Tempat Hiburan Tetap Marak
SK GUBERNUR DICUEKIN
Oleh : Zul/Noer
Minggu
pertama bulan puasa SK Gubernur Sutiyoso ampuh. Semua tempat hiburan
tutup. Setelah itu, banyak tempat hiburan yang diharamkan beroperasi
tetap buka. Para pemuja dunia gemerlap (dugem) kembali dimanja.
Fenomena yang tidak pernah
luntur dan terjadi saban bulan puasa adalah boleh tidaknya tempat
hiburan beroperasi. Beragam komponen dan institusi menelorkan
argumennya. Ada yang setuju, namun tak sedikit yang menampik.
Meskipun telah ditelorkan
Keputusan Gubernur DKI Jakarta nomor 87 Tahun 2003, tentang
Penyelenggaraan Usaha Pariwisata Selama Bulan Ramadhan dan Idul
Fitri, faktanya tak menyurutkan nyali pengusaha hiburan untuk tetap
bandel beroperasi.
Nada miring meluncur.
Pemerintah terkesan diskriminatif, atas keputusan tersebut. Atau
jangan-jangan ada sesuatu yang disembunyikan di balik keputusan
‘lentur’ yang tetap mengijinkan tempat hiburan yang berada di hotel
berbintang untuk tetap beroperasi? Bahkan untuk hiburan tertentu
yang tidak menutup kemungkinan dijadikan ajang maksiat alternatif,
seperti karaoke malah tetap diijinkan beroperasi dengan ketentuan
jam tutupnya diperpendek.
“Penutupan tempat hiburan
pada bulan puasa tahun ini, mengikuti aspirasi tokoh masyarakat dan
agama yang tidak setuju tempat hiburan beroperasi. Mereka menganggap
bukanya tempat hiburan di bulan puasa, akan menganggu umat Islam
beribadah. Atas pertimbangan itu, Gubernur Sutiyoso memutuskan semua
tampat hiburan tidak beroperasi pada bulan suci ramadhan, kecuali
beberapa jenis hiburan atau tempat-tempat hiburan yang berada di
hotel berbintang tetap boleh operasi, namun ada aturan khusus yang
wajib ditaati,” terang Sarno Sadingun, Bagian Humas Dinas Pariwisata
DKI Jakarta kepada Exo pada Senin (03/11) lalu.
Menurutnya keluarkan SK
tersebut berdasarkan pertimbangan matang dan berdasarkan masukan
tokoh agama, masyarakat dan semua pihak termasuk Asosiasi Pengusaha
Hiburan Indonesia (Aspehindo) yang mewakili pengusaha hiburan.
Pertimbangan lain adalah faktor keamananan, mengingat berkaca dari
tahun 2001, banyak ‘penyerbuan’ oleh beberapa elemen masyarakat
terhadap tempat hiburan yang dianggap bermasalah.
Sesuai SK itu, tempat
hiburan yang harus tutup adalah klab malam, diskotek, mandi uap,
panti pijat dan segala aktifitas di dalamnya, permainan mesin keping
jenis bola ketangkasan, klinik kesegaran jasmani atau panti
pengobatan tradisional, bar, dan musik hidup.
Sementara tempat hiburan
yang boleh beroperasi adalah usaha karaoke, biliar dan tempat
hiburan yang berada di hotel berbintang, namun jam operasionalnya
dibatasi mulai pikul 20.30-00.30. “Tempat hiburan di hotel
berbintang seperti, karaoke, musik hidup dan sebagainya merupakan
fasilatas hotel berbintang,” lanjut Sarno
Pemilahan
seperti itu tentu saja memunculkan opini di masyarakat maupun
kalangan yang merasa ‘dibedakan’. “Kebijakan itu mencerminkan
pemerintah tidak memperhatikan aspirasi orang kecil. Kenapa musik
hidup, seperti dangdut dianggap merusak moral sehingga dilarang buka
pada bulan puasa. Keputusan itu sangat keliru,” tandas Adrian
Maelite, Sekjen Aspehindo.
Adrian menambahkan,
banyak orang kecil mencari hidup dengan cara menyanyi dangdut. Kalau
memang merusak moral kenapa televisi swasta masih terus menayangkan
musik dangdut. Itu juga musik hidup. Mengapa mereka tidak melarang
dengan SK tersebut. “Keputusan itu sangat diskriminatif,” cecarnya.
