GAYA
HIDUP DI ‘SANGKAR EMAS’
Oleh : Zul
Kawasan
merah Mangga Besar, selain dikenal sebagai pusat jajanan seks,
ternyata juga menjadi barometer markas para gundik. Mereka tersebar
hingga berbaur dengan pemukiman penduduk.
Berderet-deret rumah kos, yang mayoritas tanpa aturan tampil
betebaran di sudut-sudut kawasan yang makin padat. Salah satu rumah
kos yang terbilang mewah adalah Wisma Flam di Jalan Mangga Besar
XI. Di sana tersedia lahan parkir yang bisa menampung sekitar 30
kendaraan roda empat. Suasana asri tersaji apik dengan hiasan
pot-pot bertanaman hijau menyejukkan mata.
Di
sebelah kiri pos keamanan tampak bangunan serupa yang berjumlah dua
belas kamar. Di ujung bangunan tersedia tangga besi yang menuju
lantai dua dengan dua kamar. Di setiap pintu kamar yang jumlahnya 48
kamar tersebut tertera nama-nama bunga yang diukir di atas sebilah
papan.
Rumah
kos milik pengusaha asal Sumatera Barat ini tergolong paling mewah
di sana. Setiap kamar berfasilitas spring bed, sofa, AC, lemari
pakaian, kamar mandi dengan shower, meja rias, fasilitas cuci dan
seterika. Sewa kamarnya berkisar antara Rp. 1,8 sampai Rp. 3 juta
per bulan.
Pemiliknya memperkejakan sepuluh karyawan. Dua orang untuk pengelola,
lima orang bagian cuci dan seterika, dan tiga orang untuk penjaga
keamanan. Di samping itu juga ada lima orang freelance yang
bertugas memberi pelayanan kepada para penghuni dengan harapan
mendapat komisi.
Berbeda dengan rumah kos Jalan Lautze, Jakarta Pusat. Kamar kos
yang jumlahnya mencapai 100 kamar itu lebih mirip hotel melati,
meskipun didalamnya kesan mewah bisa ditemui.
Dalam lingkup Mangga Besar
dan sekitarnya, rumah kos yang biasa disebut ‘Kos Satu A’ ini cukup
diminati, lantaran memiliki keunikan, diantaranya bisa disewa harian
layaknya hotel.
Rumah kos lain yang
menjadi incaran para wanita simpanan ini ada di Jalan Kebun Jeruk
VII Jakarta Pusat. Rumah kos bernama Mani ini berbentuk ruko dengan
70 kamar. Harga sewanya antara Rp. 1 hingga Rp. 1,5 juta per bulan.
Seperti halnya penghuni
Wisma Flam dan Kos Satu A, penghuni Kos Mani umumnya bekerja di
karaoke yang bertebaran di kawasan yang sarat tempat hiburan malam.
Penghasilan mereka setiap bulannya bisa mencapai Rp. 20 juta.
Pendapatan ini bukan hanya didapat dari gaji sebagai gadis karaoke,
melainkan juga dari ajakan kencan pria hidung belang ke atas tempat
tidur.
Biasanya, sekali ajakan
kencan di kamar hotel, mereka bisa mematok tarif sebesar Rp. 1,5
hingga Rp. 2 juta/short time. Bahkan untuk bermalam, mereka bisa
meminta lebih besar, antara Rp. 4 hingga Rp. 5 juta. Namun, tidak
banyak di antara mereka yang bersedia dibooking setiap malam, karena
mereka harus menjaga stamina untuk pria yang ‘menyimpannya’.
Biasanya, para gadis-gadis bertubuh seksi ini memanggil gebetannya
sebagai ‘suami’ atau pasangan tetap.
***
SARANG
NARKOBA
Prita
(21) --nama samaran—penhuni tempat kos Man mengaku tidak mau pacaran
dengan pria muda. Gadis asal Magelang ini mengaku hanya buang-buang
energi bila harus melayani pria muda yang ‘nota bene’ tidak punya
penghasilan besar. “Ngapain juga gue harus jadi bini cowok-cowok
muda kalau nggak ada duitnya. Biar tua, tapi punya duit banyak,
pasti gue layanin,” ujar gadis berkulit putih yang pernah menjadi
simpanan seorang anggota DPR ini.
