yang mengacu pada nama ular -- binatang yang mewakili keculasan dan sifat-sifat buruk. Klimaksnya, The Bride harus berhadapan dengan Bill -- mantan atasan, kekasih, pria yang pernah bersatu tubuh dengannya, ayah anak perempuannya. Kill Bill, dengan demikian, mendedah pertobatan sebagai sebuah proses yang berdarah-darah.

Pada suatu titik The Bride berulang-ulang mengucapkan terima kasih. Kepada siapakah dia bersyukur? Kalau mau konsisten dengan tafsiran di atas, The Bride berterima kasih kepada Dia yang mengizinkan benih Bill tertanam di dalam rahimnya, sebagai sebuah restu untuk membuka lembaran kehidupan baru. Dengan begitu, sangat tepatlah julukan terakhir yang diterimanya -- sebuah julukan yang bukan mengacu pada masa lalunya, melainkan pada masa depannya. *** (31/01/2005)

KILL BILL, VOL. 1 & 2. Sutradara & Skenario: Quentin Tarantino. Pemain: Uma Thurman, Daryl Hannah, Michael Madsen, David Carradine, Lucy Liu, Vivica A. Fox. Asal/Tahun: AS, 2003-2004.

Home | Film Favorit | Email

© 2005 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1