Home | Film Favorit

The Guys

Sutradara: Jim Simpson
Pemain: Sigourney Weaver, Anthony LaPaglia
Tahun produksi: Focus Features, AS, 2003
Distributor Indonesia: Prime Movie Entertainment

Bukan kematian benar menusuk kalbu....
-- Chairil Anwar

Ini bukan kisah yang dipaparkan dalam tiga babak. Bukan pula hiburan (entertainment) yang mengajak kita bertepuk tangan memihak sang hero. Film ini lebih mirip sebuah renungan. Dan justru melipur (comforting) kita, dengan menampilkan hero yang lebih riil daripada kebanyakan hero yang biasa menghiasi layar perak. The Guys adalah eulogi intim dan menyentuh bagi para petugas pemadam kebakaran yang tewas dalam tragedi 11 September 2001.

Kisah berlangsung sekitar seminggu setelah Menara Kembar runtuh. Nick, seorang kapten pemadam kebakaran, kehilangan sejumlah anak buahnya. Ia diminta untuk menyampaikan pidato kematian -- empat orang di antaranya telah dijadwalkan misa pemakamannya.

Gagap, tak tahu bagaimana mesti merangkai kata-kata di tengah duka serba mencekam itu, ia mendatangi seorang penulis, Joan. Semula ia tampak enggan dan tidak siap, namun pertanyaan-pertanyaan lembut Joan pelan-pelan menuntunnya mengungkapkan rasa kehilangan dan kedukaannya.

The Guys diangkat dari drama panggung karangan wartawati Anne Nelson, yang menulis berdasarkan pengalamannya menyusun eulogi bersama dengan seorang kapten pemadam kebakaran sesungguhnya. Sigourney Weaver berperan sebagai Joan dalam pementasan awal, kadang-kadang berpasangan dengan LaPaglia sebagai Nick. Dalam film yang disutradarai suami Weaver, Jim Simpson, ini keduanya tampil sebagai pemeran utama.

Jim Simpson tetap mempertahankan suasana panggung itu dengan memotret sebagian besar adegan di apartemen Joan, dengan hanya menampilkan kedua pemeran utama. Untunglah, Weaver dan LaPaglia dapat diandalkan. Kita tersedot ke dalam pergumulan mereka untuk mencurahkan rasa simpati dalam bentuk pidato singkat yang menunjukkan penghormatan, ketenangan dan keseimbangan, tanpa kehilangan sense of humor -- di tengah tragedi sedahsyat itu. Saat-saat mereka terdiam, acap kehilangan kata-kata, mengantarkan kita ke relung perenungan yang hening.

Kamera memang terfokus pada Nick dan Joan, namun seiring dengan itu kita juga terpapar secara intim pada sosok empat-lima petugas pemadam kebakaran yang tidak pernah muncul di layar: Bill, Jimmy, Patrick, Bernie (dan Dave, mitra Bernie). Sepanjang 88 menit kita serasa jadi tetangga sebelah mereka, mengingat saat-saat terakhir dalam hidup mereka, sambil berusaha mengenang hal-bal baik dalam pribadi mereka.

Luka dan kepedihan itu jelas masih sangat baru bagi Nick. Semuanya terasa campur aduk. Ia tampak gagap dengan sebutan "pahlawan" yang mendadak dilekatkan pada mereka. Bill, misalnya, bukanlah sosok yang akan menarik perhatian bila memasuki suatu ruangan. Ia tercekat saat mengenang Jimmy, petugas baru, yang wajahnya saja ia tidak mampu mengingatnya. Ia juga termangu saat mengisahkan Bernie dan Dave, yang pagi itu sebenarnya sedang tidak bertugas, namun memutuskan untuk pergi saat kertas-kertas berhamburan memenuhi jalan di depan pangkalan mereka.

Joan sendiri pada mulanya menyalin kisah Nick hampir kata demi kata. Namun dalam eulogi berikutnya, kekurangtepatan mulai menyelinap, penafsiran Joan mulai mewarnainya, namun Nick membiarkannya. Sebagai penulis, ia merasa menemukan celah untuk berkontribusi dalam musibah yang meluluhlantakkan lingkungannya. Kunjungan singkat ke pangkalan pemadam kebakaran menjadi sebuah pertemuan mengharukan.

Salah satu adegan memikat adalah saat Nick menyentuh tangan Joan dan bertanya, "Are you okay?" Ini mengawali solilokui tentang kepedihan dan tragedi, tentang relasi kita satu sama lain, tentang pertanyaan-pertanyaan tak terjawab yang kita lontarkan pada Tuhan. Film ini tidak berusaha menyodorkan jawaban, dan memang tidak perlu. Kegundahan yang jujur dan terbuka nyatanya sudah merupakan kelegaan tersendiri.

Pilihan Jim Simpson untuk tidak mendramatisasi The Guys sangat jitu. Selain percakapan Joan dan Nick, hanya ada selingan kunjungan ke pangkalan tadi, kunjungan ke bar, adegan di kereta bawah tanah, sedikit latar belakang Joan dan keluarganya, serta footage hitam-putih di depan pangkalan pemadam kebakaran pada pagi bersejarah itu. Film juga banyak diisi oleh monolog Joan, dan malah ditempeli title card ala film bisu. Namun, tidak ada footage runtuhnya menara atau flashback yang menampilkan sosok para pemadam kebakaran tersebut. (Konon, para produser Hollywood menyarankan bumbu percintaan antara Nick dan Joan. Bayangkan!) Mengelakkan pendekatan sensasional, The Guys berhasil menjadi meditasi yang menggugah.

Film alit ini juga mengingatkan aku pada The Last Days-nya James Moll. Bila Schindler's List berambisi memotret nasib sebuah komunitas dalam Holocaust, The Last Days cukup mengangkat narasi-narasi kecil tentang sejumlah "gadis berjaket merah". Sebagaimana The Last Days terhadap Holocaust, demikianlah The Guys terhadap Tragedi 11 September. Kecil, namun jujur, dan menukik jadi sebuah perenungan subtil. *** (08/11/2004)

Home | Film Favorit | Email

© 2004 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1