Prinsip Prita mungkin sama
dengan prinsip wanita simpanan lain yang tinggal di rumah-rumah kos
di kawasan Mangga Besar. Karena untuk menutupi biaya hidup mereka
yang tinggi, mau tidak mau mereka harus rela menjadi simpanan lelaki
berkantong tebal. Selain sewa rumah kos yang selangit, mereka juga
butuh sandang yang juga dibeli di toko-toko pakaian berkelas. Belum
lagi untuk membeli kosmetik dan parfum bermerk.
Selain itu mereka juga
memiliki perangkat elektronik dari merk terkenal berharga mahal.
Bahkan lemari es dua pintu yang mereka miliki juga selalu penuh
dengan minuman, makanan, dan buah-buahan. Inilah yang membuat biaya
hidup mereka tinggi setiap bulannya. Namun demikian, kebanyakan dari
mereka selalu tidak pernah lupa mengirimkan sebagian dari
penghasilannya untuk keluarga mereka di kampung.
Selain itu, masih di
kawasan Mangga Besar, ada rumah kos yang bentuknya seperti apartemen.
Di antaranya Kos Con di Jalan Mangga Besar Dalam II. Meski dari luar
tampak seperti apartemen yang memiliki lobby dengan meja resepsionis
di depannya, harganya lebih murah fasilitas tidak beda jauh.
Hanya saja, banyak wanita
simpanan yang tidak betah tinggal di Kos Con yang kamarnya berjumlah
52 kamar tersebut. Karena peraturan yang diterapkan jauh lebih ketat
dibanding rumah kos yang lain. Salah satunya yang sulit diterima
adalah bila ada tamu yang bertandang lewat dari pukul 23.00 Wib akan
dikenakan charge sebesar Rp. 50 ribu. Akibatnya, wanita-wanita
simpanan ini lebih memilih tinggal di rumah kos TB di Jalan Kebun
Jeruk II, tidak jauh dari tempat itu.
Meski sudah mempekerjakan
tiga orang satpam, toh peraturan yang diterapkan kepada para
penghuni kamar jauh lebih longgar dibanding rumah kos lain. Begitu
longgarnya, mengakibatkan banyak peredaran narkoba di dalamnya.
Bahkan bagi penghuni yang
sedang sakaw, mereka bisa dengan mudah mendapatkannya di pos kecil
yang ada di depan bangunan lama. Di pos keamanan yang hanya dibatasi
sebuah kali kecil tersebut hampir tiap malam banyak pemuda-pemuda
yang nongkrong. Di balik kedok mereka yang terlihat hanya seperti
konkow biasa, ternyata di antara mereka ada yang menjadi pengedar
narkoba.*
***
Prita(21)
SEBULAN SEPULUH JUTA
Gadis
berkulit putih bersih ini tipe gadis familiar. Meski usianya baru 21
tahun, namun sepak terjangnya menjadi gundik tak tertandingi. Tak
kurang, empat pria setengah baya pernah menjadi ‘suaminya’. Gadis
berambut hitam legam ini mengatakan, menjadi istri simpanan bukan
beban bagi batin dan perasaannya, karena dia mendapat imbalan cukup
besar.
Tak kurang, dari Rp. 10 juta setiap bulan uang saku didapat cukong
yang memeliharanya. Bahkan saat Prita menjadi gundik seorang anggota
DPR yang menjadi pasangan tetapnya di kamar kos selama kurang lebih
satu tahun, ‘jatahnya’ melimpah ruah. “Aku dulu hidup lebih enak,
namun yach begitu. Lewat sudah. Sekarang nggak tahu kemana,” ujar
Prita sambil mengatakan, pria yang menjadi pasangannya sekarang
adalah seorang pengusaha sukses warga keturunan.
Hanya saja, sejak tinggal di rumah kos yang saat ini ditempatinya,
dia enggan pindah meski sudah dua kali ganti pasangan. “Di sini udah
enak kok. Kalau ada yang usil, cuekin aja, soalnya mereka juga nggak
kalah bobrok kok dengan aku. Udah biasa bawa laki-laki nggak dikenal
ke kamar. Siapa yang tahu kalau di dalam gue atau orang-orang yang
tinggal di sini ngapain aja,” kata Prita yang juga bekerja sebagai
gadis karaoke di daerah Pecenongan, Jakarta Pusat.*
***
Dian (23)
DEMI KULIAH
Selama
dua tahun gadis berkulit kuning langsat dan bertubuh proporsional
ini tinggal di flat yang sejak dulu memang terkenal sebagai tempat
bermukimnya para wanita simpanan. Ketika dijumpai di kamarnya yang
penuh furniture, Dian tampak enggan menerima tamu. Alasannya,
laki-laki yang menjadi ‘suaminya’ dalam waktu tidak lama lagi akan
datang.
