Bergoyang di panggung ‘digoyang’ di ranjang
‘BISNIS
LENDIR’ BERKEDOK PENARI LATAR
Oleh : Rayu/Noer
Begitu
melihat tayangan musik di layar televisi, seorang pria yang suka
‘jajan’ sempat berceloteh. “Lebih seru penarinya ketimbang
penyanyinya. Bisa dibuking nggak ya,”?
Tiga bulan lalu, di sebuah
diskotek di bilangan Jakarta Barat, diselenggarakan even peluncuran
sebuah produk jasa keuangan. Layaknya sebuah launching,
penyelenggara berharap agar dalam acara tersebut berkesan bagi klien
dan undangan.
Ditatalah satu acara
hiburan dengan menampilkan beberapa penyanyi ternama. Tentu saja,
agar tampil lebih semarak, tiap penyanyi diiringi beberapa
penari-dimasyarakat akrab dengan sebutan penari latar--, yang
keberadaannya belakangan memang makin marak.
Dengan dandanan seksi,
celana pendek warna biru muda yang hampir memperlihatkan setengah
pantatnya, dipadu busana yang hanya menutup bagian dada atau sengaja
memamerkan pusarnya, para penari latar yang rata-rata berbadan bagus
dan berwajah cantik itu meliuk-liuk mengikuti irama lagu.
Penonton terpukau,
termasuk seorang lelaki bermata sipit, dengan dandanan parlente yang
duduk tak jauh dari Exo, yang sejak kemunculan para penari tersebut
seakan tak berkedip memandangi lenggak lenggok tubuh para penari
yang cukup membangkitkan birahi. Sesekali, ia berbisik pada teman
lelaki yang duduk disampingnya, yang juga bermata sipit.
Tak sampai dua puluh menit
pertunjukan usai. Ketiga penari masuk ke belakang panggung, diikuti
tepuk tangan riuh pengunjung yang hadir malam itu. Lantas, apa yang
terjadi selanjutnya?
Di sebuah ruang ---belakangan
diketahui adalah ruang ganti yang khusus disediakan panitia--,
mereka berganti pakaian dan membenahi make up diantara keringat
terus mengucur.
Ditengah kesibukan mereka,
tiba-tiba pintu ruangan terkuak. Seorang lelaki bermata sipit yang
saat pertunjukan tadi terus memandangi para penari itu, muncul
dengan wajah sumringah dan terkesan sok akrab. Sejurus kemudian, ia
mulai berbasa-basi dan mendekati seorang penari --sebut namanya Lely
(30)--, sekaligus menanyakan salah satu sanggar yang katanya pernah
menjadi kliennya.
Sebuah ungkapan klise.
Ujungnya, lelaki tadi membisikkan sesuatu ke telinga Lely, yang
langsung dijawab dengan senyum khasnya. “Kalau memang bos tajir,
kenapa nggak. Mau lanjut kemana aja gue lakonin deh,” ujar Lely
memecah keheningan, diantara kesibukan teman-temannya yang sedang
berganti kostum, lantaran malam itu kelompok mereka kebagian jatah
menari dua kali.
Usut punya usut, rupanya
lelaki mata sipit tadi adalah ‘makelar’ yang mendapat mandat dari
bosnya untuk memburu sang penari latar.
Kala itu, pilihannya tepat
sasaran. Lely, yang menjadi incarannya tak menampik ajakannya untuk
‘lanjut’, bersama bosnya. Dalihnya, sekedar mengajak dugem. Meskipun
kelanjutannya, bukan hal yang mustahil jika urusannya beranjak ke
ranjang.
Setelah sepakat bertemu
usai pertunjukan, Lely berganti kostum dengan gaun yang lebih sopan,
namun tetap ‘mengundang’, untuk kemudian bersiap tampil di episode
kedua. Sementara lelaki bermata sipit tersebut, ngeloyor
pergi dengan hati lega. Keinginan bosnya untuk mengajak ‘cabut’
penari latar tersebut bakal terwujud.
