Untuk
dapat lebih jelas memahami apa itu DALIHAN NATOLU
serta adatnya, kita harus bertolak dari Kampung
dan Desa .
Kalau
kita perhatikan pola bentuk kampung yang asli dari
zaman sebelum
penjajahan di PORSEA
terutama
di perkampungan porsea tersebut, maka tampaklah pada kita bentuk-bentuk
kampung itu pada umumnya sama. Di dalam suatu huta
(kampung) berderet rumah-rumah adat saling menghadap; pada satu deretan ialah apa yang
dinamai ruma, dan dihadapannya berderet sopo (rumah
sambil lumbung padi). Yang dinamai sopo ini
bentuknya mirip kerbau betina, sedang ruma mirip
kerbau jantan bertanduk. Dua deretan rumah adat
itu haruslah Utara-Selatan arahnya, sebab kalau
Timur-Barat maka halaman kampung itu menjadi gelap
karena bayangan ruma dan sopo itu semuanya jatuh
ke halaman kampung sehingga orang tidak bisa lagi
menjemur padi di situ. Apakah ruma atau sopo
menghadap ke gunung? sudah dengan sendirinya sopo
menghadap ke lurah (hilir), Oleh sebab orang yang
menggotong karung dari sawah bisa langsung menaiki
tangga lalu masuk ke dalam sopo.
Sebaliknya ruma menghadap ke gunung. Sekeliling
kampung itu terdapat pohon bambu yang lebat, dan
di gerbang kampung (atau di sekitar gerbang itu di
luar kampung) biasanya ada pohon ara (hariara),
yaitu sejenis pohon yang lebih tinggi lagi
daripada pohon waringin.
Umumnya
para penghuni asli yang ada di PORSEA,
di setiap kampung
adalah turunan dari satu leluhur pria, demikian
pula para penghuni di setiap desa oleh karena desa
adalah perkembangan dari kampung asal. Jadi para
warga kampung dan desa mempunyai hubungan darah di
antara satu sama lain, sebagian besar menurut
garis ayah dan sebagian kecil para pria yang
menjadi menantu didesa itu beserta turunannya.
Berkaitan
dengan hubungan darah yang di singgung di atas,
mari kita teliti sejenak istilah-istilah "saudara
kandung" dan "ibu kandung" dalam
bahasa indonesia. Istilah pertama itu berasal dari
"saudara sekandung ibu" dan istilah
kedua dari "ibu yang mengandung". Sudah
barang tentu setiap anak adalah anak ibunya, oleh
karena si anak di kandung dan dilahirkan oleh
ibunya. Bahwa sianak disebut juga mempunyai
"ayah kandung" bukanlah secara "fisik"
melainkan secara resmi, oleh sebab ibunya kawin
dengan sang ayah.
Dalam
suatu masyarakat yang memberi kesempatan mudah
memutuskan tali perkawinan, maka anak-anak
biasanya merasa lebih dekat pada ibunya dan
keluarga asal ibunya, dan ada kalanya tidak
mengenal ayahnya lagi. maka untuk menanamkan rasa
tanggungjawab pada sang ayah terhadap keturunannya,
yang diharapkannya menjadi kebanggannya kelak,
maka adat Batak menentukan sang ayah mewariskan
marganya kepada anaknya, atau anak-anaknya kalau
lebih dari satu. Yang penting dalam adat Batak
ialah ada marga setiap anak. Mengapa tidak sang
ibu mewariskan marganya? Sebabnya ialah sang ibu
sudah masuk ke dalam klen suaminya.
Dalam
bahasa Batak ada istilah dongan sabutuha, artinya
secara harafiah "teman seperut". Istilah
ini mengundang arti kiasan untuk menyatakan
eratnya ikatan darah dan akrabnya hubungan
persaudaraan di antara para pria dan wanita
semarga seolah-olah lahir dari perut yang sama.
Meraka menganggap dirinya seakan-akan mempunyai
satu ayah dan satu ibu maka oleh sebab itulah
tidak boleh saling mengawini. Oleh karena sang
wanita sesudah kawin secara otomatis pindah
menjadi anggota klen suaminya, jadi arti boru
"dongan sabutuha" ialah para pria yang
termasuk satu marga, beserta isteri masing-masing.
|