Disamping itu Adrian
beralasan bahwa musik hidup sama halnya jenis hiburan lain yang juga
turut memberikan kontribusi pendapatan asli daerah (PAD). “Justru
jenis hiburan seperti inilah yang meraup banyak kocek. Boleh jadi
mereka adalah objek pajak yang besar, yaitu masing-masing dikenai
tariff 30% dari keuntungan per bulan,” terangnya. Untuk masalah satu
ini, setidaknya 70% pendapatan pajak telah raib.
Dengan ditutupnya tempat
hiburan selama bulan suci, pemerintah kehilangan sebagian ‘rezekinya’.
“Kebijakan ini membuat pemerintah kehilangan sumber pajak Rp 2
miliar,” ujar Deden Supriyadi Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda)
DKI Jakarta.
Hitung-hitungan
kerugian pajak itu diperoleh dari rata-rata pendapatan empat jenis
pajak hiburan per bulan. Angka itu diperoleh dari night club atau
bar per bulannya menyerap Rp 182 juta. Diskotek atau live music
sedikitnya Rp 750 juta. Panti pijat dan mandi uap Rp 482 juta. Bola
tangkas menduduki peringkat tertinggi, Rp 802 juta.
Menyoal pajak dari tempat hiburan Eggi Sudjana, Raja Demo yang
semasa Orde Baru dikenal sangat vokal malah menyorot lain. “Kan
pajak pendapatannya tidak hanya dari situ. Justru kreatifitas
gubernur untuk meningkatkan pajak jangan dari hiburan dong. Hiburan
itu harus dilihat sebagai pelengkap saja. Itu kekeliruan besar. Jika
gubernur tidak pintar, apa jadinya,” tutur Eggi.
Menurutnya pendapatan pajak di Jakarta, bisa dari rumah-rumah mewah,
kamar hotel, travel, dan banyak hal lain yang tidak harus
bergantung dari tempat hiburan saja.
Sementara itu Binsar Tambunan, Anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta,
menyorot dampak penutupan tempat hiburan dari sisi pekerjanya.
Menurutnya, seharusnya pengusaha hiburan tidak keberatan menyisihkan
keuntungannya selama 11 bulan untuk membayar gaji karyawan yang
libur pada bulan puasa. “Masak membayar gaji karyawan satu bulan
saja keberatan,” katanya.
Masalah ini yang seharusnya turut diperhatiakan pengusaha hiburan.
Disamping mengeruk keuntungan, mereka harus siap untuk memperhatikan
kesejahteraan karyawannya.
DUGAAN
KONGKALIKONG--Demi
merealisasikan SK Gubernur itu, Pemda DKI Jakarta melibatkan 10 Tim
untuk mengawasi tempat hiburan yang dianggap membandel. Tim tersebut
terdiri dari unsur-unsur ormas dan instansi terkait, seperti Dinas
Pariwisata, Trantib, Dinas Sosial, Dispenda, Walikota, dan
Kepolisian.
Banyaknya institusi yang mengawasi tempat hiburan itu diharapkan
agar oknum yang memanfaatkan situasi dari tempat hiburan itu bisa
dihindari. Termasuk terjadinya ‘kongkalikong’ antara oknum aparat
dengan para pengusaha hiburan.
Sejak awal Ramadhan, dalam catatan Dinas Pariwisata, tim pengawas
telah menindak 12 tempat hiburan di seluruh wilayah DKI Jakarta.
Dari 12 tempat hiburan yang melanggar itu diantaranya adalah
Diskotek Olympic dan Discotik Manhatan. Keduanya dianggap melanggar
SK gubernur tentang penutupan tempat hiburan hari pertama bulan
puasa, sekaligus melanggar jam operasi yang telah di tentukan.
Dalam hal ini pihak Dinas Pariwisata telah menyerahkan masalah
tersebut pada pihak Trantib. Semua tempat itu hingga kini masih
diselidiki aparat. “Jika terbukti mereka melanggar maka izin
operasinya akan di cabut ,” papar Sarno Sadingun, Bagian Humas Dinas
Pariwisata DKI Jakarta.
Sarno menduga ada oknum yang membekingi tempat hiburan tersebut.
Kemungkinan terjadi kongkalikong sangat besar. Namun pihaknya akan
terus melakukan penyelidikan.
Bila perlu pencabutan izin akan segera dilakukan. Pertanyaannya,
beranikah hal itu benar-benar dilaksanakan? Ini yang hingga kini
belum terjawab. Sebab hingga hari ke-11, banyak sekali tempat
hiburan yang tetap menggelar ‘dagangannya’.