Usai pertunjukan, Lely
menepati janjinya. Setelah pamit dengan teman-temannya, ia
meneruskan ‘perjalanan’, mengarungi malam entah kemana.
TAMBAH NILAI JUAL--Sepak
terjang Lely, mungkin hanya segelintir dari kiprah para penari latar,
dancer, a gogo atau apapun namanya, yang menjalani bisnis sampingan
dengan memanfaatkan keseksian tubuhnya. Tentu saja, tetap berlindung
dibalik profesi, yang justru mampu menaikkan nilai jual mereka.
Sadar atau tidak, ulah Lely tersebut sebenarnya akan mencoreng citra
penari latar.
Namun apa yang dijalani Lely atau mungkin teman-teman seprofesinya,
bukan tanpa alasan. Penampilan mereka yang selalu terlihat glamour
sangat mendukung mereka untuk menjalani bisnis miring tersebut.
Bayangkan, persaingam gaya hidup mereka lumayan tinggi. Mulai dari
busana hingga perangkat make upnya. Belum lagi ketika mereka harus
tampil di salah satu even, apa yang dikenakan mesti berkelas. Tentu
saja harganya cukup menguras kantong. Sementara pemasukan sebagai
penari latar kadang tak sebanding dengan biaya hidupnya.
Hafni Frisdiana (23), seorang penari latar yang sejak satu tahun
lalu bergabung dengan N Pro membenarkan tingginya biaya hidup penari
latar. Menurutnya, banjir job tari di stasiun-stasiun televisi
maupun di even-even, sebenarnya omzetnya sudah lumayan.
Namun bila harus terus menerus tampil dengan make up berkelas, dan
mengikuti mode yang tak akan ada habisnya memang kurang memadai.
Untuk itu, wajar saja bila ada penari latar yang memburu lelaki
hidung belang dengan menjual kepuasan di ranjang. Bila perlu
merelakan dirinya menjadi gundik bos tajir atau cukong yang mampu
mencukupi kebutuhannya.
Hafni sendiri mengakui, banyak orang awam yang mengatakan bahwa
penari latar ‘bisa dipakai’. “Saya yakin, mereka bukan hanya sekedar
berpendapat. Mereka pasti tahu dan pernah melihat ada penari yang
seperti itu. Apa lagi kalau ada even-even di diskotek atau kafe.
Tapi, kalau saya nggak pernah ada pikiran ke arah sana. saya sudah
sangat cinta dengan dunia tari. Jadi diminta untuk menari apa saja,
saya akan jalani. Tapi kalau nyambi begitu, nggak janjilah,” terang
Hafni.
Alasannya, kini tari
kontemporer sudah seperti industri yang memberi penghasilan lebih
baginya. Bila sedang banyak job, Hafni mengaku bisa mendapat Rp. 3-4
juta perbulan. Paling sepi, ia masih mengantongi sekitar Rp. 1-1,5
juta perbulan.
Tentu saja tidak semua
penari akan berpikiran sama dengan Lely. Bahkan diantara teman
seprofesinya, belum tentu puas dengan penghasilan seperti yang
diperoleh Lely. Hingga akhirnya, jalan pintas dengan menjual tubuh
dilakoni.
KEDOK PROFESI--Pada
gilirannya, cukup sulit membedakan konotasi penari latar. Sebab
belakangan, dengan semakin dibutuhkannya para penari, khususnya
sebagai pendamping penyanyi yang sedang ‘beraksi’, batasan penari
latar menyempit.
Penari latar akrab dipakai menyebut penari yang mengiringi penyanyi.
Dancer digunakan menyebut penari yang diiringi sajian musik. A gogo,
tari telanjang dan seabreg sebutan lain, mungkin lebih pas dipakai
untuk menyebut penari yang tampil erotis dan kabarnya ‘bisa dipakai’.
Lantas, apakah penari latar tidak termasuk dalam katagori tarian
erotis? Apakah tidak menutup kemungkinan mereka juga menjajakan
tubuhnya dengan berlindung di balik gelar penari latar yang
disandangnya? Bagaimana dengan keseksian tubuh yang terkadang
sengaja dipertontonkan?
