| |
Beberapa ketentuan dalam perkawinan
Pemutusan hubungan kekeluargaan : (momontow
kom bui'an).
Perkawinan antara pria
dan wanita yang masih terikat hubungan darah,dilarang,misalnya antara
: kakak laki-laki dan adik perempuan, antara saudara satu susu
(tongotete'an), antara ipar laki-laki dan perempuan, antara paman dan
kemanakan, antara saudara sepupu atau yang cucu bersaudara. Bila
terjadi sesuatu sebab antara mereka yang termasuk larangan kawin,
misalnya si wanita telah terlanjur hamil, sedangkan mereka berasal
dari satu darah, maka dapatlah diadakan peminangan, sesudah diadakan
suatu upacara adat, yaitu : pemutusan hubungan kekeluargaan (momontow
kom bui'an). Caranya adalah : menyembelih beberapa ekor hewan, ayam
putih, kambing, untuk persembahan, yang darahnya digosokkan pada
tangga sigi (podugu') dan pada kaki calon suami isteri.
Dagingnya dimasak untuk diberikan kepada kepala desa dan guhanga,
terutama kepada orang tua yang akan menerima maskawin. Upacara adat
berakhir pada saat pemecahan sebuah piring yang dipegang oleh calon
suami isteri, yang dilakukan oleh guhanga. Upacara memutuskan hubungan
kekeluargaan ini diadaakan agar tidak terjadi tomba' (bencana
alam) atau malapetaka lainnya.
Perkawinan juga dilarang antara mereka yang berbeda agama. Dalam buku
undang-undang Bolaang Mongondow artikel 35, dilarang perkawinan antara
wanita Bolaang Mongondow dengan pemuda asing. Bila terjadi
pelanggaran, maka orang tua pihak wanita dikenakan denda. Juga kepala
desa sebagai "pengawas" desa dikenakan denda.
Perlu juga diinformasikan, bahwa sesuai penuturan pernah berlaku suatu
kebiasaan di desa Motoboi Besar, tentang suami isteri baru. Konon,
pada malam pertama, pengantin wanita tidak tidur di dalam kamar
pengantin, tetapi ia tidur ditengah ayah dan ibunya atau bersama
saudara perempuannya yang lain. Menjadilah kewajiban si suami untuk
pada tengah malam mengangkat isterinya untuk dibawa ke kamar
pengantin. Pernah terjadi, pengantin wanita mengikat rambutnya dengan
rambut ibunya. Ketika suaminya mengangkat dia, ibu yang sednag nyenyak
terkejut bangun karena rambutnya tertarik oleh rambut anaknya yang
pengantin itu.Tagu'
Bila seorang pemuda telah resmi
bertunangan dengan seorang gadis, maka untuk lebih menguatkan janji
itu, keluarga pihak laki-laki menyampaikan suatu tanda baerupa benda
yangd isebut : tagu', sebagai tanda pertunangan (kokantangan)
yang telah dikuatkan oleh hukum.
Dahulu tagu' merupakan alat pengikat menurut kepercayaan lama (magis),
sehingga pemutusan hubungan oleh satu pihak, akan menimbulkan bahaya
besar. Kemudian tagu' itu berarti : tanda bahwa pertunangan telah
diresmikan. Tagu' ini boleh terdiri dari : sising (cincin), bolusu
(gelang lokan), bobol (manik-manik), karabu (subang); bagi rakyat
biasa, tagu' boleh terdiri dari pakaian (kain, celana,baju) dan
lain-lain.
Sesudah diadakan tagu' maka apabila tanpa sesuatu sebab pihak wnaita
memutuskan hubungan, keluarganya harus mengembalikan tagu' dan semua
biaya yang sudah diberikan oleh pihak laki-laki, serta membayar denda
yang dipertanggung-jawabkan melalui nilai tagu'. Bila pihak laki-laki
yang memutuskan hubungan maka disamping ia akan kehilangan tagu' dan
biaya-biaya yang sudah diberikan, ditambah lagi dengan denda yang
besarnya telah ditetapkan. Nilai denda akan lebih tinggi, bila pihak
wanita berasal dari golongan yang lebih tinggi.
Pertunangan anak-anak (poyokantanagan)
Dahulu biasanya
ada orang tua yang bersepakat untuk mempertunangkan anak-anak mereka,
walaupun anak-anak itu belum remaja. Mempertunagkan anak-anak seperti
ini, disebut : mopoyokantang atau poyokantangan. Bila
cara seperti ini terjadi, amak orang tua pihak laki-laki harus turut
memikul biaya-biaya pemeliharaan, terutama biaya untuk pakaian bagi
wanita. Kedua belah pihak menyepakati untuk kelak mengikat kedua anak
mereka dalam hubungan pertunangan (kokantangan) secara resmi. Bila
kemudian hubungan ini tidak menjadi kenyataan, maka atas kesepakatan
bersama pula, agar hal ini tidak menimbulkan beban dari salahsatu
pihak. Namun sering pula terjadi, bahwa pihak yang dikecewakan akan
mendapat pemberian sedikit sebagai tanda pengobat hati yang luka.
Iba
Dalam kokantangan yang telah direstui oleh orang tua kedua
belah pihak, maka pihak laki-laki juga sering memberikan iba kepada
pihak wanita, berupa : bahan makanan, uang tunai, pakaian dan
sebagainya. Bila kemudian perkawinan terjadi, maka nilai iba tidak
diperhitungkan dengan maskawin.
