Pengakuan primadona penebar dosa (2)
DEMI ANAK AKU SELINGKUH
Semasa SMU aku sang primadona. Kedekatanku dengan kepala
sekolah mendongkrak nilai ijazah. Saat kuliah, keintimanku dengan
dosen, mengubah nilaiku. Kebebasanku dengan teman kuliah mengubahku
jadi pembunuh tiga calon bayi yang tak sempat menghirup udara.
‘Madu’ itu kini jadi petaka.
Ringkasan kisah edisi lalu. Demi lulus sekolah aku
mengobral tubuh. Kepala sekolah dan tiga temanku sudah puas menjamah
tubuh ini. Dorongan gairah seksualku yang tinggi plus imajinasi liar
menggiringku menjadi pemuja birahi. Ketika kami menggelar acara
perpisahan kelas, Irvan, Faisal, dan Iqbal rebutan demi mereguk
surga semu dariku.
Pengaruh alkohol dan ganja telah mematikan rasa malu
tiga remaja itu. Mereka saling pamer ‘senjata’ di hadapanku. Ulah
mereka membuatku terbahak. Selanjutnya kami hanyut dalam pesta seks
tanpa skenario. Semua berjalan begitu saja hingga pagi menjelang.
Pengumuman hasil ujian sangat memuaskan.Aku bisa lulus
walaupun tidak dapat masuk Perguruan Tinggi Negeri. ‘Sumbangan’ Pak
Anwar dan ‘bantuan’ tiga arjuna muda itu menjadi modalku kuliah
Jurusan Akuntansi di PTS terkenal di kawasan Depok. Sebagai
imbalannya, tidak ada kata tidak jika diantara mereka ‘butuh’ diriku.
Setiap minggu, sedikitnya dua pria itu tenggelam dalam
pelukanku. Menjelang akhir semester pertama aku positif hamil.
Gilanya, aku sadar berbadan dua setelah usia janinku dua bulan.
Karena merasa ‘tanggung jawab’, keempat ‘pejantan’ku itu memberi
uang untuk ongkos aborsi. Irvan yang paling sering menyetubuhi ikut
mengantar ke klinik aborsi di kawasan Karamatjati, Jakarta Timur.
Dia juga sempat menemaniku tidur semalam di hotel menungguku pulih
kembali.
Sejak diriku hamil, Pak Anwar mulai atur jarak dan
jarang menghubungiku. Begitu juga dengan Iqbal dan Faisal yang sudah
punya hubungan serius dengan pacar mereka. Kondisi itu membuat isi
‘kas’ku menipis. Tidak ada jalan lain, aku terpaksa jual diri sambil
dugem di diskotek.
Irvan kembali tercengang begitu tahu aku hamil lagi.
“Lho, selama ini kita selalu pakai kondom, kok kamu bisa hamil,”
ujarnya tidak percaya. Memang benar apa yang dia katakan. Aku yakin
bayi dalam rahimku yang baru berusia dua minggu adalah benih
pelangganku, bukan darah daging Irvan. Setelah menolongku membunuh
janin itu, Irvan melupakanku.
Kenyataan pahit itu harus aku reguk sendiri. Rasanya
tidak mungkin setiap malam nongkrong di tempat hiburan demi
mengumpulkan uang kuliah dan biaya hidup. Akhirnya aku pamit kepada
ibu dan memilih kos di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. “Bu,
iseng-iseng aku jadi sales asuransi, jadi ada uang lebih untuk bayar
kos,” alasanku agar dapat ijin tinggal di rumah kos yang dibiayai
pria keturunan Cina pedagang barang elektronik di Mangga Dua.
Meskipun tidak setiap malam pria sipit dan gendut itu
tidur di tempat kosku, namun status gadis piaraan telah mengekang
langkahku untuk menikmati kebebasan. Baru tiga bulan jadi piaraan,
aku minggat dan pulang ke rumah. Ternyata aku salah perhitungan,
sebelum pisah, aku tidak sempat mengetes rahimku. Dua minggu pisah,
baru terasa ada janin lagi di dalam perutku. Sisa uang tabungan yang
lumayan banyak ludes untuk biaya aborsi.
