Pesta
perkawinan adalah upacara adat yang terpenting bagi orang Batak,
oleh karena hanya orang yang sudah menikah berhak mengadakan upacara
adat, dan upacara-upacara adat lainnya seperti manyambut lahirnya
seorang anak, pemberian nama kepadanya dlsb, adalah sesudah pesta
kawin itu. Tambahan lagi adapun pesta perkawinan dari sepasang
penganten merupakan semacam jembatan yang
mempertemukan DALIHAN NA TOLU
daro orangtua
penganten lelaki dengan DALIHAN NA TOLU dari
orangtua penganten perempuan. Artinya karena
perkawinan itulah maka DALIHAN NA
TOLU dari
orangtua penganten pria merasa dirinya berkerabat
dengan DALIHAN NA TOLU dari orangtua penganten
wanita, demikian pula sebaliknya. Segala istilah
sapaan dan acuan yang digunakan
oleh pihak yang satu
terhadap pihak yang lain, demikian pula sebaliknya,
adalah istilah-istilah kekerabatan berdasarkan
DALIHAN NA TOLU.
Apakah sebabnya demikian?
Perkawinan bagi orang Batak bukanlah merupakan
persoalan pribadi sauami-isteri melulu, termasuk
orangtua serta saudara-saudara kandung
masing-masing, akan tetapi merupakan ikatan juga
dari marga orangtua sisuami dengan marga oarangtua
siisteri, ditambah lagi dengan boru serta
hula-hula dari masing-masing pihak. Akibatnya
ialah kalau cerai perkawinan sepasang suami-isteri
maka putus pulalah ikatan antara dua kelompok tadi.
Kesimpulannya
ialah perkawinan orang batak haruslah diresmikan secara adat
berdasarkan adat DALIHAN NA TOLU, dan upacara agama serta catatan
sipil hanyalah pelengkap belaka. Perkawinan orang Batak yang hanya
diabsahkan dengan upacara agama serta catatan sipil boleh dikatakan
masih dianggap perkawinan gelap oleh masyarakat Batak dilihat dari
sudut adat DALIHAN NA
TOLU. Buktinya ialah apabila timbul keretakan
didalam suatu rumahtangga demikian, maka sudah pasti marga dari
masing-masing pihak tidak merasa ada hak dan kewajiban untuk
mencampurinya.
Dengan upacara agama serta catatan sipil boleh dikatakan masih
dianggap perkawinan gelap oleh masyarakat Batak dilihat dari sudut
adat
DALIHAN NA TOLU. Buktinya ialah apabila timbul keretakan
didalam suatu rumahtangga demikian, maka sudah pasti marga dari
masing-masing pihak tidak merasa ada hak dan kewajiban untuk
mencampurinya.
Di daerah perantauan pada umumnya dan di jakarta pada
khususnya masih diteruskan tradisi tentang pembagian
jambar-jambar dan juga masih digunakan istilah-istilah
seperti jambar pamarai dlsb. Supaya jelas itu semua
perlu kita sorot dulu latar belakangnya di bona pasogit
di zaman dulu sehubungan dengan perkawinan.
Sudah
di singgung sebelumnya mengenai peranan domu-domu (perantara)
di zaman dulu, biasanya boru di suatu kampung. Pertama
sekali tugasnya ialah menyampaikan lamaran seorang
pemuda kepada sang gadis pilihan hatinya. Selain para
perentara dari pihak orangtua si gadis ada juga dari
pihak si pemuda Perundingan mereka secara tidak resmi
dibelakang layar dinamai marhusip, artinya secara
harifah "berbisik", dengan tujuan menghindari
sedapat mungkin kegagalan pada waktu marhata sinamot,
yaitu perundingan secara resmi mengenai besarnya mahar.
Perundingan ini dilakukan di kampung tempat tinggal
orangtua siputeri. Untuk itu yang bicara adalah para
pengetua adat dari kedua pihak, yaitu pihak orangtua
sipemuda dan pihak orangtua siputeri tadi.
Sesudah
ada kesepakan mengenai besarnya mahar maka
beberapa utusan dari parboru, yaitu orangtua dari
siputeri, pergi maningkir labu ( baca: manikkir lobu ),
artinya mengunjungi rumah orangtua sipemuda sambil
melihat ternak yang akan menjadi mahar itu di dalam lobu
( kandang ). Disepakatilah harinya kapan ternak tadi,
atau ternak-ternak kalau lebih dari satu, akan
dihantarkan ke kampung parboru. Pada hari yang telah
ditentukan itu sudah bersedia para penghuni kampung
tersebut menantinya lalu membuka gerbang kampung itu.
Yang memasukkan ternak itu kekandangnya ialah salah
seorang saudara lelaki dari ayah siputeri; oleh karena
itulah ia dinamai pamarai, artinya "yang memasukkan
ke kandang ( bara )".
|