EDISI>>01-02-03-04-05-06-07-08-09-10-11-12-13-14-15-16-17-18-19-20-21-22-23-24-25-26-27-28-29- 30-31>>

::LIPUTAN::

::BACAAN PALING EKSOTIS::

::ARTIKEL::

CURHAT #08

=> Isu Exo
=> Close Up
=> Intim
=> Gaya
=> Curhat
=> Potret
=> Jelajah
=> Bollystar
=> Exobolly
=> Terawang
=> Modus
=> Blitz
=> Gemar
=> Rona
Aturan
Langganan
Pesan CD
Pesan Bundel
Crew Redaksi
Saran Anda
Tarif Iklan
GAIRAH BINAL ISTRI KEDUA

Benar kata banyak orang, menjadi istri simpanan tidak pernah ada enaknya. Manisnya mungkin hanya beberapa bulan saja, tetapi pahitnya hingga menusuk relung kalbu. Namun, karena rasa iba, aku tidak berani mengambil keputusan ‘cerai’. Akibatnya menjadi sangat buruk, aku menjadi seorang petualang ranjang hanya untuk mendapatkan kepuasan.

Aku mengenal Mas Dicky ketika masih duduk di bangku SMU, tepatnya tahun 1998 lalu di sebuah pusat perbelanjaan di wilayah Jakarta Pusat. Pesonanya sangat memukau, kala itu. Entahlah, aku tidak tahu mengapa aku langsung tertarik. Mungkin karena sejak lama aku merindukan sosok seorang ayah yang sejak usia sepuluh tahun sudah berpulang. Belum lagi, aku adalah anak tertua dari dua bersudara yang keduanya adalah perempuan.

Kehadiran Mas Dicky seperti magnet yang membuat aku tidak bisa lepas. Nasehat-nasehatnya yang penuh wibawa bagai air penyejuk yang mengisi kegersangan perasaanku. Mas Dicky yang bekerja di perusahaan kontraktor besar di bilangan Jakarta Selatan pun selalu memberi janji akan menyenangkan aku serta membiayai kuliahku bila tamat nanti. Dan benar, dia menepati janjinya. Aku akhirnya bisa kuliah di sebuah universitas swasta di Jakarta Barat.

Tentu saja perlakuannya tersebut membuat hatiku berbunga, karena aku tahu Ibuku hanyalah seorang pedagang kelontong di sebuah pasar tradisional yang harus berpayah-payah mencari keuntungan. Mengapa tidak, Mas Dicky tidak pernah meminta balas jasa dari apa yang sudah dia lakukan padaku. Dia hanya pernah mengatakan bahwa dia mencintaiku meski usianya sepuluh tahun di atasku. Saat itu aku tidak pernah mempersoalkan umur. Mungkin karena sikapku yang masih polos, belum mengenal kejamnya cinta dan dunia, tidak pernah sedikit pun timbul rasa curiga bila Mas Dicky sudah berkeluarga.

Lebih dari itu, Mas Dicky juga seorang pria yang sangat sopan. Bahkan untuk menciumku saja dia selalu meminta ijin terlebih dahulu. Padahal, jujur saja aku bahkan selalu merindukan dekapan, cumbuan, dan ciumannya. Namun, semua itu kuanggap sebagai sikap yang sangat bijaksana dari seorang pria yang mencintai kekasihnya. Dia agaknya tidak ingin merusakku sebelum kami benar-benar terikat dalam satu perkawinan. Itulah mungkin alasan mengapa aku bergitu tergila-gila padanya.

Di hadapan ibuku pun Mas Dicky diterima dengan tangan terbuka. Ibuku tidak pernah menanyakan apakah Mas Dicky orang berada ataukah berasal dari strata ekonomi yang sama dengan kami. “Kalau menurutmu dia adalah laki-laki yang baik, ibu tidak akan melarang. Cuma ibu ingatkan, jaga diri. Karena kehormatan seorang perempuan tergantung bagaimana cara dia menjaga diri sendiri,” demikian ibuku memberi nasehat.

