Beriklan di koran
dan internet
JAJANAN SEKS WANITA ‘GATAL’
Oleh : wan/bud/nr
Bisnis
beraroma kepuasanan bawah perut bukan hanya monopoli lelaki. Para
wanita dengan beragam latar belakang turut hanyut memburunya.
Modusnya nyaris mirip.
Sore mulai merangsek ke
pukul 16.00 WIB. Denting musik mengalun lembut, menyeruak dari CB
Cafe di lantai dasar pusat perbelanjaan elit di jantung Jakarta,
Sabtu pekan lalu. Nyaris tak ada meja yang melompong.
Rata-rata tamu yang
berkunjung di kafe itu datang bersama pasangannya. Meskipun tetap
ada yang memilih sendiri. Uniknya mereka yang datang sendiri
didominasi lelaki muda.
Dari tampilannya,
rata-rata terkesan elegan dan trendy. Namun siapa sangka, dari semua
itu berbagai misteri tersimpan. Tidak sekedar dari tampilannya,
namun juga caranya duduk, caranya memilih tempat hingga caranya
memandang orang yang melintas disekitar kafe tersebut, khususnya
para wanita.
Bagi yang tidak terbiasa,
tentu akan keheranan. Namun bagi mereka yang sering menghabiskan
waktu di kafe tersebut, tentu hafal betul. Usut punya usut, ternyata
mereka adalah lelaki yang sengaja datang untuk memburu wanita yang
ingin mendapatkan kepuasan seks. Profesi mereka kerap disebut gigolo
alias pelacur jantan.
Keberadaannya pada
dasarnya hanya datang untuk memburu rupiah. Namun demikian dalam
modusnya, para gigolo ini lebih rapi ketimbang wanita penjaja cinta
yang buntutnya sama-sama ‘jual tubuh’.
Dengan kata lain meskipun
faktanya sama-sama memburu ‘konsumen’, namun untuk membedakan para
gigolo ini agaknya lebih sulit. Mereka berbaur dan menyatu dengan
pengunjung lain. Meskipun demikian ada beberapa ciri-ciri khas untuk
mendeteksi sepak terjang kaum gigolo ini.
Dari cara bicaranya,
mereka terlihat lebih luwes dan cerdas. Tampilannya selalu terlihat
parlente dan macho, berpakaian yang menunjukkan keperkasaannya, dan
biasanya berparfum menyengat hidung. Terhadap wanita yang menjadi
calon mangsanya, mereka terlihat lebih agresif.
Yang paling menonjol
mereka kerap kumpul dengan dua atau tiga rekan seprofesi. Mata
mereka ‘jalang’ memandang wanita, khususnya wanita yang usianya
lebih tua dan terlihat ‘tajir’ (kaya-red) agak berbeda. Kadang
berlama-lama, atau sesekali melayangkan kerlingan menggoda.
Bahkan untuk memilih
tempat duduk pun, para gigolo ini pintar menentukan tempat strategis,
sehingga jarak pandangnya luas. Umumnya, mereka datang dan duduk di
tempat yang itu-itu saja, sekaligus suka berlama-lama sebelum
mendapatkan ‘klien’.
Bahkan ketika mangkal di
kafe atau food court, terkesan bahwa mereka sedang membicarakan
suatu bisnis. Padahal matanya terus memburu wanita yang melintas
atau mereka yang singgah di kafe tersebut.
Cara lama yang masih ampuh
dipakai mendeteksi keberadaan gigolo adalah kebiasaannya memainkan
sendok atau garpu. Mereka memberikan tanda dengan jalan memadukan
sendok dan garpu tersebut secara bersilang berlawanan arah pada mata
sendok dan garpunya, sambil sesekali memutar-mutar sendok dan garpu
tersebut.
Sementara cara lama yang
telah dianggap usang untuk mendeteksi mereka adalah dengan kode
koran yang ditaruh disaku celana bagian belakang. Dalam
perkembangannya, kode semacam ini sudah tidak begitu lazim, lantaran
para gigolo lebih memilih kafe atau food court, tidak seperti di
tahun 1980-an, dimana mereka kebanyakan menggaet calon mangsanya
dengan jalan mejeng di tempat terbuka.
