Media Putra Totabuan Untuk Membangun Daerah
Index
Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 13
Penutup

 

 

 

KEADAAN SAMPAI DENGAN ZAMAN PENJAJAHAN

Pengaruh luar
Pengaruh luar mulai terasa dengan kedatangan bangsa asing seperti Spanyol, Portugis, Tiongkok, Inggeris, Belanda dan lain-lain dengan maksud untuk berdagang. Anggota masyarakat terutama yang bertempat tinggal di pesisir pantai mulai mengenal dagang dalam arti tukar menukar benda dengan benda, seperti : tembikar, kain laka, sikayu, benda logam tembaga, topi besi, mata tombak dan lain-lainditukar dengan hasil hutan dan hasil tambang seperti : damar, rotan, emas dan sebagainya. Suatu dongeng yang dikenal oleh masyarakat sampai kepada anak-anak tentang pendatang bermata sipit bernama Pak Hong yang tinggal dalam sebuah lubang di pesisir selatan. Pak Hong-lah yang membawa piring tembikar dan alat-alat lain yang ditukar dengan emas oleh anggota masyarakat. Anggapan ornag bahwa Pak Hong datang dari dunia di bawah bumi melalui sebuah lubang, sebenarnya adalah gua tempat Pak Hong menyimpan barang tembikar.

Lahirnya Punu’ Molantud
Bogani suami isteri Kueno dan Obayow dalam usaha mereka pergi menangkap ikan di sungai, tidak berhasil. Namun mereka senag juga, setelah mereka memungut sebutir telur di atas kapar (timbunan ranting-ranting kayu) yang sedang hanyut di sungai. Secara kebetulan mereka melihat seekor burung duduk yang baru saja terbang dari kapar itu, sehingga mereka menganggap bahwa telur itu adalah telur burung yang baru saja terbang. Benda yang dianggap telur itu, ternyata adalah kantung bayi yang lahir masih terbungkus dari rahim ibunya. Karena kelahiran itu dianggap aneh, maka kantung itu diletakkan oleh orang tuanya di atas kapar yang sedang hanyut di sungai. Yang kemudian dipungut oleh Kueno dan Obayow. Oleh karena anak yang lahir itu dianggap menetas dari telur burung, maka para bogani, pimpinan seluruh kelompok masyarakat bersepakat untuk mengangkat anak itu menjadi Punu’ Molantud, yaitu pimpinan tertinggi atas seluruh kelompok masyarakat yang tersebar di daerah Bolaang Mongondow. Anak itu diberi nama Mokodoludut, yang berarti menyebabkan bunyi banyak kaki yang berjalan (nodoludut = bunyi gaduh kaki banyak yang berjalan). Banyak orang yang datang melihat bayi yang lahir luar biasa itu, telah turun hujan lebat disertai bunyi guntur sambung menyambung dan halilintar sambar menyambar.
Sebagai catatan perlu diinformasikan bahwa pemberian nama kepada bayi pada masa dahulu, disesuaikan dengan situasi atau peristiwa terjadi bertepatan dengan kelahiran bayi itu, karena penduduk belum mengenal huruf, sehigga belum ada pencatatan tanggal kelahiran. Anak yang lahir bertepatan dengan suatu peristiwa besar diberi nama Ododai = bersamaan. Anak yang sakit-sakitan sejak lahir diberi nama : Ki Napi’I = sakit-sakitan. Yang bertubuh kecil diberi nama : Kandeleng = si kecil; yang lahir ketika salah seorang dari orang tuanya meninggal, diberi nama : sinala’an = ditinggalkan. Nama benda, tumbuhan, hari, hewan dan sebagainya juga dipakai untuk memberi nama bayi, misalnya : Kompe’ = bakul; Kobisi’ = bakul besar; Apat = bengkalai; Longgai = kapar; Uoi = rotan; Boyod = tikus; Bonok = rumput.

