| |
Kesimpulan
Pancasila
bukanlah suatu yang baru bagi masyarakat Bolaang Mongondow. Sejak
zaman purba, nilai-nilai Pancasila sudah terkandung dalam kehidupan
sosial budaya masyarakat, yang meliputi berbagai aspek kehidupannya
dan masih tetap terpelihara sampai kini, dengan contoh antara alin :
| Sila I : sejak
zaman purba penduduk telah mengenal adanya suatu kuasa di atas
segala yang yang berkuasa. Mereka percaya bahwa segala sesuatu di
bumi ini ada pencipta dan pemiliknya. Bila masyarakat hendak
merombak hutan untuk diperkebuni, maka para tonawat mengadakan suatu
upacara untuk memohon izin Ompu Duata (Yang Maha Kuasa) agar mereka
terhindar dari bencana dan berhasil dalam usaha pertaniannya.
|
| Sila II :
Keluhuran budi pekerti anggota masyarakat dibuktikan dalam tutur
kata, pembawaan, tingkah laku, tindak tanduk dalam kehidupan
sehari-hari. Mereka tidak melakukan hal-hal yang dapat mengganggu
ketertiban pribadi seseorang, tidak menyakiti hati orang lain, tidak
mengambil milik orang lain secara semena-mena, tidak membunuh
(kecuali dalam perang), suka menolong orang yang berkekurangan atau
yang hidup mederita, karena cinta sesama manusia. |
| Sila III :
Walaupun kelompok masyarakat terpencar-pencar ke segala penjuru
tempat karena kepentingan mencari nafkah hidup, namun mereka tetap
merasa satu keluarga besar (dalam satu kekeluargaan) bahkan setiap
gangguan dari luar dihadapi bersama. Tiap kelompok masyarakat
memilih pimpinan penjaga keamanan (umpung pongayow = hulubalang) dan
memiliki semacam pasukan keamanan. Pada saat Belanda mencoba
mencampuri urusan pemerintahan (awal abad 20), timbul pemberontakan
terhadap Belanda dipimpin Hatibi Dibo Mokoagow dan sangadi Eman,
karena tidak ingin dijajah dan tetap mempertahankan kemerdekaan.
|
| Sila IV : setiap
rencana kegiatan besar atau kecil selalu diawali dengan musyawarah
oleh para pimpinan, tokoh adat, bogani, tonawat, guhanga, unsur
pimpinan masyarakat yang lain guna mendapatkan kesepakatan, karena
apa yang hendak mereka kerjakan adalah untuk kepentingan umum,
kepentingan bersama demi kesejahteraan seluruh anggota masyarakat.
Bahkan dalam pemerintahan kerajaan sebelum adanya pengaruh luar,
raja tidak boleh berlaku sewenang-wenang tetapi selalu memintakan
pendapat para pembantunya dan unsur pimpinan masyarakat yang lain
(semacam dewan penasehat raja). |
| Sila V : semua
pekerjaan dikerjakan atau diselesaikan dengan rasa tanggung jawab
yang besar untuk kesejahteraan setiap anggota masyarakat menuju
kehidupan yang lebih baik (meningkatkan taraf hidup setiap anggota
masyarakat) melalui pogogutat, tonggolipu’, dan posad atau mokidulu.