“Ini aborsi yang ketiga.
Karena penuh resiko jadi biayanya mahal,” ujar calo aborsi di
kawasan Raden Saleh yang memboyongku ke klinik aborsi di kawasan
Bantar Gebang, Bekasi. Dalam kondisi kepept dan tanpa uang itu, aku
putuskan berhenti kuliah dan bekerja sebagai Sales Promotion Girl (SPG)
di kawasan mal Kalibata, Jakarta Timur.
KECANTOL PELANGGAN--Tiga bulan jadi SPG, aku kenal dengan seorang pria
setengah baya yang mengaku duda. Berawal dari saling senyum akhirnya
kami dekat dan menjalin hubungan asmara. “Surya,” ujar lelaki itu
ketika pertama kami kenalan. Surya yang punya usaha bengkel mobil
sederhana itu sudah lama menduda. Istrinya meninggal sesaat setelah
melahirkan anak pertama mereka. Tidak sampai satu minggu, bayi itu
menyusul ibunya.
“Aku sudah memutuskan hidup sendiri sampai mati. Tapi,
begitu bertemu kamu, aku berubah pikiran. Kamu sangat mirip mendiang
istriku,” paparnya sebelum menumpahkan keinginannya menikahiku.
Ibuku sangat mendukung aku segera menikah. Begitu juga dengan dua
kakak lelakiku yang mungkin sudah mencium siapa sebenarnya diriku
ini.
Pesta pernikahan kami berlangsung sederhana. Surya
mengajakku tinggal di rumahnya yang lumayan besar. Sesekali ibuku
menginap jika Surya keluar kota mengurus bisnisnya. Setahun telah
berlalu, namun belum ada tanda-tanda aku hamil. “Aku sudah terbukti
pernah punya anak. Coba kamu periksa ke dokter kandungan.
Jangan-jangan kamu mandul,” ujar Surya sebelum pergi ke Surabaya
dengan wajah kesal.
Sarannya aku turuti. Menurut dokter, aku termasuk wanita
subur hanya saja rahimku lemah lantaran sudah tiga kali aborsi.
Kenyataan itu aku rahasiakan. Demi melanggengkan perkawinanku, setan
telah menawarkan solusi gila.
Setiap Surya ke luar kota, dia selalu menyuruh
keponakannya yang kuliah di bekas kampusku. Namanya Adri,
penampilannya biasa saja. Kelebihannya hanya satu, dia dibekali Mr P
lumayan besar. Suatu pagi, aku sempat memergokinya sedang pulas di
sofa ruang tamu. Seperti pria normal pada umumnya, setiap pagi pasti
ereksi.
Celana pendek dari kaos
yang dikenakannya tidak mampu membendung isinya yang ereksi.
Terlebih dia tidak mengenakan celana dalam sehingga separuh dari
‘senjatanya’ mencuat keluar. Pagi itu aku dibuat pusing. Hasrat
wanitanya tergelitik. Rasanya aku ingin memperkosa pemuda itu. Namun
sangat mustahil. Dari semua pria yang pernah menggeluti tubuhku,
belum ada yang memiliki ‘senjata’ seperti milik Adri yang over size
itu.
Demi menuntaskannya, aku
terpaksa masturbasi di kamar mandi. Di saat melakukan seks swalayan
itu, aku teringat lagi pesan setan itu. Mungkin Adri bisa menanam
benih dalam rahimku sehingga perkawinan kami bisa diselamatkan. Tapi,
bagaaiman caranya, selama ini Adri selalu bersikap sopan padaku.
TERTANGKAP BASAH--Demi niat jahat itu, aku terpaksa pasang perangkap.
“Dalam waktu tiga hari, sebelum Surya pulang, aku harus menaklukkan
Adri,” demikian niatku. Cara pertama, aku sengaja meletakkan
beberapa keping VCD porno di dekat televisi. Aku tahu pemuda itu
suka memutar film sambil mengundang ngantuk. Jebakanku mengena.
