Ketika
Kau Sakiti Lagi Hati Kami
Oleh Nanang
Suryadi
Ketika para penggarong
uang negara yang telah menghabiskan pundi-pundi lumbung anak
negeri kau ampuni. Maka engkau telah menyakiti hati kami untuk
kesekian kali. Tapi kau tak pernah menyadari. Kau sakiti lagi.
Dan lagi. Dan lagi.
"Kalian aku ampuni. Diucapkan terima kasih atas kesadaran
untuk membayar hutang ke pundi-pundi lumbung anak negeri.
Kalian memang pahlawan sejati. Tahu diri. Mengerti kesulitan
negeri ini."
Tapi itu saja tak cukup. Kita harus membayar hutang kembali.
Ke negeri para gergasi. Karena pundi-pundi lumbung anak negeri
telah habis, di pesta pora tikus berdasi.Kau tak tahu lagi
langkah untuk mengisi kembali. Lalu: naikkan harga! naikkan
harga!
"Tarif naik saudara-saudara! Jangan boroskan pemakaian
listrik, telpon, dan minyak! Jadilah rakyat yang bijak. Prihatin
akan keadaan negeri yang sedang kehabisan pundi-pundi
"
Tapi, sungguhkah kau tahu: listrik, telpon dan minyak yang
kau naikkan harganya, menjadi bola bilyard yang kau sodok,
menghantam bola-bola mata kami. Lalu bintang-bintang bermunculan
seperti kunang-kunang yang berpendaran dari mata. Lagi-lagi
kau sakiti hati kami.
"Taatlah membayar pajak. Karena kalian adalah rakyat
yang bijak. Taatlah. Karena dengan membayar pajak, maka pembangungan
akan terus berjalan. Perekonomian akan terus hidup. Dan kalian
akan makmur sejahtera."
Ampun. Ampun. Jangan paksa kami untuk mati berdiri!
Depok, 9 Januari 2003
Wisata
Ke Bukit Tengkorak
Oleh Nanang Suryadi
Mungkin
ini hanya dongeng yang memasuki tidurmu sebagai mimpi buruk
yang menyeringaikan wajah yang buruk dan busuk. alkisah:
di sebuah lembah, yang tak akan kau kenali lagi sebagai lembah,
bergunung tengkorak. berjenis tengkorak dapat kau temukan
di situ. membukit. membukit. kami beri nama bukit itu sebagai
bukit tengkorak.
(pusat wisata bukit tengkorak, nikmati keindahan dari masa
lalu, sebagai hiburan bagi keluarga anda.)
entah sejak tahun berapa. entah di masa kapan. tengkorak itu
mulai menghuni lembah dan menjadi bukit. aku bayangkan burung-burung
nazar, gagak, kondor mematuki daging-daging yang lunak dan
mulai mencair dengan ulat belatung yang muncul dari sela-sela
mata dan udara yang pengap dengan bau anyir dan busuk.
(ah, tapi itu dulu, kini bukit tengkorak yang permai, menjadi
pusat wisata di negeri kami).
aku bayangkan: ribuan bahkan jutaan manusia, diangkut ke lembah
itu, mula-mula mereka diminta menggali lubang besar bagi pemakamannya
sendiri. lalu mereka ditusuk dengan bayonet, atau ditembak
dengan tepat di dahi, di dada kiri, atau biarkan ditendang
saja masuk lobang. di sebuah senja yang indah, saat matahari
tenggelam, di saat kelelawar keluar dari sarangnya, mengepak
dengan jerit di langit yang merah darah.
(ah, tapi itu dulu, kini bukit tengkorak demikian ramai dikunjungi,
para wisatawan berpoto bersama dengan senyum ditebar ke sana
ke mari.sebuah senyum, berarti devisa)
aku bayangkan: darah muncrat dari kepala dan dada. menyembur-nyembur
membasahi tanah. desis, rintih, dan raung memenuhi udara.
gelepar tak habis di setiap saat pembunuhan, pembantaian,
kekejian di senja yang demikian indah. di saat matahari menutup
tirainya.
(ya, ya, itu tercatat di brosur dan buklet yang kami bagikan
ke seluruh penjuru dunia lewat agen perjalanan wisata kami.
terima kasih bung, kami sediakan fasilitas hotel dengan jendela
terbuka menghadap bukit tengkorak. selamat berlibur
)
9 Januari
2003
Narasi
Pembantaian dan Nisan Tanpa Nama
Oleh Nanang Suryadi
seperti mimpimu:
nisan, sebuah batu duka, bertanda gambar tengkorak yang ditatah
di situ. tanpa nama. tanpa tahun kelahiran dan kematian. hanya
kengerian. terbayang di wajahmu. yang menziarahi dengan puisi
di suatu waktu. bagaimana dapat digambarkan kebuasan, kekejian
dan keliaran, dalam kata-kata.
pembantaian! bayangkan amis darah, anyir daging yang tersayat,
ditusuk belati, dilubangi peluru panas, luka nganga, dan ulat
yang menggeliat di sela-sela tulang dan patukan burung di
lembah terbuka. inilah kengerian yang memasuki sajak-sajak
yang hitam dalam kepak sayap gagak berputar meriuh di atas
padang-padang berserak mayat dengan mata yang tercungkil,
tangan yang hilang, kaki yang remuk dan daging dada serta
kepala yang mengelupas tercabik-cabik di paruh burung gagak
dan nazar.
jika malam tiba, rasakan dingin udara, hawa kematian dan terbayang
hantu-hantu berkeliaran, ingin mencekik lehermu yang merindingkan
sebulu-bulu pada tubuhmu, hingga tak sadar bau pesing menguar
dari celana.
mimpi ini demikian buruk, katamu. sambil mencatat sajak di
duka batu. nisan tanpa nama. puisi hitam. mimpi kelam di hitam
malam.
depok, 9 Januari 2003
>> puisi
- Seribu
satu pelangi bercahaya dalam dadaku, Syuhada,
Palestina Menjadi Cahaya:
Wida Sireum Hideung
- Pada
Penggalan Masa, Syair Burung Rawa-rawa, Tafakur
Diri :
Prakoso Bhairawa Putera
- Ketika Kau Sakiti Lagi
Hati Kami, Narasi Pembantaian dan Nisan Tanpa Nama, Wisata
ke Bukit Tengkorak : Nanang
Suryadi
- Sajak
Untuk Sang Ustadz, Renungan hari Lahir
: Doni
Riadi
- Ayah
: Hida
- Kalau
Aku Menamakan, Biarku Merenung :
Maya Hayati
- Dalam
Suaranya, Mengharap Abadi, Cahaya Rumah Kami :
Maya Hayati
- 2001-01-01 :
Imam Nur Azis
- Riskannya Aku Mencintai-Mu, Harakiri Bimbang, Hilang:
Alqawmany
|