Dalam penelusuran Exo, dunia malam di Jakarta hanya lumpuh sementara
alias satu malam saat puasa hari pertama. Bahkan saat malam itu, tak
kurang dari tiga diskotek tetap beroperasi. Bahkan sampai hari ke
11, hiruk pikuk ‘kerajaan’ yang kental dengan musik house, dangdut,
plus aroma minuman keras yang menyengat, sontak bangkit kembali.
Di Jakarta Barat yang
menjadi barometer hiburan Jakarta hanya terjadi perubahan sedikit
dibanding hari biasa. Meskipun sepanjang Jalan Mangga Besar nampak
lengang, namun beberapa tempat hiburan tetap beroperasi.
Di motori Karaoke dan
Diskotek Olimpic, di kawasan Lokasari Mangga Besar yang buka hingga
pagi hari. Selebihnya memilih hanya mengopersikan karaokenya.
Diantaranya karaoke di Hotel Sehat dan di Hotel Arwana.
Sementara diskotik yang
biasanya nyaris tak pernah sepi, seperti Miles, Exotic dan Siera
memilih tutup. Hanya saja di Siera diskotek tetap buka, namun hanya
permaian Bingo yang lebih mirip areal perjudian.
Beberapa lokasi yang pada
hari biasa menjajakan musik hidup, seperti Jakarta-Jakarta, F1 Club
dan Pub Hotel Regal memilih tutup. Praktis aktivitas malam di
kawasan Mangga Besar mengumpul di Diskotek Olimpic. Tak ayal,
pengunjung yang datang tumpah ruah. Bahkan parkir mobil menjadi
sesak dan meluber hingga ke jalan raya.
Masih di daerah Jakarta
Barat, di bilangan Kota, hiburan malam berpusat di diskotek Gudang,
Jalan Kalibesar Jakarta Barat yang juga memilih beroperasi hingga
pagi hari. Sama seperti suasana di Diskotek Olimpic, Diskotek Gudang
diserbu pengunjung yang hendak dugem ria. Jalan di depan diskotek
dibuat macet total.
Padahal saat Exo
bertandang bukanlah malam libur atau malam minggu. Suasananya malah
melebihi malam minggu. Beberapa petugas berseragam biru dengan rompi
oranye tampak turun ke jalan mengatur lalu lintas. Parkir mobil
berderet-deret hingga sejauh radius 200 meter.
Diskotek Athena memilih
tutup. Bahkan Venus Club yang terletak di pusat perjuduan Asemka
juga memilih tutup. Tidak hanya itu. Di bilangan Komplek Kota Indah,
Jalan Pangeran Jayakarta yang dikenal dengan saranganya musik hidup
dan panti pijat, rata-rata memilih tutup. Jika ada yang buka,
mungkin hanya sebagian tempat saja.
Sementara
itu di kawasan merah Hayam Wuruk Jakarta Barat, lebih didominasi
usaha karaoke yang beroperasi. Diskotek Rajamas dan Diskotik 1001,
hanya mengoperasikan karaokenya. Bahkan Diskotek ML, yang dikenal
saranganya para gay Jakarta malah memilih tiarap. Di lingkungan
Stadium, hanya nampak beberapa mobil yang terparkir. Namun beberapa
tempat karaoke yang mengitarinya terpampang tulisan open.
Hanya saja, untuk
pelacuran sepanjang Hayam Wuruk tetap marak. Hingga menjelang sahur,
beberapa pelacur tetap mangkal. Yang paling kentara adalah di
perempatan Hayam Wuruk, Gajah Mada, mereka menjalankan aktivitasnya
seperti hari biasanya.
Di Jakarta Utara sedikit
yang memilih beroperasi. Hailai, yang dikenal diskotek kaum elit
hanya mengoperasikan karaokenya. Pun dengan Cleopatra di daerah
Sunter. Hanya saja, Nav, sebuah karaoke keluarga dibilangan
Boulevard Kelapa gading tetap memilih buka dan menjadi maskot tempat
hiburan di Jakarta Utara.
Tempat yang paling tak
tersentuh adalah kawasan pelacuran kalijodo, berbatasan dengan
Kelurahan Pejagalan, Penjaringan, Jakarta Utara. Praktik perjudian
atau prostitusi tetap berjalan seperti biasa. Kendaraan roda dua dan
empat memadati areal parkir dan dijaga lima hansip.