Tengah malam aku dengan suara orang sedang bersetubuh dari film yang
dia putar. Aku sempat mengintip, sambil nonton dia memainkan
Mr.P-nya. Dia onani!!
Sengaja aku keluar kamar menuju kamar mandi mengenakan
daster tipis tembus pandang. Adri sempat kaget dan merapikan
celananya yang sudah turun sampai dengkul. Aku pura-pura tidak tahu
ulah pemuda yang sedang birahi itu. Keluar dari kamar mandi, kau
lihat dia sudah tidak ada di ruang tamu dan televisi sudah mati.
Pagi harinya, aku masih mengenakan daster semalam. Aku
layani dia rasapan pagi. Sesekali aku memergokinya sedang melahap
tubuh dengan bola matanya yang nanar. “Kamu nonton film apa semalam,”
pancingku. Dia gelapan kemudian bilang kalau dirinya tidak sengaja
memutar film porno. “Ah, nggak apa-apa kok. Pria seusia kamu sudah
pantas melihat dan melakukannya,” jawabku yang membuatnya terbelalak.
Sudah pukul sembilan malam Adri belum pulang kuliah. Aku
sengaja tidur-tiduran di sofa dengan pakaian tidur menantang tanpa
bra. Sementara di dilayar televisi aku putar film porno. Tidak
sampai lima belas menit aku dengar suara motornya. Aku pura-pura
tidur. Film syur itu tetap ‘tayang’.
Aku merasakan tubuh Adri sudah menindih tubuhku.
“Apa-apaan ini Adri. Aku ini tante kamu,” hardikku sambil pura-pura
menepis tangannya yang sudah meremas payudaraku yang masih kenyal
dan menantang. Adri tidak perduli, dia terus ‘memperkosaku’.
Akhirnya aku imbangi permainannya hingga orgasme dua kali.
“Ini rahasia kita,” ujarku ketika kami sarapan bersama.
Pemuda itu hanya mengangguk kemudian bangkit dan merangsangku. Pagi
itu kamu bersetubuh di atas meja makan. Dari pagi hingga menjelang
pagi lagi, kami habiskan untuk menuntaskan harsat jalang. Kami
istirahat hanya untuk makan dan membersihkan segala macam lendir
dari tubuh kami.
Sejak kejadian itu, Adri jadi sering menginap di rumah
kami. Bahkan dia sempat bilang kepada suamiku ingin tinggal bersama
kami lantaran dekat dengan kampusnya. Surya tidak memberikan
kepastian. “Nanti, aku tanya dulu ibu kamu,” jawabnya.
Kami selalu bersebadan di saat Surya tidak di rumah.
Bahkan kami juga sering melakukan seks isntan di dapur, samping
rumah atau di balik pintu di saat Surya nonton televisi atau baca
koran. Tidak jarang aku campurkan obat tidur di minuman suamiku agar
dia pulas dan kami puas. Dua bulan affair itu tidak membuatku hamil.
Suatu pagi, aku lihat Surya sedang menyiram tanaman di
halaman rumah. Sementara Adri masih tidur di kamar tamu yang selalu
digunakan ketika menginap. Aku menyelinap dan melahap benda lunak
namun tegak milik Adri. Seperti singa betina yang lapar, aku duduki
pemuda itu demi menggapai surga biru.
Tiba-tiba terdengar suar pintu ditendang. Sambil
mengacung-acungkan gunting rumput, Surya memaki kami yang sedang
bersetubuh dengan kondisi setengah bugil. Mungkin karena tidak ingin
msalah ini diketahui banyak orang. Surya langsung meredam emosinya
dan mengusir Adri. “Kamu tidak perlu kasih alasan. Kita cerai saja,”
hardik Surya padaku yang terduduk di pojok kamar sambil menangis.
Kini, lima bulan setelah peristiwa itu, dalam
kesendirian aku baru menyadari. Semua ini adalah karma bagi wanita
penabur dosa seperti aku. Tuhan tidak rela menitipkan bayi dalam
rahimku yang kotor. *Disarikan oleh Ara dari penuturan Ana di
Kalideres, Jakarta Barat (habis)
|