Sebagaimana
diketahui dalam adat Batak, sehubungan dengan
jenis-jenis upacaranya, tegas dibedakan di antara
orang yang meninggal sudah mempunyai cucu.
Yang
disebut pertama tadi masih dibagi atas dua macam,
yaitu apakah orangnya sudah kawin atau belum. (
Pria yang sudah tua dalam umur tapi belum menikah,
teristemewanya pria yang tidak mau kawin, sering
mendapat ejekan dari masyarakat; Pria tersebut
tidak boleh angkat bicara dalam upacara adat ).
Orang tua serta para kerabat dari yang meninggal
sebelum kawin itu meratap ( mangandung )
terus-menerus. Ulos saput baginya ( Pria atau
wanita ) adalah dari orangtuanya. Ulos ini
diletakkan di atas mayat, seolah-olah lampin
sewaktu ia masih bayi, melambangkan kasih sayang
dari orang yang memberikannya, apa lagi kalau yang
meneinggal tersebut masih bayi.
Wafat
seorang suami atau isteri belum mempunyai anak,
atau sudah mempunyai anak tapi belum mempunyai
cucu, dianggap oleh masyarakat Batak lebih sedih
lagi daripada yang diuraikan sebelum itu, apa lagi
kalau ada anak-anak yang masih kecil. Hal ini
tampak dari ratapan orangtua serta para kerabat.
Yang datang melayat juga lebih banyak. Jikalau
sang suami yang meninggal dunia itu, maka
penderitaan isterinya yang masih hidup digelari
matipul ulu, artinya "kehilangan kepala rumah
tangga", sedang kalau sang isteri yang lebih
dulu meninggal digelarilah penderitaan suaminya
matompas tataring ( baca; matoppas tataring ),
artinya "tumpas dapur".
Dalam
hal suami atau isteri meninggal dunia, sebagaimana
diuraikan diatas, ada dua macam ulos memainkan
peranan, yaiut selain ulos saput tersebut diatas,
ada lagi apa yang dinamai ulos tujung ( ulos
berkabung ). Di atas mayat sisuami atau siisteri
yang meninggal diletakkan ulos saput, sedang sang
janda balu ( pasangannya masih hidup ) mendapat
ulos tujung. Jadi kalau sang suami yang meninggal
maka isterinya yang masih hidup mendapat ulos
tujung; sebaliknya kalau sang isteri yang
meninggal maka suaminya yang masih hidup
mendapatnya. Ulos ini ditebarkan di atas kepala
orang yang bersangkutan bagaikan bendera berkabung.
Bagaimana jika kalau tidak ada lagi suami atau
isteri yang meninggal tadi masih hidup ? Dalam hal
ini tidak ada ulos berkabung meskipun ada anak
mereka.
Mari
kita tinjau dulu sebentar perbedaan dalam tradisi
diantara daerah yang satu dan daerah yang lain di bona
nipasogit mengenai siapa yang memberikan ulos
saput dan saipa yang memberikan ulos tujung, oleh sebab
hal itu tanpa k juga didaerah perantauan diantara
pihak-pihak yang meneruskan tradisi dari daerah asli
masing-masing. Menurut tradisi disuatu daerah teretntu
dibonani pasogit, baik ulos saput maupun ulos tujung
harus dari pihak hula-hula (parboru), yaitu orang tua
dari si istri. Di daerah lain berlaku tradisi ulos
tujung ini memang dari puhak hula-hula (parboru), akan
tetapi ulos saput diberikan oleh tulang dari yang
meninggal tersebut. (hal ini katanya untuk memberikan
kesempatan kepada sang tulang untuk memperlihatkan kasih
sayang seolah-olah yamg meninggal dunia tadi masih bayi).
Ada tradisi lain menenutkan , kalau sang istri yang
wafat itu maka bukan mamanya (tulang) yang menyampaikan
ulos saput tersebut, akan tetapi tulang dari suaminya
untuk mengetahui mengapa begitu mari kita lihat dulau
latar belakangnya pada jaman dahulu. Sering ada katanya
saling pengertian diantara pihak orang tua dari yang
meninggal tadi dengan tulang dari si suami yang balu itu
untuk mengusahakan agar ibu tiri bagi anak-anak yang
kematian tersebut ialah adik dari alamarhum atau salah
seorang putri dari tulang si suami. Hal ini menyebabkan
tulang ini memberikan ulos saput dan simertua tadi
menyampaikan ulos tujung. (untuk mengakhiri masa
berkabung maka datang lagi mertua ini disertai tulang
tersebut membuka ulos berkabung, sambil memperkenalkan
calon istri pengganti).
Mengenai kapan berakhir masa berkabung tidak ada juga
keseragaman di zaman dulu di bona ni pasogit. Ada
tradisi bahwa masa berkabung otomatis berakhir kalau
disekitar di tempat kediaman janda balu tadi ada yang
meninggal, lalu dengan turut serta meratap tanggal
sendiriulos berkabung itu. di suatu daerah tertentu
suami atau istri yang balu itu disertai para kerabat
dekat, setalah memberitahukan lebih dulu, lalu pergi
kerumah hula-hula (parboru) untuk upacara pasae tujung (menghakhiri
masa bergabung). Di daerahlain belaku tradisi bahwa yang
datang itu adalah hula-hula (parboru) ke rumah janda
balu tadi; upacara yang di langsungkan di sini dinamai
mambuka tujung (atau mengungkap tujung; baca: mangukkap
tujung). Teranglah kiranya mengapa ulos berkabung harus
dari hula hula (parboru), oleh sebab dia pula yang dalam
upacara tertentu membukannya untuk mengakhiri masa
berkabung.
|