Dari tempat parkir,
terdengar jelas suasana riuh para penjudi, pria dan wanita. Kepulan
asap rokok menghalangi sinar lampu neon tampak menyertai ratusan
penjudi yang mengelilingi meja. Ada tiga jenis permainan yang
disediakan.Yakni bola setan atau ping-pong super, liung fu dan pay
kiu.
Di bilangan Jakarta
Selatan hampir semuanya tutup. Tak kurang dari A&B dibilangan Blok
M, hingga beberapa restoran Korea dan Jepang yang biasanya
beroperasi hingga dini hari. Bahkan sebuah pub dangdut yang berada
di areal Blok M mall juga memilih tutup.
Namun beberapa tempat
karaoke di hotel Kaisar, Maharani, dan Maharadja tetap beroperasi,
meskipun bubar dalam waktu yang lebih cepat.
Di Jakarta Timur, lumayan
parah. Boston Kafe yang berada di komplek pertokoan Bonagabe Kampung
Melayu yang menyajikan live musik tetap buka. Bahkan Mega Dangdut
yang berada di Jalan Matraman Raya, turut mengoperasikan usahanya.
Tak jauh dari Mega Dangdut,
Diskotek New Matra 21 juga tak takut disegel. Bahkan dampak dari
beroperasinya diskotek tersebut, para wanita penjaja cintanya
meluber hingga ke jalan. Masih di bilangan Jakarta Timur, wanita
yang meluber ke jalan raya nampak di daerah Jatinegara hingga
Prumpung. Puluhan PSK masih terlihat beroperasi. Mereka mangkal
disekitar stasiun Jatinegara dan taman serta halte Prumpung.
Di Jakarta Pusat tak kalah
berani. Di dominasi dari Group Menteng, Diskotek Marimba dan Matoari
Kafe di Hotel Sentral, Jalan Pramuka, Jakarta Pusat, Diskotik Hotmen,
Diskotek Three Horse memilih buka, namun hanya sampai pukul 02.00.
Di luar itu Tobasa II,
music lounge yang berada di Hotel Pardede juga memilih beroperasi.
Bahkan Diskotek Manhattan yang berada di Hotel Borobudur malah
menjadi maskot untuk wilayah Jakarta Pusat.
Saat Exo bertandang Rabu
malam pekan lalu, satu mobil sedan polisi dan satu kijang tentara
nampak terparkir tak jauh dari areal diskotik. Beberapa tentara dari
salah satu kesatuan itu dengan menenteng handy talki, nampak konkow
di pos satpam. Mereka terlihat akrab.
Uniknya, di perempatan
kawasan niaga Atrium ada suasana lain. Di pojok perempatan malah
dijadikan areal mangkal beberapa wanita malam dengan dandanan seksi.
Sementara itu para
waria juga tak mau ketinggalan. Di Taman Lawang dan pertigaan
Kuningan, yang menjadi basis mereka mangkal tetap seperti biasa.
Mereka tetap melambai menggoda pengemudi yang lewat dengan pelan
dikawasan ini.
Sebaliknya suasana yang
hampir sama juga tampak di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Puluhan
‘lelaki’ mangkal di dalam mobil atau sesekali berkeliling mengitari
patung Pembebasan Irian Barat. Mereka bukan waria melainkan pelacur
pria alias gigolo yang mejeng diantara gay bayaran.
Jika pemerintah getol
melakuakn razia, mungkin hanya di awal-awal bulan puasa. Selebihnya,
faktanya mengatakan lain. SK Gubernur dicuekin. Atau lantaran SK itu
sendiri dirasa masih kurang komplit? Faktanya, tripping atau mesum
bisa dilakukan di ruang karaoke yang lolos dari SK Gubernur.*
***
Drs. Andrian Maelite, Sekjen Aspehindo
KEBIJAKAN DISKRIMINATIF
Oleh : Zul
Apakah
Anda akan memperkarakan SK tersebut?
Untuk ke depannya kita minta, gubernur janganlah mengatur hal
demikian. Serahkan saja pada masing-masing orang dan gubernur
tinggal memantau. Kalau hanya alasan moral dan menganggu ketenangan
beribadah jangan asal tutup. Keputusan itu tidak di kaji. Tapi
sudahlah ini merupakan suatu kebijakan. Nanti, kita di anggap tidak
taat hukum.
Berapa
pajak tempat hiburan setiap bulan?
