Seorang
pria yang sudah berkeluarga di Tanah Batak
perhatiannya sejak zaman animisme terjurus pada
tiga hal yang pokok dalam hidupnya, yakni
mempunyai sawah sendiri untuk diolah selaku petani,
mempunyai anak untuk diasuhnya menjadi
kebangaannya kelak, dan disamping itu tentu ingin
mempunyai rumah sendiri di kampung.
Herbert
Lintong Sitorus sejak semula berusaha ingin
mendirikan rumah sendiri di jakarta, demikian pula
puteranya Frans Sitorus yang kawin dengan
wanita jawa itu, serta puterinya yang kawin dengan
seorang pria dari marga Marpaung, dan akhirnya
satu persatu mereka itu berhasil juga mencapainya.
Pada
hari yang telah ditentukan, kebetulan pada hari
Minggu, keluarga Marpaung tersebut akan
memasuki rumah yang baru didirikannya itu secara
resmi dengan upacara adat yang melibatkan
DALIHAN
NA
TOLU
dari tuan rumah; nama pesta kecil itu
manuruk jabu. Sama seperti pesta-pesta lainnya
yang diadakan dirumah, di daerah rantau tidak ada
patokan sampai berapa luas kelompok-kelompok
kerabat yang boleh di undang. Dalam pesta
adat yang diadakan Keluarga Sitorus ini pihak tuan rumah
membatasinya , yaitu dari dongan sabutuha serta boru
yang akan hadir meliputi turunan dari yang kakek ayah
mereka bersaudara dengan kakek ayah tuan rumah. Itupun
kalau semua mereka yang ada di jakarta di undang akan
terlalu banyak, jadi secara marsuhu - suhu dan marnata
na sumolhot saja. Selain itu tidak lupa pula tuan rumah
mengundang para tetangga dan kerabat.
Tentu
saja sebagaimana biasa pihak hula-hula marga
Sitorus serta pihak hula-hula lainnya dari tuan
rumah membawa beras di dalam tandok ke pesta itu.
Pada saat pesta kawin dari tuan rumah itu tempo
hari pihak hula-hula marga Sitorus serta boru dari
marga itu merupakan satu kelompok yang membawa
boras sipir ni tondi, oleh karena ada dua pihak
pengundang, yaitu parboru dan paranak. Akan tetapi
dalam pesta manuruk jabu ini hanya ada satu pihak
pengundang, sehingga sudah sewajarnya pihak boru
dari marga Sitorus tersebut memberi tumpak, yaitu
sumbangan berupa uang, demikian pula semua
undangan lain dari tuan rumah yang tidak termasuk
hula-hula.
Sesudah
Doa sebelum makan bersama dari salah satu dongan
sabutuha dipihak tuan rumah, maka disuguhkanlah
oleh tuan rumah apa yang dinamai tudu-tudu
nisipanganon, yang dibalas oleh pihak mertuanya
dengan dekke sitio-tio disertai kata pengantar
juga seperti tuan rumah tadi. Selesai makan para
hadirin, maka diadakanlah acara marhata.
Berbarengan dengan itu, tatkala sampai pada acara
pemberian ulos dari pihak hula-hula, maka
hula-hula marga Sitorus bangkit menghampiri tuan
serta nyonya tuan rumah yang sedang duduk di atas
tikar di lantai, lantas menaburkan beras ke atas
kepala dan kemudian melilitkan ulos ke tubuh
mereka berdua, disertai kata pengantar dalam
bahasa daerah, penuh dengan pepatah-pepatah supaya
Tuhan memberkati mereka itu mendiami rumah
tersebut serta mengasuh anak-anak meraka. Setelah
itu diberikan lagi kesempatan kepada pihak-pihak
lain yang termasuk hula-hula untuk melilitkan ulos.
akhirnya upacara adat manuruk jadu di tutup dengan
Doa dari pihak hula-hula. Setalah itu para tamu
yang tidak hula-hula menyampaikan tumpak (
Sumbangan uang ) kepada pihak pengundang.
|