Di
tanah Batak boleh dikatakan dari dulu sampai
sekarang jarang terjadi perkawinan yang dilakukan
pria Batak dengan wanita bukan orang Batak, atau
sebaliknya. Sesudah berakhir Perang Padri sekali-kali
terjadi perkawinan di antara pria Batak dan wanita
dari daerah pesisir. Perempuan ini di suruh
tinggal dulu sementara di rumah tulang dari
silelaki. Tujuannya agar siwanita memperlihatkan
seolah-olah dia puteri kandung dari tuan rumah,
misalnya ikut mencuci piring, memasak nasi dan
ikan, bahkan ikut ramai-ramai marbabo ( Merimbas
rumput di sawah ). hal itu dirasa perlu untuk
mengetahui apakah ia benar-benar rela dijadikan
seolah-olah puteri kandung, dan bukan karena
desakan dari calon suami dan calon mertuanya.
Misalnya marga tulang suaminya Manurung, maka
wanita itu boleh diresmikan menjadi boru Manurung.
Untuk itu diadakan suatu upacara adat dirumah
marga Manurung tersebut, dan boleh disambung
dengan pesta di halaman kampung suami boru
Manurung itu supaya diketahui oleh umum.
Mengapa
perlu upacara itu ? walaupun baru dalam arti luas
meliputi juga bere ( kemenakan ), tetapi bere itu
barulah disebut boru dalam arti sempit kalau sudah kawin
dengan puteri mamaknya. Istilah mamboruhon artinya
"menjadikan bere sama dengan boru ( menantu
)". Hal ini penting dalam pergaulan adat karena
perasaan komunal berdasarkan DALIHAN
NA TOLU. Sesudah
perempuan yang bukan orang Batak tadi menjadi boru
Manurung, maka yang akan menghadiri upacara pesta adat
ialah rombongan marga Manurung sebagai hula - hula
disertai boru dari pihaknya. Dalam acara marhata dirumah
boru Manurung tadi, pihak gurning duduk berhadapan
dengan pihak tuan rumah. Dan andaikata suaminya
memperlakukan boru Manurung itu tidak baik, maka
tempatnya mengadukan nasibnya ialahTulang suaminya dan
seluruh hula - hula yang sudah mamboruhon dia.
MAMAMPE
MARGA
Mamboruhon,
sebagaimana di paparkan diatas, tidak menimbulkan
persoalan dalam adat Batak. asal si isteri yang
bukan orang Batak itu telah melahirkan anak. Lain
halnya kalau seorang pria yang bukan orang batak
diberi margakarena beristerikan boru Batak. Hal
ini tidak sesuai dengan prinsip umum dalam adat
Batak sebab isteri ikut suami.
Akan
tetapi ada juga pengecualian terhadap prinsip umum
tersebut. Misalnya sesudah Perang Padri terjadi
juga sekali-kali di Tanah Batak seorang lelaki
bukan orang Batak tinggal menetap di kampung
mertua sebagai apa yang dinamai hela sonduhon.
Menantu itu hidup berbahagia dengan isterinya dan
mereka ini sudah mempunyai paling sedikit satu
anak. Sisuami sudah menginterigasikan diri dengan
adat Batak di kampung tersebut sehingga
diperlakukan sebagai boru ni ampuan. Akhirnya
permintaannya agar diresmikan menjadi boru dalam
sistem DALIHAN NA TOLU,
dengan di beri marga
kepadanya, disetujui oleh hula-hula.
Sewaktu martonggo-raja di rumah hula-hula diputuskanlah
marga yang akan diberikan itu ialah marga dari
amangboru isteri pria tersebut. Misalkan salah
satu seorang perempuan dari ayah siisteri tadi
kawin dengan seorang dari marga Siagian bernama
Williams, maka marga pria bukan orang Batak itu
menjadi Siagian. Hal yang pelik sekali ialah
memasukkan sipiria itu kedalm silsilah Williams
Siagian. Upacara peresmiannya sebaliknya di sebut
mamampe marga, artinya menghayati marga yang
diterimanya itu secara langgeng, jadi tidak hanya
untuk dirinya sendiri tetapi juga turun-temurun
melalui anak-anaknya.
|