GAIRAH BINAL ISTRI KEDUA
Benar
kata banyak orang, menjadi istri simpanan tidak pernah ada enaknya.
Manisnya mungkin hanya beberapa bulan saja, tetapi pahitnya hingga
menusuk relung kalbu. Namun, karena rasa iba, aku tidak berani
mengambil keputusan ‘cerai’. Akibatnya menjadi sangat buruk, aku
menjadi seorang petualang ranjang hanya untuk mendapatkan kepuasan.
Aku mengenal Mas Dicky ketika masih duduk di bangku SMU, tepatnya
tahun 1998 lalu di sebuah pusat perbelanjaan di wilayah Jakarta
Pusat. Pesonanya sangat memukau, kala itu. Entahlah, aku tidak tahu
mengapa aku langsung tertarik. Mungkin karena sejak lama aku
merindukan sosok seorang ayah yang sejak usia sepuluh tahun sudah
berpulang. Belum lagi, aku adalah anak tertua dari dua bersudara
yang keduanya adalah perempuan.
Kehadiran Mas Dicky seperti magnet yang membuat aku tidak bisa lepas.
Nasehat-nasehatnya yang penuh wibawa bagai air penyejuk yang mengisi
kegersangan perasaanku. Mas Dicky yang bekerja di perusahaan
kontraktor besar di bilangan Jakarta Selatan pun selalu memberi
janji akan menyenangkan aku serta membiayai kuliahku bila tamat
nanti. Dan benar, dia menepati janjinya. Aku akhirnya bisa kuliah di
sebuah universitas swasta di Jakarta Barat.
Tentu saja perlakuannya tersebut membuat hatiku berbunga, karena aku
tahu Ibuku hanyalah seorang pedagang kelontong di sebuah pasar
tradisional yang harus berpayah-payah mencari keuntungan. Mengapa
tidak, Mas Dicky tidak pernah meminta balas jasa dari apa yang sudah
dia lakukan padaku. Dia hanya pernah mengatakan bahwa dia
mencintaiku meski usianya sepuluh tahun di atasku. Saat itu aku
tidak pernah mempersoalkan umur. Mungkin karena sikapku yang masih
polos, belum mengenal kejamnya cinta dan dunia, tidak pernah sedikit
pun timbul rasa curiga bila Mas Dicky sudah berkeluarga.
Lebih dari itu, Mas Dicky juga seorang pria yang sangat sopan.
Bahkan untuk menciumku saja dia selalu meminta ijin terlebih dahulu.
Padahal, jujur saja aku bahkan selalu merindukan dekapan, cumbuan,
dan ciumannya. Namun, semua itu kuanggap sebagai sikap yang sangat
bijaksana dari seorang pria yang mencintai kekasihnya. Dia agaknya
tidak ingin merusakku sebelum kami benar-benar terikat dalam satu
perkawinan. Itulah mungkin alasan mengapa aku bergitu tergila-gila
padanya.
Di
hadapan ibuku pun Mas Dicky diterima dengan tangan terbuka. Ibuku
tidak pernah menanyakan apakah Mas Dicky orang berada ataukah
berasal dari strata ekonomi yang sama dengan kami. “Kalau menurutmu
dia adalah laki-laki yang baik, ibu tidak akan melarang. Cuma ibu
ingatkan, jaga diri. Karena kehormatan seorang perempuan tergantung
bagaimana cara dia menjaga diri sendiri,” demikian ibuku memberi
nasehat.
‘BOBOL’ DI MOBIL--Meski
sudah mendapat lampu hijau, tetapi aku tidak lantas langsung bebas
pergi kemana pun suka bila diajak Mas Dicky. Sebagai anak penurut,
aku selalu meminta saran ibu bila hendak pergi ke suatu tempat
bersama pria terkasih itu. Namun suatu sore, tepatnya awal Januari
1999, aku kehilangan kendali. Hujan bulan Januari malam itu
membuatku kedinginan. Terlebih AC mobilnya distel penuh untuk
menghilangkan kabut.