Mokodoludut
adalah punu’ Molantud yang diangkat berdasar kesepakatan seluruh bogani. Dalam sejarah pemerintahan di Bolaang Mongondow, Mokodoludut tercatat sebagai raja (datu yang pertama di Bolaang Mongondow, walaupun penggunaan istilah datu atau raja mulai dikenal sejak raja Tadohe (Sadohe) yang memerintah pada tahun 1602 karena pengaruh istilah luar, ratu, datu atau latu, yang berarti raja.
Sebelum Tadohe, setiap pimpinan tertinggi pemerintahan yang diangkat dari keturunan Mokodoludut selalu digelar Punu’ Molantud atau Tule Molantud atau Tomunu’on. Sejak Mokodoludut memerintah, masyarakat mulai mengenal kesenian antara lain seni sastra, yaitu itu-itum, semacam do’a yang diucapkan misalnya pada pelantikan Punu’ Molantud atau pejabat tinggi lainnya. Juga Odi-odi, semacam sumpah, serta jenis vokal antara lain totampit, yaitu sastra bermelodi yang dilagukan oleh para bogani atau oleh penduduk yang pergi ke rantau memasak garam, ke hutan mencari damar dan lain-lain, karena mereka harus menempuh karak jauh dengan berjalan kaki.
Salahsatu sastra lagu aimbu yang dinyanyikan oleh orang tua angkat Mokodoludut, yaitu Kueno dan Obayow adalah :
Ki Inalie no puyut = Inalie yang memungut
Ki Amalie notompunuk = Amalie yang memangku
Notakoi kon loto lanut = dimasukkan dalam lanut
Pitu no singgai no uput = tujuh hari genap
Dinongog mai nogolotup = terdengar bunyi meletus
Sinarap bo sinondudut = dilihat dan diteliti
Na’anta umatbi’ alus = ternyata mahluk halus
Nobiag moyutu-yutuk = hidup tubuhnya kurus
A mongula mokitayuk = ingin diobati (monayuk)
Moki aimbu no uput = dengan cara aimbu lengkap
Na’a bo inaidan no uput = kini selesai dikerjakan
Tangoimu ing ki Mokodoludut = namamu adalah Mokodoludut.