‘BOBOL’ DI MOBIL--Meski sudah mendapat lampu hijau, tetapi aku tidak lantas langsung bebas pergi kemana pun suka bila diajak Mas Dicky. Sebagai anak penurut, aku selalu meminta saran ibu bila hendak pergi ke suatu tempat bersama pria terkasih itu. Namun suatu sore, tepatnya awal Januari 1999, aku kehilangan kendali. Hujan bulan Januari malam itu membuatku kedinginan. Terlebih AC mobilnya distel penuh untuk menghilangkan kabut.

Aku masih ingat bagaimana aku meminta dengan sangat Mas Dicky untuk memeluk tubuhku yang menggigil. Hujan memang sangat lebat saat itu yang membuat Mas Dicky menghentikan sedannya di pinggir jalan yang sepi. Ada kehangatan yang kurasakan ketika tubuh tegapnya merengkuh tubuh mungilku. Namun saat itu aku ingin Mas Dicky melakukan sesuatu yang lebih. Maka tanpa menunggu lebih lama lagi, aku melumat bibirnya.

Aku tidak tahu berapa lama hal itu kulakukan. Yang aku tahu hanyalah, Mas Dicky mulai terbakar. Tangannya mulai menggerayangi setiap jengkal tubuhku. Diperlakukan seperti itu aku menggelinjang bak cacing kepanasan. Aku malah memajukan tubuh agar Mas Dicky lebih leluasa melumat payudaraku yang tanpa sadar sudah terbuka. Desahan tertahan menggema di setiap sudut mobil ketika dia merenggut ‘mustika’ yang harus kujaga hingga nanti menjadi istrinya. Entah mengapa aku justru tersenyum senang saat peristiwa itu usai.

Namun alangkah pedihnya perasaanku ketika Mas Dicky mengatakan bahwa dia sudah berkeluarga. Bahkan kini dia juga sudah memiliki dua orang anak yang masih membutuhkan kasih sayangnya. “Aku tidak pernah berniat menipumu. Aku memang jatuh cinta padamu, itu sebabnya aku tidak pernah punya niat untuk menyakitimu. Sekarang apa yang sudah kulakukan padamu sangat kusesali dan aku akan bertanggung-jawab,” ujarnya lemah lembut diselingi isakanku yang tak bisa berhenti.

Bentuk tanggung jawab yang diberikan Mas Dicky adalah menikahiku dengan cara siri, tepatnya pertengahan bulan Januari 1999. Ibuku sempat shock dengan apa yang menimpaku. Namun setelah kuceritakan tentang apa yang sudah terjadi denganku, Ibu bisa memaklumi dan menerima pernikahanku dengan berat hati.

“Ibu tidak tahu apakah kau memang tidak mendengar nasehat yang dulu pernah Ibu katakan. Tapi sekarang yang menanggung akibatnya bukan hanya kau seorang, melainkan juga Ibu. Ibu mana yang tega melihat anaknya menjadi istri kedua. Bahkan orang lain juga menyebutnya istri simpanan,” ujar ibu sambil berurai air mata.

Namun rasa pedih karena sudah membuat Ibu kecewa itu adalah masa lalu yang ingin kulupakan. Agar membuatnya bahagia, aku selalu berusaha untuk tampil ceria. Aku ingin menunjukkan bahwa aku tidak menderita meski menyandang status sebagai istri kedua. Terlebih segala kebutuhanku selalu dipenuhi oleh Mas Dicky. Maklum, Mas Dicky juga mempunyai bisnis lain dengan penghasilan bersih mencapai dua puluh juta setiap bulannya. Seperti layaknya istri simpanan lainnya, aku memang dimanja, karena Mas Dicky pun mencintaiku.

DAUN MUDA--Akan tetapi, yang membuatku ingin mengakhiri ‘pernikahan sandiwara’ itu adalah karena sejak menikah, Mas Dicky tidak pernah punya kesempatan untuk menginap di rumah kami yang dia beli di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Aku sengaja tidak mengajak adikku, Icha untuk menemaniku di rumah, semata-mata agar Ibu tidak tahu kondisiku. Betapa sedihnya bila Ibu sampai menangis melihat kondisiku yang sebenarnya sangat menderita di tengah gelimang harta yang diberikan Mas Dicky.