Kurang lebih Rp 34 miliar. Kita juga menampung lebih dari 230 ribu
karyawan.
Apakah
hal itu yang akhirnya membuat pekerja tempat hiburan, khususnya
wanita malam berkeliaran di jalan?
Soal itu saya tidak tahu persis. Namun perlu diketahui tingkat
pendidikan pekerja tempat hiburan itu rata-rata rendah. Mereka tidak
bisa bekerja selain bekerja di tempat hiburan. Kadang-kadang mereka
janda dan mempunyai anak lebih dari dua orang.
Kalau mereka tidak bekerja bagaimana mereka harus menghidupi
anak-anaknya. Kalau memang benar banyak yang mencari nafkah dengan
cara menjual diri di pinggir jalan karena kebutuhan mendesak bisa
saja itu terjadi. Tempat mereka cari nafkah tidak boleh beroperasi.*
***
H. Ahmad
Shabri Lubis, Sekjen FPI
SEMUA HARUS TUTUP
Oleh : Zul
Tanggapan
Anda tentang SK Gubernur No 87 tahun 2003?
SK
Gubernur saat ini lebih baik dari tahun sebelumnya. Namun,
sebenarnya masih tanggung, karena masih ada jenis hiburan, yang
boleh beroperasi, seperti, karaoke. Meski jam operasinya
dipersempit, tapi karaoke juga menjadi alternatif transaksi
bermacam kegiatan maksiat, pelacuran hingga narkoba. Jadi semua
harus ditutup, termasuk tempat hiburan yang ada di hotel berbintang.
Kami tidak memusuhi tempat hiburan. Tapi kami memusuhi kemaksiatan.
Banyak
tempat hiburan yang membandel. Tangapan anda?
Itu salah satu kelemahan dari SK yang di terbitkan Sutiyoso. Karena,
masih ada tempat hiburan seperti karaoke yang diperbolehkan
beroperasi, boleh jadi pengusaha hiburan berdalih buka karaoke
tetapi di dalamnya membuka hiburan lain seperti diskotek. Bahkan
dari investegasi FPI, banyak tempat hiburan yang pintunya di tulis
tutup ternyata didalam tetap beroperasi.
Aspehindo sepertinya kurang menerima keputusan itu?
Menurut saya itu, adalah pernyataan orang yang tidak mengerti arti
negara. Negara itu, berhak mengatur kekuasaan. Kalau kita, tidak ada
yang mengatur apa jadinya negara ini.*
***
Eggi Sudjana
MAIN SOGOK
Oleh : Noer
Dalam
kacamata Eggi Sudjana kalau masih banyak tempat hiburan yang
beroperasi di bulan suci, disinilah ujian bagi Pemda untuk bertindak
tegas. Gubernur dalam hal ini harus konsisten. “Masyarakat ingin
melihat konsistensi para pejabat. Kalau keputusan gubernur tadi
tidak diindahkan oleh para pengelola tempat hiburan, itu termasuk
pelecehan struktural. Harus ditindak tegas,” tandas Eggi.
Menurut Eggi, saat ini masih ada asumsi yang mengacu pada konsep
tidak adil, dengan diperbolehkannya beberapa tempat hiburan yang
tetap beroperasi. Dalam hal ini gubernur juga harus lebih jeli
memandanganya. Sebab hukum itu tidak boleh diskriminatif. Hukum
tidak boleh pandang bulu.
“Kalau memang mengatur soal itu, tingkat hotel berbintang atau nggak
harus dilarang. Mereka punya tingkat ketaatan yang sama. Oleh karena
itu, himbauanya bagaimana gubernur membut hukum yang tidak
diskriminatif itu. Hal itu harus dibeberkan sedemikian rupa dan
perlu dilacak lebih jauh kenapa terjadi diskriminatif. Jangan-jangan
pengusaha hotel itu nyogok (menyuap-red), hingga akhirnya tetap
boleh beroperasi,” lanjut Eggi
Idealnya semua tempat hiburan harus tutup. Bahkan di luar bulan
puasa mestinya juga harus tutup. “Kan ada usaha lain yang lebih
baik,”tambahnya. Landasannya adalah moral. Jika Gubernur konsisten.
Keputusan yang sudah dibuat dijalankan. Mereka yang melanggar
ditindak tegas. Tentu masyarakat tidak akan memandang negatif.*
>>>Baca juga:
'KAMPUS' PELACUR IBUKOTA.... |