Jawabannya pasti berbeda, mengingat penari latar, dancer, atau
penari telanjang sekalipun adalah bagian dari masyarakat yang
majemuk.
“Menurut saya, itu sah-sah saja. Karena bagi saya,
secantik-cantiknya seorang wanita, tidak akan terlihat kecantikannya
kalau kostum yang dikenakan tidak mampu memperlihatkan keseksian
tubuhnya,” ujar Novie A.Y. Sahidi pemilik sanggar N Pro yang ditemui
Exo Kamis (4/12).
Meskipun demikian Novie tetap berusaha untuk menyeimbangkan antara
permintaan klien dan keinginan para penarinya. Bila kliennya meminta
penarinya mengenakan kostum sensual, dia harus membicarakan dengan
penarinya terlebih dahulu.
“Kalau mereka tidak setuju, diusahakan lagi untuk menampilkan
pakaian sensual yang seperti apa. Jangan justru itu akhirnya malah
membuat penari risih dan nggak nyaman tampil di panggung,” papar
Novie.
Lalu, bagaimana dengan gadis-gadis penari yang bisa dipakai? Sebagai
Managing Director, koreografer, sekaligus penari di N Pro, Novie
bukan tidak mengetahui apa yang dilakukan para penarinya usai
memenuhi job tari. Namun demikian dia tidak ingin terlalu banyak
ikut campur urusan penarinya di luar panggung.
“Kalau saya ada job untuk mereka, mereka harus memenuhinya. Setelah
itu, mereka mau melakukan apa, silahkan. Diluar job tari urusannya
bukan grup, tapi perorangan,” terang Novie.
Ditambahkan bahwa dari sekitar 40 orang penari yang tergabung dalam
sanggarnya, tidak semuanya penari tetap alias penari freelance yang
boleh menari di mana saja mereka suka.
Kebebasan tersebut, bukan mustahil menjadi waktu luang para penari
latar tersebut untuk ‘bisnis lain’. Ada yang munafik, namun ada yang
justru bangga dengan ‘obyek’ sampingannya.
Mila (20) misalnya. Penari latar yang berstatus freelance salah satu
sanggar di bilangan Jakarta Pusat, sekaligus mempunyai jadwal tetap
di dua diskotek, masing-masing di Diskotek Mar, tiap Senin malam dan
Diskotek Stad tiap Jumat malam ini, kepada Exo yang menemuinya Senin
malam pekan lalu bicara blak-blakan seputar kiprahnya sebagai penari
yang nyambi jual tubuh.
Dalam pengakuannya, sudah sejak dua tahun silam, ia meninggalkan
kota kelahirannya Sukabumi, untuk kemudian menapakkan kakinya di
Jakarta, untuk meneruskan kuliah di salah satu Perguruan Tinggi
swasta ternama di Jakarta.
Sebenarnya, untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kebutuhan kuliahnya,
gadis yang kini tinggal dikawasan Pasar Rumput, Jakarta Selatan ini
sudah merasa cukup.
Namun persaingan mode yang terjadi diantara teman-temannya di kampus,
memaksanya untuk mencari uang tambahan. Lantaran siang hari ia sibuk
kuliah, akhirnya yang dipilih adalah mencari sampingan di malam hari.
Awalnya, Mila bekerja sebagai freelance disalah satu tempat hiburan
Korea di kawasan Kuningan Jakarta Selatan. Dari situlah dia mulai
mengenal lebih jauh tentang kehidupan malam, hingga kemudian ia
dipertemukan dengan seorang lelaki yang belakangan menjadi
pendampingnya saat show.
Bakat menari, sebenarnya telah dimiliki sejak kecil. Hanya saja tari
modern yang menurutnya telah tercampur unsur erotis, lantaran
mengikuti tren ibukota didapat dari seorang teman yang dulunya
berprofesi sebagai penari striptease.