Setelah satu tahun pernikahanku dengan Mas Dicky aku sudah tidak mampu lagi bertahan. Ketika salah seorang teman kampusku, sebut saja namanya Irvan yang kebetulan berwajah tampan mengajak kencan, aku menerima saja. Aku memang tidak pernah memberitahu teman-teman kuliahku bahwa aku sudah menikah. Kebetulan malam itu,  Irvan diundang oleh seorang teman masa SMU-nya untuk menghadiri acara ulang tahun yang diselenggarakan di sebuah villa di Puncak, Jawa Barat. Di sanalah petualangan ranjang pertamaku dimulai.

Entah mengapa, ketika tuan rumah memberi satu kamar kosong untuk kami berdua, aku langsung sumringah. Terlebih Irvan yang memulai lebih dulu, membuat aku melayaninya. Bahkan lebih ganas dari apa yang dia perkirakan. Kukuliti tubuh segarnya yang usianya sudah pasti berbeda jauh dengan Mas Dicky. Berkali-kali kureguk kenikmatan surga dunia dari ‘ketegaran’ dirinya, malam itu. Irvan sampai terbengong-bengong dengan ulahku yang bak kucing betina yang sedang birahi.

Tidak hanya sampai di sana, berkali-kali Irvan yang ketagihan dengan permainan ranjangku kuajak ke beberapa hotel untuk menuntaskan hasratku. Entah mengapa, setelah aku pikir-pikir lagi, ternyata selama ini aku memang belum terlalu piawai di atas ranjang bila hanya bergumul dengan Mas Dicky. Saat berdua saja dengan Irvan, aku adalah seorang ahli yang tak tertandingi. Dan sampai setengah tahun perbuatanku tidak ada yang mengetahui, termasuk Mas Dicky.

Petualanganku tidak hanya berhenti sampai di sana. Irvan yang menurutku sudah membosankan kutinggalkan begitu saja ketika aku bertemu dengan seorang pemuda yang usianya dua tahun lebih tua dariku di sebuah pusat diskotik di bilangan Jakarta Selatan. Maklum sebagai wanita kesepian, aku sering juga mengunjungi tempat-tempat hiburan malam. Nama pemuda itu adalah Deni yang tubuhnya lebih menarik dibanding Irvan. Dan malam itu juga aku merangsang Irvan dengan goyangan-goyangan erotis di atas ranjang sebuah hotel berbintang dua di daerah Menteng, Jakarta Pusat.

Deni sampai berteriak histeris ketika aku melenguh di atas tubuhnya. Dan teriakannya itu bagai irama musik yang indah di telingaku. Meski pagi sudah menjelang dan siangnya aku harus bersiap-siap melayani Mas Dicky di meja makan dan di atas ranjang, toh aku belum puas. Sekali lagi, kureguk kenikmatan dari tubuh muda Deni. Bukan hanya Irvan dan Deni, beberapa pemuda lain yang kutemui di beberapa tempat kuajak bermain cinta. Walau mereka memohon-mohon ketika aku berlalu dari hadapan mereka, aku tetap tidak bergeming. Tidak ada cinta di dalam hatiku untuk mereka.

Cintaku sudah terpaut erat di dalam diri dan perasaan Mas Dicky. Lebih dari itu aku juga merasa iba bila mengambil keputusan meninggalkannya, karena aku tahu dia sangat mencintaiku. Sebaliknya, aku juga tidak bisa menghilangkan perasaan sayang dan cintaku terhadap Mas Dicky.  Dia tidak pernah bersikap kasar atau mengungkit-ungkit bahwa yang memulai terenggutnya kegadisanku ketika di atas mobilnya pada malam berhujan itu adalah atas inisiatifku sendiri. Namun aku tidak tahu, sampai kapan petualangan ini akan berakhir, karena aku merasa sudah seperti pecandu. *diceritakan Della di Kelapa Gading kepada Rayu

=> Rilexo
=> Cerbung
=> Noji
=> cinexo
=> Etalase
=> Gaul
=> Kelambu
=> Exolusi
=> Amor
=> Mbak Dona
=> Horoskop
=> Poster
=>
Bintang Exo
Free Web Site Counter

hubungi redaksi - webmaster - pasang iklan
Copyright 2004 exotica23.tk (pt angkasa media utama) All Rights Reserved

Hosted by www.Geocities.ws

1