Wanita penyuka gigolo –selanjutnya
disebut Tante Girang --, tentu hafal dengan kode tersebut.
Sebaliknya kode yang sama dilakukan gigolo maupun tante girang
adalah dengan menggunakan puntung rokok yang usai dihisap, tidak
sekedar dimatikan, namun dihancurkan hingga berantakan. Kode ini
yang paling umum dan banyak diketahui para gigolo maupun tante
girang.
Selain di CB Cafe, yang
terletak di pusat perbelanjaan PI ini, masih ada beberapa kafe lain
di lantai yang sama kerap dijadikan ruang pamer gigolo Jakarta.
Diantaranya Kafe SB dan Kafe Do. Tentu saja dengan modus nyaris
serupa. Entah kenapa hingga kini kafe-kafe atau food court masih
menjadi lahan empuk untuk berburu transaksi seks para gigolo.
Meskipun tak sedikit yang
mejeng di tempat strategis seperti di sandaran pagar pengamanan
pusat perbelanjaan atau disekitar eskalator, sehingga lebih mudah
dalam menarik perhatian wanita-wanita yang kebetulan lewat di
sekitarnya.
SUKA BERGEROMBOL
Dalam aksinya, meskipun kini
gigolo marak mengiklankan diri di media cetak, di internet atau
hingga ‘dirumahkan’, namun perburuan langsung di arena mangkalnya
tetap diminati. Hal ini lantaran masih banyak tante girang yang
membutuhkan jasa gigolo, langsung ingin melihat fisik ‘pejantan
bayaran’ itu.
Beberapa pusat perbelanjaan berkelas selain PI yang
menjadi arena bursa gigolo diantaranya, BM Plaza, Plaza S, dan Sar
Plaza. Para gigolo ini sengaja mengincar tempat berkelas lantaran
kebanyakan yang berkunjung ke sana berasal dari kalangan menengah ke
atas. “Nggak ada tante girang yang dompetnya tipis,” kelakar seorang
gigolo yang biasa mangkal di PI.
Di BM Plaza misalnya, mulai siang saat jam istirahat
kantor hingga sore hari, beberapa kafe dibanjiri gigolo dan tante
girang. Sebut saja Cafe OLL, Restoran Mar, dan TBF yang terletak di
lantai LG. Sementara di lantai satu Cafe Ex juga ‘dikuasai’ gigolo.
Pemandangan tak lazim yang kemudian telah mengakar dan sepertinya
menjadi hal biasa.
Keberdaan gigolo ini meskipun sudah kasat mata,
namun mereka mencoba bersikap ‘cuek bebek’. “Biasanya mereka suka
berlama-lama di kafe tersebut. Kebanyakan berpakaian rapi, dan
terlihat gelisah, seperti ada yang dicari dan ditunggu.
Sebentar-sebentar lihat jam tangan dan memainkan ponselnya,” tutur
seorang pramuniaga yang mengaku bernama Vera.
Vera yang counter-nya tak jauh dari kafe tersebut
menambahkan, rata-rata pramuniaga di sana sudah hafal sepak terjang
para gigolo tersebut. Namun entah kenapa, sepertinya para lelaki
penjaja cinta ini terlihat tak terusik.
Menurutnya, pemandangan yang paling kentara adalah
tiap hari orangnya itu-itu saja, Sementara teman wanitanya sering
berganti-ganti. Yang patut dicatat, para gigolo tersebut suka sok
akrab dengan orang-orang yang bekerja di sekitar Cafe Ex, termasuk
dengan dirinya.
Sejauh ini gigolo-gigolo itu memang tidak pernah
menyebut apa tujuannya datang ke kafe tersebut. Namun demkian ada
beberapa diantaranya yang terang-terangan sambil setengah bercanda
mengatakan bahwa mereka sedang berburu wanita haus seks.
Berbeda dengan di CB Cafe PI yang rata-rata mejeng
bergerombol. Di kafe-kafe BM Plaza, rata-rata gigolonya memilih
‘operasi’ sendiri-sendiri. Jika ada yang bergerombol, kapasitasnya
sangat kecil. Entah apa alasannya, namun sumber Exo di sana
menyebutkan, umunya tante girang sudah paham keberadaan mereka.
