‘KAMPUS’ PELACUR IBUKOTA
Oleh : Rayu
Buntut
dari Surat Keputusan (SK) No. 87 tahun 2003, tentang
larangan beroperasinya tempat hiburan selama bulan Ramadhan,
terasa di Panti Sosial Bina Karya Wanita Harapan Mulya Kedoya.
Jumlah penyandang masalah sosial yang masuk panti bertmabah bantak.
Itu terjadi lantaran wanita penghibur yang tidak punya tempat mejeng
malah ‘banjir’ ke jalan.
Panti Sosial yang akrab sidebut panti Kedoya berlokasi di Jalan Kembangan
Raya, No. 3, Kedoya Selatan, Jakarta Barat. Ada satu tempat lagi
yang memiliki fungsi nyaris sama, yakni Panti Sosial Bina Insan 02,
Cipayung. Umumnya penghuni kedua tempat ini adalah mereka yang
melanggar Peraturan Daerah No. 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum.
Panti Kedoya berdiri di atas lahan seluas 24.678 M3 yang di
sekelilingnya dibatasi pagar setinggi 1,5 meter. Di dalamnya
terdapat tiga bangunan bertingkat yang tampak seperti rumah-rumah
hunian. Sementara dua bangunan lain adalah Mushala dan bangunan
panjang yang diperuntukkan sebagai dapur yang juga berfungsi untuk
ruang makan.
Siang itu berbeda dengan hari-hari biasanya. Maklum saat itu para
penghuni panti baru saja selesai ujian tata boga. Saat memasuki
bangunan rumah pertama, pemandangan yang terlihat adalah wajah lelah
sekaligus semangat untuk bisa lulus dari ujian tersebut. Tampaknya,
keinginan untuk lulus sama besar dengan keinginan untuk keluar dari
panti, berkumpul lagi dengan keluarga.
Mungkin karena setelah beberapa jam lelah di dapur dan berkutat
dengan telur dan tepung, di siang hari para wanita dari berbagai
usia tersebut berleha-leha di depan televisi 21 inchi di ruang tamu.
seorang di antara mereka langsung mematikan televisi saat Exo datang.
Dia berusaha duduk manis meski daster yang dia kenakan tidak mampu
menutupi paha mulusnya.
Setelah berbincang sejenak, tampak jelas rasa minder, seperti ingin
menutup diri dari orang-orang yang belum dikenal. Ana (19),
misalnya. Wanita bertubuh tambun dan berkulit sawo matang ini
mengatakan benar-benar ingin lepas dari dunianya sebagai wanita
penjaja cinta. Dia mengaku sudah lelah karena juga pernah dijaring
petugas Trantib saat mangkal di Pos 9, Tanjung Priuk, Jakarta Utara
dan dikirim ke Panti Sosial Bina Insan 02, Cipayung.
Sejak
menjadi janda untuk yang kedua kalinya, Ana merasa sangat patah hati.
Suami pertama meninggal dunia dan suami kedua pergi begitu saja
setelah memberinya satu orang anak. Karena sakit hati, Ana mejeng di
Pos 9 untuk jual diri.
Ruang tamu panti itu cukup luas dan nyaman. Di sebelah kanan
terdapat dua pintu menuju kamar yang berbentuk seperti sal rumah
sakit. Di dalamnya tersedia sepuluh tempat tidur bertingkat dua
berhadapan dengan lemari pakaian. Lebih ke belakang tersedia kamar
mandi dan WC.
Masing-masing kamar diisi dua puluh penghuni. Di sebelah kiri ruang
tamu terdapat dua kamar yang sama dengan penghuni yang juga
berjumlah sama. Di tengah-tengah ruangan terdapat tangga menuju
lantai dua yang di atasnya tersedia empat kamar. Untuk sementara
kamar di lantai atas kosong. Menurut seorang penghuni, pada
hari-hari biasa tempat tersebut sepi, karena jarang ada penangkapan.
Menurut Aseli Husin, seorang pengurus panti, volume penerimaan para
penyandang masalah sosial pada Bulan Ramadhan memang lebih banyak.
Bila sebelumnya yang diterima hanya satu sampai dua kali dalam satu
minggu, pada bulan Ramadhan bisa mencapai empat sampai lima kali
setiap minggu. “Setelah masuk panti mereka langsung diidentifikasi.
Apakah mereka gepeng, joki, waria, atau wanita yang mejeng di
jalanan. Kalau mereka sudah diidentifikasi, barulah diserahkan ke
panti Harapan Mulya,” ujar Aseli yang diwawancarai Exo pada Senin
(03/11) lalu.
Menurut Kepala Sub Bagian Tata Usaha, Panti Kedoya, Drs. Y. Hendry,
panti sosial tersebut memang menerima lebih banyak wanita-wanita
tuna susila selama Bulan Ramadhan. Dijelaskannya, panti tersebut
didirikan memang untuk menyelenggarakan resosialisasi dan pembinaan
bagi penyandang masalah susila, terutama wanita-wanita tuna susila.
Beberapa kegiatan yang diselenggarakan di panti, jelasnya adalah
bimbingan mental keagamaan dan sosial. “Kedua kegiatan ini harus
terus menerus diberikan, karena hal itulah yang paling penting agar
mereka mengerti bahwa apa yang selama ini mereka kerjakan adalah
salah,” terang Hendry.
Mereka juga mendapat bimbingan penunjang lain seperti pelatihan tata
rias, tata busana, dan tata boga. Setiap pelatihan memakan waktu
satu hingga dua bulan dan dilakukan dua atau tiga kali dalam satu
minggu.