Tali'
Pembayaran maskawin dilaksanakan pada saat pernikahan. Adapula
kesepakatan bahwa pembayaran maskawin dapat ditangguhkan.
Pembayarannya diadakan nanti sesudah terjadi pemutusan ikatan
perkawinan, baik dalam keadaaan hidup atau meninggal. Bila pada saat
meninggalnya si isteri, pihak laki-laki belum sempat membayar
maskawin, si suami dapat dibebaskan dari pembayaran maskawin, namun ia
harus menanggung biaya pemakaman dan biaya kenduri (monusa).
Adapun maskawin itu tidak dibayar, apabila :
1. Si isteri kawin tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan orang tua
kedua pihak.
2. Si isteri sudah mengandung sebelum nikah.
3. Si pria orang miskin, sedangkan mertuanya menghendakinya.
4. Pria dari kaum bangsawan kawin dengan wanita dari tingkatan yang
lebih rendah (momahag = selir)
Dalam perkawinan pria dan wanita
beragama Islam, disamping maskawin, juga ada dati atau mahar
yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pengantin wanita. Tentang
besarnya dati, biasanya dibicarakan bersamaan dengan penetapan
besar kecilnya maskwin.
Menurut suatu peraturan (putusan dan perbuatan dari pemerintah
Kerajaan Bolaang Mongondow, Bintauna, kaidipang besar dan Bolaang Uki
tgl. Kotamobagu 19 Agustus 1924 No.43), calon-calon suami isteri
beragama Kristen yang menghendaki perkawinan secara gereja terlebih
dahulu menyampaikan keinginan mereka kepada raja. Bila tempat
kedudukan raja jauh, boleh pergi kepada kepala distrik. Apabila rumah
tangga yang baru belum memiliki rumah sendiri, sednagkan maskawin
sudah dibayar, mereka boleh tinggal di rumah orang tua laki-laki. Pada
suatu hari yang sudah ditentukan sesudah perkawinan, si isteri di
jemput oleh keluarga pihak laki-laki yang disebut gama'.
Harta milik bersama
Harta benda milik suami atau isteri yang
dibawa masing-masing pada saat menikah, atau harta benda salah seorang
yang diperoleh dari warisan atau pemberian, akan tetap menjadi milik
sendiri-sendiri, bila terjadi perceraian antara keduanya. Harta benda
yang rusak atau hilang selama perkawinan menjadi tanggungan bersama
(poyogaluman).
Perceraian
1. perceraian atau pemutusan ikatan perkawinan disesuaikan dengan
kesepakatan kedua pihak.
2. Sesuai dengan kehendak suami, bila si suami meninggalkan isterinya
dan menolak tikar atau bantal yang dikirim oleh isteri kepadanya
sesudah beberapa waktu.
3. Menurut kehendak isteri, bila si isteri pergi kepada keluarganya
dan tidak mau menerima kain yang dikirim oleh suami kepadanya.
Pada pemutusan ikatan perkawinan dengan persetujuan
kedua pihak, maka harta benda yang diperoleh bersama oleh suami
isteri, sering dibagi sama. Namun bila pemutusan ikatan perkawinan itu
disebabkan oleh salah satu dari keduanya, amak si yang bersalah akan
kehilangan hak bagiannya. Apabila si isteri yang bersalah, maka ia
harus mengembalikan maskawin bila sudah dibayarkan saat pernikahan.
Bila maskawin belum dibayarkan, maka keluarganya akan membayar denda.
Si isteri dinyatakan bersalah :
1. Apabila ia berzinah (nokitualing).
2. Apabila ia mencaci mertuanya, nunuton (mertua laki) atau
guya' (mertua perempuan).
3. Apabila ia meninggalkan tempat kediamannya.
Anak-anak
Sesudah perceraian, anak-anak biasanya tinggal bersma ibunya.
Tapi bila mereka mengetahui sebab-sebab perceraian, amak mereka dapat
memilih kepada siapa mereka ingin tinggal.
Perceraian antara suami isteri yang beragama Kristen, harus diputuskan
melalui pengadilan.
Dalam hal perpisahan karena suami meninggal, maka isteri yang
ditinggalkan belum boleh menikah lagi, sebelum diadakan kendurian
(monusa). Selama masa kematian, si isteri mendapat dari keluarga suami
apa yang disebut : pinobaluan (tanda berduka cita). Dalam agama Islam
masa penantian itu disebut : idah.
Hak warisan
Bila seseorang meninggal, meninggalkan
anak atau anak-anak, maka harta milik orang yang meninggal dan bagian
dari perolehan bersama, diwariskan kepada anak atau anak-anak. Bila
anak belum dewasa, maka warisan itu masih tetap dipegang oleh suami
atau isteri yang masih hidup.
Dalam hal suami isteri tidak mempunyai anak, bila suami yang meninggal
sedangkan maskawin sudah dibayar, maka harta milik bersama separuh
untuk si isteri dan separuh untuk keluarga pihak suami. Bila belum
dibayarkan maskawin karena pihak laki-laki tidak menghendaki
perkawinan ini, maka seluruh harta peninggalan menjadi milik si
isteri. Menurut "peraturan pemerintah Bersama tgl. 19 Agustus 1924
No.43, bahwa bila nilai harta milik yang diwariskan lebih besar dari
100 gulden (rupiah Belanda), maka pembagian warisan harus diputuskan
melalui "Majelis Kecil" yang ditunjuk oleh pemerintah. |
|
|
|
|
|