Aku masih ingat bagaimana aku meminta dengan sangat Mas Dicky untuk
memeluk tubuhku yang menggigil. Hujan memang sangat lebat saat itu
yang membuat Mas Dicky menghentikan sedannya di pinggir jalan yang
sepi. Ada kehangatan yang kurasakan ketika tubuh tegapnya merengkuh
tubuh mungilku. Namun saat itu aku ingin Mas Dicky melakukan sesuatu
yang lebih. Maka tanpa menunggu lebih lama lagi, aku melumat
bibirnya.
Aku tidak tahu berapa lama hal itu kulakukan. Yang aku tahu hanyalah,
Mas Dicky mulai terbakar. Tangannya mulai menggerayangi setiap
jengkal tubuhku. Diperlakukan seperti itu aku menggelinjang bak
cacing kepanasan. Aku malah memajukan tubuh agar Mas Dicky lebih
leluasa melumat payudaraku yang tanpa sadar sudah terbuka. Desahan
tertahan menggema di setiap sudut mobil ketika dia merenggut
‘mustika’ yang harus kujaga hingga nanti menjadi istrinya. Entah
mengapa aku justru tersenyum senang saat peristiwa itu usai.
Namun alangkah pedihnya perasaanku ketika Mas Dicky mengatakan bahwa
dia sudah berkeluarga. Bahkan kini dia juga sudah memiliki dua orang
anak yang masih membutuhkan kasih sayangnya. “Aku tidak pernah
berniat menipumu. Aku memang jatuh cinta padamu, itu sebabnya aku
tidak pernah punya niat untuk menyakitimu. Sekarang apa yang sudah
kulakukan padamu sangat kusesali dan aku akan bertanggung-jawab,”
ujarnya lemah lembut diselingi isakanku yang tak bisa berhenti.
Bentuk tanggung jawab yang diberikan Mas Dicky adalah menikahiku
dengan cara siri, tepatnya pertengahan bulan Januari 1999. Ibuku
sempat shock dengan apa yang menimpaku. Namun setelah kuceritakan
tentang apa yang sudah terjadi denganku, Ibu bisa memaklumi dan
menerima pernikahanku dengan berat hati.
“Ibu tidak tahu apakah kau memang tidak mendengar nasehat yang dulu
pernah Ibu katakan. Tapi sekarang yang menanggung akibatnya bukan
hanya kau seorang, melainkan juga Ibu. Ibu mana yang tega melihat
anaknya menjadi istri kedua. Bahkan orang lain juga menyebutnya
istri simpanan,” ujar ibu sambil berurai air mata.
Namun rasa pedih karena sudah membuat Ibu kecewa itu adalah masa
lalu yang ingin kulupakan. Agar membuatnya bahagia, aku selalu
berusaha untuk tampil ceria. Aku ingin menunjukkan bahwa aku tidak
menderita meski menyandang status sebagai istri kedua. Terlebih
segala kebutuhanku selalu dipenuhi oleh Mas Dicky. Maklum, Mas Dicky
juga mempunyai bisnis lain dengan penghasilan bersih mencapai dua
puluh juta setiap bulannya. Seperti layaknya istri simpanan lainnya,
aku memang dimanja, karena Mas Dicky pun mencintaiku.
DAUN MUDA--Akan
tetapi, yang membuatku ingin mengakhiri ‘pernikahan sandiwara’ itu
adalah karena sejak menikah, Mas Dicky tidak pernah punya kesempatan
untuk menginap di rumah kami yang dia beli di kawasan Kelapa Gading,
Jakarta Utara. Aku sengaja tidak mengajak adikku, Icha untuk
menemaniku di rumah, semata-mata agar Ibu tidak tahu kondisiku.
Betapa sedihnya bila Ibu sampai menangis melihat kondisiku yang
sebenarnya sangat menderita di tengah gelimang harta yang diberikan
Mas Dicky.