Tadohe menjadi Datu ke-8
Sejak Tompunu’on pertama sampai ke-7, yaitu Mokodoludut, Yayubangkai, Damopolii (Kinalang), Busisi, Sugeha, Mokodompit, Mokoagow, keadaan masyarakat Bolaang Mongondow semakin maju dengan adanya pengaruh luar, walaupun hubungan dengan bangsa asing itu barulah hubungan perdagangan (tukar menukar benda). Perubahan total mulai terlihat sejak Tadohe, putra Mokoagow mulai menjadi Tompunu’on yang oleh pengaruh pedagang Belanda dirubah istilah Tompunu’on menjadi Datu (Raja). Tadohe dikenal seorang Datu yang cakap, sehingga pada saat pemerintahannya, terjadi perubahan dalam susunan pemerintahan dan kemasyarakatan. Tadohe berhasil mempersatukan seluruh rakyat yang hidup berkelompok dengan boganinya masing-masing, mengadakan musyawarah di tempat kediamannya di tudu im bakid, sekitar dua kilo meter di utara Kotamobagu sekarang. Dibentuk sistem pemerintahan baru. Hubungan antara kelompok masyarakat diperbaiki dengan membuka jalan. Duku atau pedukuhan, desa muali diatur. Seluruh kelompok keluarga dari Bolaang, Mongondow (Passi dan Lolayan), Kotabunan, Dumoga, disatukan menjadi Bolaang Mongondow. Mereka mulai mengenai mata uang real, doit, sebagai alat perdagangan. Pimpinan desa dipilih oleh rakyat. Mulailah diatur sistem bercocok tanam dengan mulai dikenalnya padi, jagung dan kelapa yang dibawa oleh bangsa Spanyol pada masa pemerintahan Mokoagow, ayah Tadohe. Tadohe mengadakan penggolongan dalam masyarakat, yaitu pemerintahan (Kinalang) dan rakyat (paloko’). Paloko’ harus patuh dan menunjang tugas Kinalang, sedangkan Kinalang mengangkat tingkat penghidupan Paloko’ melalui pembangunan disegala bidang.
Setiap desa ditandai dengan adanya sigi, yaitu semacam kuil tempat penyembahan kepada Ompu Duata (Yang Maha Kuasa). Didalam sigi dapat disimpan piring tua atau benda antik lainnya yang berasal dari para leluhur. Pada waktu monibi (upacara pengobatan desa, penyembahan kepada roh leluhur atau pengorbanan), seluruh anggota masyarakat turut serta, dengan mengorbankan babi, kambing betina dan ayam yang darahnya dipercikkan kepada tangga sigi. Sigi juga merupakan tempat penghapusan dosa atau kesalahan bagi pesakitan, bagi pelanggar adat tertentu, sebagai penghapus aib. Dapatlah dikatakan bahwa sigi merupakan suatu lukisan kesatuan desa. Sebagai kesatuan masyarakat hukum, ada keluarga yang mengangkat orang-orang tua yang bertugas menyelesaikan perkara-perkara dalam desa, mengatur pemindahan hak, mengatur pertunangan, perkawinan dan juga sebagai penasehat dalam tugas-tugas pemerintahan yang disebut : guhanga. Bahkan kepala desa (sangadi, bobato, kimalaha) dalam memutuskan sesuatu terlebih dahulu minta petunjuk dan pendapat dari para guhanga. Tadohe membagi tingkatan (kasten) dalam masyarakat atas enam tingkat atau golongan, yaitu : mododatu (kaum ningrat), kohongian, simpal, nonow, tahig, dan yobuat. Kaum simpal adalah pemegang penjaga keamanan, tahig adalah golongan pekerja dan yobuat adalah golongan bawah.

Campur tangan Belanda dalam pemerintahan
Pada tanggal 1 Januari 1901, Belanda secara paksa bahkan kekerasan masuk daerah Bolaang Mongondow melalui Minahasa selatan, setelah usaha mereka memasuki daerah Bolaang Mongondow melalui laut tidak berhasil. Di bawah pimpinan Controleur Anton Cornelius Veenhuizen bersama sepasukan prajurit memasuki Bolaang Mongondow, yaitu pada masa pemerintahan Raja Riedel Manuel Manoppo. Namun rakyat memberontak melalui pimpinan seorang bernama Hatibi Dibo Mokoagow yang memotong tiang bendera Belanda yang dipancang di halaman istana raja di Bolaang. Juga tiang bendera Belanda yang didirikan di pelabuhan Lombagian (Inobonto) dipotong oleh Hatibi Dibo dan kawan-kawannya. Rakyat tidak setuju dengan campur tangan asing dalam pemerintahan. Mereka pada saat itu telah memiliki jiwa patriotik. Tahun 1904 Hatibi Dibo berhasil ditangkap oleh Belanda lalu ditembak. Sekitar tahun 1903-1904 perlawanan diadakan oleh sangadi Eman dari Pontodon. Perlawanan dipatahkan oleh Belanda tapi rakyat masih tetap mengadakan perlawanan (terkenal dengan perang Pontodon). Akhirnya karena tidak setuju dengan tekanan-tekanan Belanda itu, penduduk Pontodon dan bilang banyak yang meninggalkan kampung halamannya, menuju ke pantai utara (Desa Tanamon), ke Minahasa selatan (Desa Toraut), ke pantai selatan (Desa Kayumoyondi’). Pada tahun 1904 diadakan perhitungan jiwa penduduk Bolaang Mongondow dengan 41.417 jiwa dan pria pekerjanya 9.166 orang.

 
  

1
Hosted by www.Geocities.ws