Sehingga, tanpa bergerombol pun para gigolo itu sudah laku keras.
ARISAN MESUM
Gigolo identik dengan tante girang. Namun hal itu adalah persepsi
keliru. Sebab yang menjadi konsumennya ternyata tidak hanya para
tante girang, wanita-wanita hypersex atau istri simpanan pejabat,
namun mereka ternyata kerap melayani gay, dan kadang-kadang pasangan
suami istri yang ingin mendapatkan ‘variasi’ seks.
Seperti dituturkan Dedy
(29) --nama disamarkan--, gigolo yang ditemui Exo pada Selasa siang
(07/09), di salah satu rumah makan di bilangan Jakarta Pusat.
“Kadang saya diminta bercumbu dengan istrinya, sedangkan suaminya
asyik nonton,” tutur Dedy sambil menyeruput orange juice
kegemarannya.
Lebih jauh diakui Dedy,
profesi gigolo belakangan makin marak. Kondisi itu dipicu banyaknya
permintaan. Pangsa pasar mereka cukup tinggi. Seperti dilakukan
diatas, bahwa mereka tidak lagi sekedar dijadikan pemuas atau cuma
dijadikan lelaki simpanan wanita berduit.
Lebih berkembang
keberadaan gigolo juga sebagai pemijat hingga sebagai sarana
‘kursus’ seks. Hal itu tak lain lantaran masih banyak wanita, gay
atau para pasangan suami istri yang menganggap bahwa gigolo memiliki
tehnik bercinta yang prima. Di luar itu, dari segi stamina mereka
benar-benar maksimal.
Sesungguhnya gigolo
bukanlah barang baru dalam dunia prostitusi. Dulu mereka bekerja
secara sendiri-sendiri, tetapi kini ada semacam ‘organisasi’ yang
menaunginya, bahkan ada semacam tempat khusus melakukan kursus
seks.
Di beberapa titik seperti
di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, sudah ada tempat khusus untuk
menikmati jasa gigolo. Mereka seperti dirumahkan layaknya ‘gadis
panggilan’. Modus operandinya sama, melanyani pelanggan via telepon.
Untuk melebarkan sayap dan menjaring pelanggan, banyak ‘pengelola’
gigolo memasang iklan terselubung di media cetak dan di situs-situs
internet. Tentu promosi dari mulut ke mulut tetap utama.
Menyoal tarif, sangat
bervariasi. “Ada yang bayar saya Rp 500 ribu sekali kencan, kadang
pernah sampai sejuta. Tergantung pelayanan. Saya tidak menentukan
tarif karena pelanggan sudah tahu harga pasaran. Nah, jika pelayanan
lebih, mereka bayar lebih,” terang Dedy.
Gigolo yang menjaring
mangsa di tempat umum, menurut Dedy memasang tarif relatif. “Kalau
ceweknya masih sayik (muda dan menarik –red) dibayar cepek (Rp. 100
ribu-red) saya ambil,” tambah lelaki yang suka pilih-pilih pelanggan
ini.
Inilah keuntungan mangkal di tempat umum, mereka
bisa langsung membidik target. Jika order lewat telepon, mereka
masih ‘meraba-raba’. “Order lewat telepon tidak bisa memastikan
siapa oranganya, tapi untungnya nggak perlu repot cari kesana-kemari,”
ungkapnya.
Sebagai ‘barang dagangan’
gigolo tidak punya hak menolak perlakukan apa saja, termasuk
dijadikan ‘hadiah’ dalam arisan mesum. Arisan gigolo diikuti
beberapa wanita gatal dengan mengumpulkan sejumlah uang untuk
memboking satu atau lebih gigolo.
Kemudian mereka mengundi
dengan cara mengocok nama seperti arisan. Siapa yang beruntung bisa
‘menguasai’ gigolo yang sudah dibuking. Proses arisan itu biasanya
dilakukan di kediaman salah seorang pesertanya.*
>>>Baca juga:
GIGOLO CYBER MEDIA...... |