Untuk upah menari di dua diskotek itu, Mila mengantongi bayaran
sekitar Rp. 1 juta untuk sekali show. Tentu saja nilai tersebut
dirasa tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya yang terus melambung.
PERANTARA MAKELAR--Lewat
lelaki --sebut namanya Dandy-- yang selalu mendamping saat show itu
pula akhirnya Mila melebarkan sayap, tidak hanya menari namun juga
menjajakan tubuh. Tugas Dandy, sukup ringan, yakni menjari bos yang
mau membuking Mila.
Modusnya gampang. Saat Mila menari, makelar mesum itu berkeliaran
dan menempel bos-bos yang berduit atau mereka yang terpana dengan
penampilan Mila. Ujungnya, ia akan menawarkan jasa sebagai perantara
alias makelar kencan mereka.
Tarif bervariasi. Mila tidak hanya mau dipakai memenuhi kebutuhan
ranjang, namun ia bersedia dibuking untuk menari yang lebih erotis
dan syur. Hanya saja, untuk urusan kedua, syaratnya lelaki yang
membukingnya harus menyewa room karaoke. Jadi, Mila tetap beraksi
dengan iringan musik.
Untuk tarif sekedar menari erotis, Mila mematok Rp. 500-1 juta
perjam. Untuk lanjut ke ranjang, tarifnya bisa mencapai Rp. 2 juta.
Harga yang mahal untuk sebuah kenikmatan di Jakarta yang tak pernah
‘tidur’ ini. Namun jika kepuasan tersebut diukur dengan melihat
bahwa profesi mereka adalah seorang penari, apalah artinya nilai
tersebut bagi seorang bos tajir.
Sementara itu untuk jadwal bukingan, umumnya dilakukan setelah
selesai manggung atau usai show. Meskipun demikian diakui Dandy
bahwa saat tidak ada acara manggung pun, Mila juga siap dibuking.
Jika mau jujur, apa yang dilakukan Dandy atau Mila, mungkin bukan
modus baru. Setiap ada show dengan dilengkapi penari latar, banyak
lelaki yang terpana dan berharap bisa mencicipi tubuh mereka.
Lewat jasa makelar itu pula akhirnya transaksi seks berlanjut. Sebab,
umumnya para penari sok jaga imej, meskipun faktanya secara pribadi
atau dibelakangnya, tak sedikit dari mereka memang menjalani profesi
sampingan tersebut.
Selanjutnya, jika belakangan keberadaan mereka makin menjamur,
tentunya tidak terlepas dari faktor pelengkap atau menghibur.
Keberadaan penari latar telah menyatu dan menjadikan suatu even
serasa hambar tanpa kehadirannya.
Sebaliknya, bagi lelaki hidung belang, menjamurnya komunitas
tersebut, menjadikan ‘agenda’ baru untuk kepuasan birahi.*
***
Lely (21)
DEMI
UANG
Oleh : Rayu
Wanita
berpinggul aduhai yang melakoni profesi sebagai penari sejak usia
lima belas tahun ini terang-terangan mengaku tak ingin melepaskan
apa yang kini dijalaninya.
Menurutnya, bekerja
sebagai penari merupakan cita-citanya sejak kecil dan telah mendapat
restu semua keluarganya. Hanya saja, bila pada akhirnya ia tertarik
melayani permintaan penonton yang tergoda dengan liukan tubuhnya di
atas panggung, tak lebih lantaran kebutuhan koceknya.
Meski demikian, tak semua
permintaan dilayani, terlebih bila lelaki yang tertarik padanya
adalah bos-bos tanggung yang hanya mampu memberinya Rp. 1 hingga Rp.
2 juta untuk sekali kencan.
“Gue maunya yang
bener-bener tajir. Jadi sesuai dengan profesi gue sebagai penari
berkelas. Kalau berani bayar lebih dari itu, gue pasti layanin,”
tutur perempuan yang sering melayani cukong dengan bayaran Rp. 3
juta untuk sekali kencan.