Namun untungnya Dian bersedia juga membeberkan kisah mengapa dia
sampai menjadi wanita simpanan seorang pengusaha yang berkantor di
Jalan Sudirman. “Untuk biaya kuliah. Biaya dari orangtua nggak
mencukupi selama satu bulan. Makanya, pas kenalan sama dia di kafe,
trus ngajak chek in, langsung aja aku mau. Apa lagi orangnya masih
muda,” jelas Dian.
Sejak itu Dian kerap diajak bobo bobo siang oleh pria yang sudah
memiliki empat orang anak tersebut. Ujung-ujungnya karena tidak
ingin kehilangan, sang pria memberi biaya paling kurang sekitar Rp.
5 juta hingga Rp. 7 juta setiap bulan. Sementara untuk sewa kamar,
dibayarkan secara terpisah. “Gimana nggak enak, kuliah nggak
terlantar. Tinggal di tempat elite dan bisa Bantu orang tua di
kampung. Yang penting bisa balas budi aja, terutama waktu di atas
ranjang,” kata gadis berambut sebahu ini. Untuk mengelabui
orangtuanya, dia mengatakan bekerja sambil kuliah. *
***
Jeany (22)
TAKUT BURON
Sebagai
wanita mandiri yang sudah mendapat penghasilan dengan bekerja
sebagai gadis karaoke, sebenarnya Jeany tidak perlu menerima ajakan
seorang pria keturunan untuk menjadi kekasih simpanan. Namun karena
merasa masih kekurangan, gadis berbokong bak Jenifer Lopez ini
akhirnya mau. Apa lagi uang yang ditawarkan setiap bulannya cukup
menggiurkan.
Akhirnya, wanita ini bisa mencukupi kebutuhan hidup yang semakin
hari semakin meningkat. Namun begitu dia tetap tidak meninggalkan
pekerjaannya sebagai gadis karaoke, karena bisa saja tiba-tiba pria
yang menyimpannya buron. “Namanya tidak ada ikatan, dia bisa pergi
kapan pun dia mau. Nah, kalau gua kerja ‘kan nggak terlalu kelabakan
kalau ditinggal,” ujar Jeany. Namun, bila ada tamu karaoke yang
ingin mengajaknya kencan di luar, Jeany bisa menolak dengan halus
bak seorang gadis baik-baik, karena ‘gajinya’ sebagai wanita
simpanan sudah lebih dari cukup. *
***
Dr. Henny Warsilah, DEA, Sosiolog
BUDAYA HEDONISME
Menurut Dr. Henny Warsilah, DEA, Sosiolog dan peneliti kemasyarakatan
Most Unisco dan Lembaga Penelitian Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),
bahwa fenomena wanita simpanan tak lain disebabkan tampilan tayangan
di televisi yang kerap mempertontonkan cerita yang bersifat
hedonisme (kemewahan), layaknya kebiasan orang-orang barat.
Bahkan terkadang menampilkan kebebasan yang tidak sesuai dengan
kebiasaan kebanyakan masyarakat Indonesia. “Tanpa syarat apapun
budaya itu, diadopsi semua oleh kaum muda. Sehingga mereka
sepertinya diharuskan meniru gaya seperti orang Eropa dan Amerika.
Padahal gaya itu, tidak sesuai dengan budaya timur yang kita anut,”
katanya.
Gaya hidup seperti itu,
bisa mempengaruhi prilaku kaum muda, khususnya para wanita.
Tontonan-tontonan yang menjual kebebasan dan kemewahan pada
gilirannya tidak sesuai dengan budaya dan tingkat penghasilan mereka.
Buntutnya
mereka menjual diri untuk mendanai gaya hidup yang mereka terapkan.
Maklum, karena gaya hidup seperti itu harus mengeluarkan dana yang
lumayan besar. Sementara keuangan mereka tidak akan cukup memburu
kebutuhan yang hedonisme tersebut.
Tentu saja cara pemenuhan
kebutuhannya berbeda, meskipun sama-sama menjual diri. Salah satu
yang dipilihnya adalah menjadi wanita-wanita simpanan, dimana
meskipun terikat dengan aturan lelaki yang menyimpannnya,
kebebasannya masih tetap ada.*
|