Home | Film Favorit

Mystic River

Sutradara: Clint Eastwood
Pemain: Sean Penn, Tim Robbins, Kevin Bacon, Marcia Gay Harden
Produksi: AS, 2003

Aku 'mengampuni' Unforgiven. Hatiku tersayat oleh A Perfect World. Namun, pelintiran ending pada Mystic River -- sebuah adegan yang melibatkan dua peraih Oscar, Sean Penn dan Tim Robbins -- betul-betul membikin aku marah.

The Sixth Sense mengelabui, dan kita justru terperangah gemas karenanya. The Silence of the Lambs secara ganjil menumbuhkan simpati kita pada si penjahat, Hannibal Lecter, dan keberhasilannya lolos membuat kita ikut merasa "lega." Namun, Mystic River mengkhianati.

Jimmy (Penn), Dave (Robbins) dan Sean (Bacon) adalah teman masa kecil. Penculikan dan pelecehan seksual atas Dave mengubah hubungan mereka. Saat besar, Jimmy sempat jadi napi, kini mengelola sebuah toko, hidup dengan istri kedua dan tiga anak; Dave, menikah dengan Celeste (Harden) dan dikaruniai satu anak, namun tak kunjung lepas dari trauma masa lalunya; Sean jadi polisi bagian pembunuhan, dengan rumah tangga yang gamang. Pembunuhan brutal atas Katie (Emmy Rossum), putri sulung Jimmy, mempertautkan kembali mereka bertiga.

Tentu saja mereka dengan gampang menyedot simpati kita. Tentu saja kita berharap pada akhirnya mereka akan menemukan titik terang. Namun, astaga, Clint Eastwood malah menjerumuskan mereka ke dalam kegelapan yang kian gelap.

Dalam The Godfather, Michael Corleone juga terjungkal ke sisi gelap. Hanya saja, Coppola telah membangun dunia mafia dengan siklus kejahatan yang tanpa putus dan tak terelakkan. Saat Michael menduduki kursi ayahnya dan menutup pintu terhadap Kay, kita tercekat. Bisa juga dibandingkan dengan Beth dalam Ordinary People. Sejak awal dilukiskan, ada selubung kepalsuan (baca: penyangkalan) pada sosok ibu yang kehilangan putra kesayangannya ini. Ketika akhirnya Beth "meledak", bukannya merendahkan diri mengakui kerentanannya, kita pun maklum adanya. Tidak demikian dengan Eastwood. Sejak awal hingga menjelang akhir, penonton digiring untuk berharap kabut itu nantinya akan tersibak. Namun, pada babak terakhir, ia menjungkirbalikkan meja, dan terkekeh secara brutal, "Pengharapan itu nonsense!"

Mystic River berambisi meramu misteri pembunuhan dan drama psikologis. Penonton disodori dua level pertanyaan sekaligus: siapa pelaku pembunuhan Katie dan bagaimana konflik psikologis para tokoh itu akan diuraikan.

Level misterinya, meski lumayan memancing rasa ingin tahu, namun terhitung gampang ditebak. Tudingan yang begitu gamblang kepada seseorang biasanya justru mengarahkan kita untuk menyimpulkan bahwa bukan tokoh itu pelakunya.

Penggarapan bagian-bagian pelacakan ini standar film detektif, kurang berisi. Akibatnya, terasa ada ketimpangan sewaktu disandingkan dengan konflik psikologis amat pekat di antara tokoh-tokohnya. Ya, di bagian drama inilah dibeberkan konflik yang berkembang dan membelit mereka selama sekian dekade, menjadi semacam bom yang tersumbat, siap meledak di dalam diri mereka masing-masing.

Di bagian inilah kita disuguhi akting memukau para pemainnya. (Dengan catatan, seandainya aku juri Oscar, Tim Robbins boleh tetap menyimpan pialanya, tapi Sean Penn mesti menyerahkannya pada Bill Murray, yang tampil lebih subtil di Lost in Translation.) Salah satu bagian yang menggigilkan adalah saat Dave menonton film vampir, lalu Celeste pulang dan melontarkan kecurigaannya. Ekspresi Robbins mencuatkan rasa terluka, rasa tertolak, ketakutan, tumpukan konflik yang tak kunjung terselesaikan.

Sampai di situ, Mystic River cukup menjanjikan. Di babak terakhirlah kurasa Clint Eastwood salah langkah. Konon, lebih baik membebaskan orang yang ternyata bersalah daripada menghukum orang yang ternyata tidak bersalah. Eastwood memilih yang belakangan dengan sebuah klimaks yang menonjok rasa keadilan.

(Spoilers possible) Adegan berikutnya, menjelang karnaval, pertemuan antara Jimmy dan Sean, krusial. Di situlah kita dicekoki jawaban, yang seolah memaksa kita untuk memaklumi pelintiran sadis sebelumnya. Kita jadi tahu: (1) Pemberitahuan Sean mengguncangkan Jimmy bahwa ia telah salah sasaran balas dendam; (2) Dave bisa jadi memang pantas menerima hukuman, bukan karena kejahatan yang dituduhkan dan terpaksa diakuinya, melainkan karena kejahatan lain yang masih disembunyikannya; (3) Sean mengendus pula sisi jahat Jimmy yang selama ini tersembunyi dengan rapi, yang menjelaskan kenapa Jimmy membenci Brendan (Thomas Guiry), pacar Katie.

Dengan penyelesaian semuram itu, film ini jadinya hanya memaparkan tema "upah dosa adalah maut. TITIK. BUNTU." Ia lupa (entah tidak tahu atau tidak mau tahu?) klausa sambungannya. Tidak ada secercah pun sinar pengharapan. Tidak ada penebusan. Sungguh ironis bahwa film ini berakhir di sebuah karnaval. Maka, di seputar karnaval itu, kita menyaksikan tokoh-tokoh yang, seperti kukatakan tadi, tergelincir ke sisi yang semakin gelap.

Jimmy. Bahasanya adalah pembalasan dendam dan main hakim sendiri. Kini ia harus menelan buah pahit ketergesaannya. Ia tampak lebih terguncang daripada ketika Katie tewas, dan Annabeth (Laura Linney), istrinya, melontarkan penghiburan beracun. Merebut kota? Raja? Walah, lha menguasai amarah saja tidak bisa, kok! Meskipun bergereja, rupanya terang dari rumah ibadah itu nyatanya tak mampu menembus hatinya yang segelap sarang tikus.

Celeste. Semula ia kuharap cukup tegar mendampingi Dave. Pahitnya, komunikasi yang selama ini terhambat secara parah akhirnya membuatnya memilih mencurigai suami sendiri. Kini pernikahan mereka tak tertolong lagi.

Sean. Di sini sebenarnya harapan itu bersinar. Istrinya, yang tengah mengandung anak mereka, kembali ke pelukannya. Namun, tunggu sebentar, ada ganjalan. Apa yang akan dilakukannya dengan mengetahui kebejatan Jimmy?

Dengan "menghukum" semua tokohnya, film ini benar-benar tenggelam ke Sungai Mystic. Atau, seperti Dave yang tak pernah merampungkan penulisan namanya di atas semen basah itu. Sebuah film yang kelam dan tanpa ampun. *** (01/08/2004)

Home | Film Favorit | Email

© 2004 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1