Pada segmen masyarakat
yang berpendidikan dimana surat kabar telah menjadi kebutuhan
primer, membaca kolom-kolom seperti analisis, opini, wacana
atau artikel menempati tingkat kewajiban yang sama untuk dikonsumsi
seperti halnya mereka mengkonsumsi berita-berita terbaru.
Selain karena untuk memenuhi kebutuhan intelektual mereka,
opini di surat kabar telah menjadi alternatif pilihan ketika
mereka tak sempat membaca buku karena keterbatasan waktu senggang.
Opini di surat kabar
dapat mempengaruhi paradigma, sikap atau penilaian masyarakat
terhadap isu yang sedang hangat dibicarakan, bahkan terkadang
opini tersebut mewakili opini masyarakat kebanyakan. Sehingga
tidak jarang, pengambilan-pengambilan kebijakan terinspirasi
dari muatan opini tersebut.
Menulis opini itu memang
mudah, namun menulis sebuah opini yang berkualitas itu adalah
persoalan lain. Dimulai dari proses penjelajahan ide, penentuan
perspektif atau sudut pandang, pemilihan kalimat, lalu merangkainya
menjadi paragaraf-paragraf menjadi sebuah kesatuan tulisan
yang enak dibaca, adalah sebuah proses yang dilalui dengan
tidak sederhana. Didalamnya terkandung intisari pengetahuan
dan paradigma yang merepresentasikan kapasitas pengetahuan
dan pola pikir yang kita miliki sepanjang masa usia kita.
Adanya perbedaan pandangan
atau pemikiran dalam menyikapi suatu isu adalah sebuah keniscayaan
dalam menulis opini. Dari sanalah justru lahir benturan-benturan
pemikiran yang sebenarnya bermuara kepada pencerdasan wacana
dan pendewasaan kita dalam mengambil sikap serta penumbuhan
kultur diskusi, dialektika atau debat wacana sehingga dapat
mengeliminasi pola-pola primitif yang mengandalkan kekerasan
sebagai satu-satunya solusi.
Dalam konteks jurnalistik
Indonesia saat ini, dimana kaidah-kaidah umumnya masih mengutamakan
unsur keanehan, sensasi, konflik dan pertikaian sebagai sebuah
isu yang renyah, maka ide jurnalisme perdamaian
patut menjadi ide yang perlu didukung dengan sepenuh hati,
termasuk dalam hal menulis opini. Ide perdamaian yang dimaksud
bukanlah diartikan sebagai bentuk kompromisitas nilai-nilai
kebenaran terhadap kebatilan tetapi, perannya sebagai mediator
conflict resolustion, menulis isu dengan berbagai perspektif,
memahami sudut pandang pihak lain bahkan empati, mengatasi
prasangka dan kecurigaan, serta dorongan untuk mengevaluasi
ulang pola pikir dan sikap dasar yang terbentuk semula, menuju
sebuah kondisi masyarakat yang lebih sehat dan berperadaban.
Komunitas ini dibentuk
berdasarkan idealisme pemikiran diatas, menjadikan ide jurnalisme
perdamaian atau jurnalisme perbaikan atau profetik, yang berlandaskan
nurani atau anggukan universal meminjam
istilah Ary Ginanjar Agustiansebagai dasar menulis opini.
|