Setelah satu tahun pernikahanku dengan Mas Dicky aku sudah tidak
mampu lagi bertahan. Ketika salah seorang teman kampusku, sebut saja
namanya Irvan yang kebetulan berwajah tampan mengajak kencan, aku
menerima saja. Aku memang tidak pernah memberitahu teman-teman
kuliahku bahwa aku sudah menikah. Kebetulan malam itu, Irvan
diundang oleh seorang teman masa SMU-nya untuk menghadiri acara
ulang tahun yang diselenggarakan di sebuah villa di Puncak, Jawa
Barat. Di sanalah petualangan ranjang pertamaku dimulai.
Entah mengapa, ketika tuan rumah memberi satu kamar kosong untuk
kami berdua, aku langsung sumringah. Terlebih Irvan yang memulai
lebih dulu, membuat aku melayaninya. Bahkan lebih ganas dari apa
yang dia perkirakan. Kukuliti tubuh segarnya yang usianya sudah
pasti berbeda jauh dengan Mas Dicky. Berkali-kali kureguk kenikmatan
surga dunia dari ‘ketegaran’ dirinya, malam itu. Irvan sampai
terbengong-bengong dengan ulahku yang bak kucing betina yang sedang
birahi.
Tidak hanya sampai di sana, berkali-kali Irvan yang ketagihan dengan
permainan ranjangku kuajak ke beberapa hotel untuk menuntaskan
hasratku. Entah mengapa, setelah aku pikir-pikir lagi, ternyata
selama ini aku memang belum terlalu piawai di atas ranjang bila
hanya bergumul dengan Mas Dicky. Saat berdua saja dengan Irvan, aku
adalah seorang ahli yang tak tertandingi. Dan sampai setengah tahun
perbuatanku tidak ada yang mengetahui, termasuk Mas Dicky.
Petualanganku tidak hanya berhenti sampai di sana. Irvan yang
menurutku sudah membosankan kutinggalkan begitu saja ketika aku
bertemu dengan seorang pemuda yang usianya dua tahun lebih tua
dariku di sebuah pusat diskotik di bilangan Jakarta Selatan. Maklum
sebagai wanita kesepian, aku sering juga mengunjungi tempat-tempat
hiburan malam. Nama pemuda itu adalah Deni yang tubuhnya lebih
menarik dibanding Irvan. Dan malam itu juga aku merangsang Irvan
dengan goyangan-goyangan erotis di atas ranjang sebuah hotel
berbintang dua di daerah Menteng, Jakarta Pusat.
Deni sampai berteriak histeris ketika aku melenguh di atas tubuhnya.
Dan teriakannya itu bagai irama musik yang indah di telingaku. Meski
pagi sudah menjelang dan siangnya aku harus bersiap-siap melayani
Mas Dicky di meja makan dan di atas ranjang, toh aku belum puas.
Sekali lagi, kureguk kenikmatan dari tubuh muda Deni. Bukan hanya
Irvan dan Deni, beberapa pemuda lain yang kutemui di beberapa tempat
kuajak bermain cinta. Walau mereka memohon-mohon ketika aku berlalu
dari hadapan mereka, aku tetap tidak bergeming. Tidak ada cinta di
dalam hatiku untuk mereka.
Cintaku sudah terpaut erat di dalam diri dan perasaan Mas Dicky.
Lebih dari itu aku juga merasa iba bila mengambil keputusan
meninggalkannya, karena aku tahu dia sangat mencintaiku. Sebaliknya,
aku juga tidak bisa menghilangkan perasaan sayang dan cintaku
terhadap Mas Dicky. Dia tidak pernah bersikap kasar atau
mengungkit-ungkit bahwa yang memulai terenggutnya kegadisanku ketika
di atas mobilnya pada malam berhujan itu adalah atas inisiatifku
sendiri. Namun aku tidak tahu, sampai kapan petualangan ini akan
berakhir, karena aku merasa sudah seperti pecandu. *diceritakan
Della di Kelapa Gading kepada Rayu
|