Suatu
desa merupakan suatu unit yang genealogis dan
teritorial. Sebagaimana kita ketahui para warga
desa diikat oleh hubungan darah dan merupakan
turunan dari suatu leluhur. Meraka pada umumnya
mempunyai marga yang sama, hanya sebagaian kecil
termasuk boru, dinamai boru na gojong atau boru di
ampuan (baca: boru di appuan), artinya"boru
di pangkuan". Daerah linkup satu desa tidak
hanya tanah perkampungan yang dikelilingi oleh
bambu itu, akan tetapi juga tanah di luarnya yang
dijadikan persawahan, tanah rumput yang masih
kosong, tanah hutan serta gunung kalau ada didekatnya. Orang masih tahu di mana kira-kira
perbatasan di antara tanah yang masuk wilayah desa
yang satu dan tanah yang masuk wilayah desa lain.
Sebagaian di antara tanah kosong itu ada yang
sudah dibagi-bagi di antara sejumlah warga desa,
tetapi ada yang masih tetap tanah ulayat, yaitu
penduduk hanya boleh mengelolah tanah itu untuk
memetik hasil dari tanam-tanaman yang diolah.
Sejarah
bagi orang batak adalah perkembangan suatu desa
dari masa ke masa. Hal ini erat hubungannya dengan
silsilah. Perasaan komunal tebal di kalangan
penduduk suatu desa. Dalam bahasa sehari-hari
tapak sekali hal itu. Misalnya selain padanan
kata-kata seperti "kampung kita"
dan"desakita" ada kata-kata yang unik
seperti jabunta (rumah kita), amanta (ayah kita),
inanta (ibukita), tulangta (paman kita) dalam
percakapan sehari-hari diantara orang-orang
semarga di desa itu. Untuk menyatakan perasaan
lebih akrab terhadap kemenakan misalnya maka
muncul kalimat seperti berikut "adakah kau
lihat ibumu?"Dalam
Bahasa batak ada ungkapan yang berbunyi RAP
PARANAK, RAP PARBORU. Arti ungkapan ini ialah
bahwa anak seseorang, baik lelaki maupun perampuan,
adalah anak bersama dari teman-teman semarga. Hal
ini menyangkut tanggungjawab, jadi seseorang tidak
memperhatikan anak kandungnya tatapi juga anak
dari saudara-saudara seayah, sekakek, kerabat
sekampung dan bahkan sedesa dan semarga. Tampak
sekali hal itu dalam upacara-upacara adat.
Oleh
karena adanya perasaan komunal itu diantara
orang-orang sekampung dan sedesa seolah-olah
mereka itu se ayah atau sekakek,maka mengambil
begitu saja bahan makanan tanpa izin untuki
keperluan mendesak, asal diberitahu segera,
tidaklah dianggap apa-apa. bahkan ada istilah
tangko raja ( baca: takko raja ), artinya "mencuri
untuk keperluan adat". kapan hal itu boleh
dilakukan? Seseorang tiba-tiba mendapat tamu dan
tidak ada padanya misalnya ayam atau babi untuk
disajikan menjadi lauk makanan, maka boleh saja
diambilnya ternak ayam atau babi milik orang
sekampung, walaupun pemiliknya tidak ada ditempat itu. Tentu saja hal itu diberitahu segera setelah
pulang pemiliknya, dan harga ternak tersebut
dibayar menurut harga yang ditentukan oleh para
tetangga. Kalau datang seorang kerabat ke rumah
seseorang di kampung tadi dan yang empunya rumah
sedang bepergian, maka tamu yang sedang lapar ini
boleh mengambil begitu saja makanan yang ada di
dapur, tetapi ia harus memberitahukannya kepada
tetangga sebelum ia pergi. Hal itu namanya akrab.
Begiru pula kalau ada terletak sirih di atas
lantai, lantas orang-orang yang duduk di
sekitarnya akan
mengambil sedikit untuk dimakan
tanpa permisi. Inipun namanya akrab. Karena
akrabnya digelari mereka itu sapanganan, artinya
makan dari "piring yang sama".
Dizaman animisme sebelum penjajahan, pembunuhan
yang untung jarang terjadi dan biasanya timbul
karena emosi pada umumnya diselesaikan secara
damai dengan makan bersama (marindahan sinaor) di
halaman kampung atau di lapangan terbuka. Usaha
mendamaikan itu biasanya tidak begitu sulit karena
orang batak merasa berkerabat sesamanya
berdasarkan DALIHAN NATOLU. Upacara makan ini
dihadiri oleh kerabat luas dari sitertuduh dan
kerabat luas dari sang korban. Peradilan
sebelumnya sifatnya terbuka, biasanya di pasar (ONAN)
dengan hak pada sitertuduh tadi untuk mengajukan
pledoi. Keputusan diambil oleh para pengetua adat
setelah mendengar keterangan para saksi kalau ada.
Orang yang tidak bisa tobat, hukumannya ialah
dipasung. Tidak dikenal hukum mati bagi orang yang membunuh.
Lain
halnya kejahatan memperkosa seorang wanita. Hal
ini tidak bisa dimaafkan, sipemerkosa harus
dibunuh, tidak lagi dianggap manusia. Menurut
hukum adat Batak adalah hak seorang petani
membunuh babi yang memakan padi sawahnya (babi
panunda) yang dianggap sama dengan babi hutan,
tanpa ada hak pemilik ternak itu menuntut rugi.
Demikian pula hak sang suami membunuh lelaki yang
tertangkap basa memperkosa isterinya si suatu
rumah di kampung itu, memperlakukan sipemerkosa yang jahanam sama seperti babi
hutan.
|