Tentu saja, untuk nilai
tersebut, servis yang diberikan meski seimbang. “Bayangin aja,
sebelum gue dibawa ke ranjang, gue disuruh nari erotis dulu. Yah,
karena uang yang dijanjikan gede, gue mau aja. Kalau nari erotis aja
mah bukan kerjaan sulit,” paparnya bangga.*
***
Yenny (22)
BIAYA
KULIAH
Oleh : Yadi
Namanya
Yenny (22). Dalam identitasnya, Yenny tercatat sebagai mahasiswi di
perguruan tinggi swasta di Jakarta pusat. Yenny mengaku melakukan
pekerjaan seperti itu, hanya untuk membiayai kuliahnya.
“Saya melakukan pekerjaan
seperti itu untuk membiayai kuliah. Orang tua saya sudah tidak mampu
lagi membiayai kuliah saya. Sebenarnya, saya mempunyai niat untuk
berhenti dari pekerjaan saya ini, tapi itu saya akan lakukan setelah
saya diwisuda,” ujar mahasiswi semester tujuh ini.
Selanjutnya gadis berdarah
Batak ini, mengaku bahwa profesi sebagai penari latar sekaligus
menjual kenikmatan untuk lelaki yang ingin mencicipi tubuhnya, baru
dilakoni enam bulan lalu.
Sebelumnya, Yenny bekerja
sebagai sales prmotion girl di salah satu counter pakaian di salah
satu pusat perbelanjaan di Mangga Dua, Jakarta Pusat. Lantaran gaji
yang didapatkannya tidak cukup untuk biaya kuliahnya, wanita
berkulit kuning langsat ini memutuskan untuk menjalani bisnis
sampingan tersebut.
Sebagai penari dengan
embel-embel mahasiswi, para lelaki hidung belang pun banyak yang
antusias untuk membokingnya. “Saya menerima tawaran tersebut, karena
pekerjaan itu tidak membutuhkan waktu berhari-hari. Cukup dengan dua
jam atau paling banter semalam penghasilannya sudah bisa dirasakan,”
tutur wanita yang mengaku mematok tarif sekitar Rp. 1 juta untuk
short time ini.*
***
Nungky Kusumaastuti, Dosen Tari IKJ
FAKTOR PERMINTAAN
Oleh : Rayu
Tampilannya
terlihat dewasa. Apalagi dalam menilai soal penari, Nungky sangat
menghargai dan mencintai para pelaku tari, siapa pun dia, termasuk
penari latar.
Menurutnya Penari latar,
menjadi penting juga kalau kemudian dia dikoreografikan, ditata
dengan baik dan dilakukan oleh penari-penari yang baik. Hal itu
bukan suatu yang pantangan, sesuatu yang jelek, atau sesuatu yang
tidak boleh. “Itu adalah hiburan yang juga disenangi orang,” ungkap
Nungky kepada Exo, Sabtu (06/12) di Taman Ismail Marzuki.
Namun demikian, menurutnya
lantaran ulah segelintir oknum penari sehinga muncul imej buruk yang
akhirnya turut disandang profesi penari latar. Lebih jauh Nungky
mengatakan hal itu tak terlepas adanya permintaan pasar. Selanjutnya
direalisasikan oleh oknum-oknum yang berlindung dibalik profesi
tersebut.
Itu yang seharusnya
disadari bersama. Konteks dan teks itu yang tidak bisa dipisahkan,
kalau ada permintaan harus ada pemenuhan. Itu yang akhirnya menjadi
satu kesatuan.
“Nah, sebaiknya dari pihak
televisi atau even organiser yang mengundang sebaiknya lebih kritis.
Untuk tidak muncul tarian-tarian yang berbau sensual yang akibatnya
membuat penonton iseng untuk meminta penari itu menjadi pelayan
ranjang. Inilah akhirnya yang merendahkan seni, khususnya seni tari,”
katanya.*
>>>Baca
juga:
JUAL TUBUH LEWAT MAKELAR..... |