BELUM EFEKTIF--Hendry
mengatakan, pelatihan yang diberikan memang belum sampai kepada
tahap terampil dan ahli, tetapi paling tidak mereka mengenal cara
kerjanya. Karena beberapa alasan yang tidak bisa dia jelaskan,
keterampilan tersebut saat ini diberikan bukan berdasarkan kemauan
dan minat penghuni panti, melainkan disesuaikan dengan tenaga
pramusosial yang ada.
Sebenarnya, tujuan diselenggarakannya berbagai keterampilan tersebut
bukan untuk membuat mereka lebih pandai menjahit, merias, atau
memasak, tetapi lebih kepada bagaimana mengubah pola berpikir mereka
setelah mempunyai pengetahuan.
Hendry mengatakan, mereka harus menyadari bahwa mereka sama dengan
wanita-wanita lain yang nantinya tidak minder ketika harus kembali
ke tengah-tengah masyarakat. “Bukan kembali ke dunia yang selama ini
mereka jalani. Mereka menjadi tidak merasa kalah bersaing dengan
orang lain dengan memiliki keterampilan,” imbuhnya.
Namun
demikian, Hendry juga tidak memungkiri bila waktu satu hingga dua
bulan belumlah cukup untuk membina mental dan spiritual mereka.
Terlebih belum ada ketentuan baku, berapa lama wanita-wanita
tersebut harus berada di panti.
Sementara, selama dalam pembinaan, kalau pihak panti tidak memberi
pelatihan terhadap mereka, minimal di sana mereka hanya berada satu
bulan. “Memang belum efektif karena waktu yang diberikan juga
sangat pendek untuk mereka bisa mendapatkan bekal. Namun semuanya
dikembalikan kepada individu masing-masing. Setelah dapat pembinaan
mental selama dua bulan berturut-turut, apakah mereka akan kembali
ke ‘habitat’ setelah keluar dari sini,” ujar Hendry.
Dan sampai sejauh ini, jelasnya, apakah pembinaan metal plus
pelatihan yang sudah diberikan efektif atau tidak juga belum jelas.
Karena setelah mereka keluar apakah kembali ke jalan untuk bekerja
seperti biasa ataukah mencari pekerjaan yang lebih baik.
“Sudah berbusa mulut kami berpesan agar memberi laporan apakah
mereka mendapat pekerjaan yang lebih baik, tetapi setelah keluar,
mereka kebanyakan bungkam. Tapi di antara begitu banyak, masih ada
beberapa orang yang memang bisa kembali ke jalan yang lebih baik dan
melapor kepada kami,” papar Hendry.*
***
Leni Simamora (27)
SALAH TANGKAP
Oleh : Rayu
Wanita
asal Tapanuli, Sumatera Utara ini terjaring petugas Trantib sekitar
dua bulan lalu di Jalan Subang, Halimun, Menteng, Jakarta Pusat.
Menurutnya, meski sudah tinggal di sana dan mendapat pembinaan,
namun dia bukanlah seorang wanita pekerja seks seperti yang
dituduhkan. Akan tetapi, dia pasrah saja saat digelandang ke panti
dan akhirnya disuruh bergabung dengan wanita-wanita dan waria yang
terjaring.
Leni mengatakan sangat terpukul dengan apa yang dialami, karena
dalam waktu tidak lama lagi dia akan menikah dengan seorang pria
asal Yogyakarta. Bagaimana tidak, malam itu dia sedang bertengkar
dengan kekasihnya. Karena sedang kalut, dia mengaku ingin curhat ke
rumah salah seorang teman karibnya yang tinggal di daerah itu.
“Waktu saya ditangkap itu memang udah jam dua belas malam. Gimana
lagi, saya ikut aja. Saya nggak bisa membela diri karena malam itu
saya memang nggak bawa kartu pengenal. Nggak masalahlah, biar di
sini saya juga tambah teman,” urai Leni.*
***
Ana (29)
JANDA TIGA KALI
Oleh : Rayu
Pahitnya
hidup dan kejamnya cinta membawa wanita asal Sampang, Madura ini
nekat menjajakan diri di Pos 9, Tanjung Priuk, Jakarta Utara. Suami
pertamanya meninggal dunia dengan meninggalkan dua orang anak. Satu
orang dari anaknya tersebut menyusul ayahnya yang membuat Ana kian
sedih. Namun itu tidak berlangsung lama, karena dia segera
mendapatkan jodoh baru yang ternyata bukanlah pria yang bertanggung
jawab. Wanita berambut panjang ini ditinggalkan begitu saja tanpa
kabar dan berita.
Sejak itulah dia
mulai terjun ke jalan untuk menjajakan diri. Maka sejak tahun 1997
Ana menjadi ‘penghuni’ tetap Pos 9. Dia bahkan pernah dijaring
petugas dan dititipkan di Panti Sosial Bina Insan 02, Cipayung. Dan
saat tahun 1999 dia berjumpa dengan seorang pria beristri yang
bersedia menikahinya. Namun pernikahan itu juga tidak lama karena
Ana tidak tahan harus dimadu. Akhirnya dia sendirilah yang menyerah
meski pria itu cukup memperhatikannya. Untuk menghidupi diri dan
ketiga anaknya, Ana akhirnya kembali terjun ke jalan. Dan saat
itulah dia kembali dijaring. “Mungkin memang sekarang saya harus
benar-benar bertobat. Berjalan di jalan yang lurus,” ujar Ana lirih.*
|