Sudah
merupakan kebiasaan, apalagi menjelang lahirnya
anak pertama, orangtua dari siisterui disertai
rombongan kecil kaum kerabat datang menjenguk
puterinya dengan membawa makanan ala kadarnya;
salah satu istilah untuk kenjungan ini ialah
mangirdak, artinya "membangkitkan semangat".
Ada pula lagi yang melilitkan selembar ulor yang
dinamai ulos tondi, artinya "ulos untuk
menguatkan jiwa" ke tubuh si puteri dan
suaminya dalam acara sesudah makan. Tentu saja
tuan dan nyonya rumah didampingi kaum kerabat
dalam upacar sederhana tadi.
Sesudah
lahir anak yang dinanti-nantikan itu ada kalanya
diadakan lagi makan bersama ala kadarnya di rumah
keluarga yang berbahagia itu, dinamai mangharoani,
artinya "menyambut tibanya ( sang anak
)". Ada juga menyebutnya mamboan aek ni unte,
karena pihak hula-hula membawa makanan yang akan
memperlancar air susu sang ibu.
Yang
diuraikan diatas adalah upacara yang berlangsung di lingkungan
kerabat dekat di daerah rantau, sama seperti di toba yang di
undang hanya para tetangga di kampung. Lain halnya dengan
upacara pemberian nama kepada si anak, para undangan meliputi
DALIHAN
NA
TOLU.
Pada
acara marhata sesudah makan di umumkanlah nama si bayi. Pesta
sedemikian mengenai anak pertama sering pula digabungkan
dengan pemberian sawah oleh orangtua serta mertua dari ayah
sianak sebagai modal kerja.
Sesudah
orang batak memeluk agama kristen maka upacara tadi
sebagaimana dipaparkan di atas di ganti menjadi upacara agama
di gereja pada hari minggu, yang dinamai pembabtisan. Kepada
orangtua sianak yang dibabtis itu diberi oleh petugas gereja
sehelai SURAT
BABTIS, yaitu sebagai bukti bahwa sianak
beragama kristen. Setelah upacara agama tadi di langsungkan
lagi upacara adat di rumah orangtuanya. Yang di undang ialah
DALIHAN NA TOLU dari tuan rumah. Sebagaimana biasa pada
upacara adat ada juga sebelum makan penyajian tudu-tudu ni
sipanganon, yang dibalas oleh hula-hula dengan penyuguhan
dekke sitio-tio. Acara marhata sesudah makan harus diadakan
juga. Kepada para hadirin diberikan pula kesempatan
menyampaikan ulos parompa.
Seorang
anak kecil yang di daerah perantauan sejak berumur
kira-kira 3 tahun biasanya sudah mulai diajarkan oleh
lingkungannya orang batak dapat menyebut marganya dan
nama desa asalnya di bona pasogit. Sebelum anak itu
masuk sekolah ia tahu juga pula marga ibunya, dan dengan
mengetahui itu ia tahu juga marga mamaknya. Setelah itu
harus tahu pula berapa saudara ayahnya dan berapa
saudara ibunya, dan masing-masing kawin dengan marga apa.
Tambahan lagi ia harus tahu siapa para kerabat lainnya.
Dengan penanaman nilai demikian maka jelas sekali
identitas sianak kecil dalam lingkungan masyarakat Batak.
Misalnya dia pernah hilang tercecer maka akan di ajukan
oleh orang Batak lainnya yang sudah dewasa, dan tidak
mengenalnya, pertanyaan - pertanyaan tadi kepadanya.
Kalau yang bertanya tersebut tidak mengenal salah satu
nama yang disebut oleh sianak, maka akan ditanya lagi
siapa nama kerabat - kerabat lain, mulai dari yang
paling dekat hingga yang paling jauh, termasuk yang
semarga, tulang dang amangboru. Mengenai kekerabatan
adalah terbuka bagi orang Batak
Pada
umur belasan tahun, yaitu pada waktu seorang pemuda atau
pemudi mencapai tahap pubertas, ia harus menempuh ujian mental
yang di zaman animisme dinamai mangalontik ipon. sesudah orang
BATAK TOBA
memeluk agama Kristen, gereja mengharuskan pemuda
dan pemudi menempuh ujian sesudah mendapat pelajaran agama
selama kira-kira satu tahun. Pada suatu upacara sisi di gereja
dalam suatu kebaktian pada hari Minggu, Diserahkan kepada
masing-masing peserta itu sehelai SURAT SIDI sebagai tanda
lulus. Upacara agama di gereja tersebut selayaknya dilanjutkan
lagi dengan upacara adat di rumah, sama seperti pembabtisan
digereja dilanjutkan dengan upacara adat di rumah sebagaimana
di paparkan di atas.
|