|
Penutup
Setelah Indonesia merdeka dan
pancasila sebagai hasil galian dari kebudayaan bangsa yang luhur
dijadikan sebagai satu-satunya dasar kehidupan seluruh rakyat
Indonesia tercinta ini, maka nilai-nilai luhur yang terkandung dalam
kehidupan sosial budaya bangsa, telah lebih dimantapkan untuk
dilestarikan dan diwariskan kepada generasi penerus perjuangan dan
pembangunan. Maka rakyat Bolaang Mongondow sebagai bagian dari bangsa
Indonesia yang bermukim di salahsatu wilayah Indonesia di Sulawesi
Utara turut menyumbangkan unsur-unsur kebudayaan yang bernilai luhur
sebagai warisan dari para leluhur.Perlu kiranya ditambahkan bahwa
beberapa upacara adat yang pernah dimiliki oleh masyarakat Bolaang
Mongondow, kini tidak diadakan lagi karena dianggap sudah bertentangan
dengan norma-norma keagamaan. Namun ada beberapa upacara adat yang
kiranya dapat menarik wisatawan domestik dan mancanegara untuk
berkunjung ke daerah ini, antara lain :
| Aimbu, yaitu
sejenis upacara yang dilakukan dengan menyanyikan lagu-lagu
tradisional dengan gerakan tertentu pada pelaksanaan pesta keluarga
seperti pada pelaksanaan acara tobok (melubangi cuping
telinga anak gadis), acara le’ad (meratakan gigi gadis),
acara ponondeaga’an (=inisiasi = pengalihan status remaja ke
status pemuda dalam memasuki jenjang perkawinan). Oleh sebab itu
maka lirik lagu aimbu disesuaikan dengan jenis upacara yang
diadakan. Acara aimbu diadakan semalam suntuk beberapa malam
berturut-turut, mulai 3 malam sampai 40 malam, berdasarkan kemampuan
keluarga yang menyelenggarakannya. |
| Morudak, sejenis
permainan rakyat terutama antara muda-mudi yang biasanya diadakan
bila musim buah-buahan melimpah (lihat perkenalan muda mudi).
|
Beberapa
upacara adat yang dianggap tidak sesuai lagi dengan keadaan pada masa
pembangunan sekarang ini, karena telah bertentangan dengan norma-norma
keagamaan, tidak dapat dilanjutkan pelaksanaanya, misalnya :
Monibi,
yaitu upacara pengobatan kampung yang diadakan sekali dalam setahun.
Seluruh anggota masyarakat turut terlibat dalamnya. Upacara monibi ini
diadakan untuk menolak berbagai macam penyakit mewabah, atau
menghindarkan bencana yang bakal menimpa penduduk. Upacara monibi
terakhir diadakan pada tahun 1939 di desa Kotobangon (tempat kedudukan
istana raja) dan di desa Matali (tempat pemakaman raja dan
keturunannya).
Monayuk, yaitu
upacara pengobatan yang mulai diadakan sejak kelahiran Mokodoludut
yang sakit-sakitan sejak kecil.
Mongalang, yaitu
upacara pada saat kematian raja atau keluarganya. Pada saat seperti
itu dilagukan dete-dete, yaitu lagu duka.
Momolapag, yaitu upacara penyembahan kepada
roh leluhur dengan menyediakan sajian bagi yang disembah.
Sumberdata
| Catatan sebagai
hasil wawancara dengan beberapa tokoh budayawan Bolaang Mongondow
antara lain : Bapak J.W.Manoppo, mantan Wedana Mongondow, Bapak S.A.
Sugeha, mantan Ass. Wedana Kotabunan, Bapak K.C. Mokoginta, mantan
Ass. Wedana Passi. |
| Beberapa catatan
dari : Bapak M.A. Sugeha, mantan pengacara hukum, Bapak Amun Jambo,
budayawan dari desa Matali. |
| Hasil percakapan
dengan bapak D. Lomban, guru, budayawan, sekaligus sebagai mantan
pamong praja. |
| Hasil percakapan
tanggal 15 Pebruari 1977 dengan bapak B. Gilalom, budayawan dari
desa Poyowa besar. |
| Over de Vorsten
van Bolaang Mongondow (W. Dunnebier). |
| Beschrijving van
het adatrecht in Bolaang Mongondow (R.P.Notosoesanto). |
| Sejarah
pendidikan daerah Sulawesi Utara (Drs. L. Th.Manus dan kawan-kawan
1980). |
| Sejarah
perkembangan Kotamobagu sebagai Ibukota Kabupaten Bolaang Mongondow
(Drs. L.Th. Manus dan kawan-kawan 1978). |
| Pengalaman
selama menjadi kepala kantor pembinaan kebudayaan Kabupaten Bolaang
Mongondow (1963-1975). |
Diketik ulang dari
: Bernard Ginupit, Kebudayaan Daerah Bolaang Mongondow, 1996
|
|
|
|
|
|