SUAMIKU ‘SINGA LAPAR’
Kepercayaan itu
mahal harganya. Pendapat itu ternyata benar, karena jalan hidupku
menjadi morat-marit setelah memberi kepercayaan kepada sahabatku,
Rita. Dia tega merebut kekasihku, Jamal yang sudah terlanjur
membuatku menjadi seorang pelacur di atas ranjang. Karena ulah
seorang sahabat itulah aku menikah dengan orang yang tidak kucintai,
termasuk dengan seorang maniak seks.
Kisah ini berawal ketika
aku dan sahabatku, Rita, seorang gadis berwajah manis bekerja di
salah satu perusahaan advertising ternama di Jakarta. Aku
mengatakannya sahabat karena sejak tahun 1992, kami menimba ilmu di
satu kampus. Setelah lulus aku sempat kehilangan jejak Rita. Hingga
pertengahan tahun 1996, aku kembali bertemu dengannya dan dia
menawarkan bergabung dengan perusahaan tempatnya bekerja. Karena
saat itu aku memang sedang menganggur, aku menerima tawaran itu
dengan antusias. Bahkan setelah itu Rita juga mengajakku tinggal
bersama di kontrakannya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan.
Pada dasarnya aku bisa
mengontrak atau kos sendiri, karena meskipun baru bekerja, orang
tuaku dengan senang hati pasti akan mengeluarkan dana untukku. Namun,
karena simpati dan empati yang diberikan Rita membuat aku luluh.
Agar tidak terjadi perselisihan, aku sengaja mengulurkan bantuan
untuk membayar lima puluh persen dari jumlah uang kontrakan. Hanya
saja, entah mengapa Rita tidak pernah mau menerimanya. Sebagai
gantinya, aku sering belanja dan memasak untuknya.
Hingga pada akhir Juni
1997, aku bertemu dengan Jamal, seorang klien di perusahaanku.
Dimulai dari saling lirik, kami pun mulai akrab. Dan sejak saat itu
Jamal mulai menebarkan sinyal-sinyal cintanya untukku. Dan sebagai
wanita lajang, terlebih Jamal adalah seorang pria yang cukup tampan,
aku pun menyambutnya dengan senang hati. Hari-hari selanjutnya
kujalani dengan perasaan berbunga-bunga. Aku menganggap Jamal telah
memberikan warna dalam hidupku.
Suatu sore, karena merasa
kurang sehat, aku minta ijin atasanku untuk pulang lebih awal dan
sang bos pun mengijinkan. Di tengah perjalanan aku menelepon Jamal
untuk datang ke kontrakan sambil mengatakan bahwa aku sedang tidak
enak badan. Dan tak lama setelah aku sampai di rumah, Jamal pun tiba.
Di dalam kamar aku rebahkan tubuhku di atas ranjang dan meminta
Jamal untuk memijat kepalaku yang sedikit pusing, kurebahkan
kepalaku pada bahunya.
Sambil bercerita, Jamal
mulai memijat kepalaku. Dan ketika melihat bajuku yang basah oleh
keringat, Jamal menyuruhku salin. Baru saja aku hendak berenjak dari
tempat tidur, tangannya langsung menarik bajuku, dia hendak
membukakannya. Tentu saja aku terkejut dengan ulahnya. “Jangan, Mas,”
ujarku saat itu. Namun Jamal tetap memaksanya dan aku pun hanya
terdiam.
Perlahan tangannya mulai
membuka kancing bajuku, sambil sesekali mengecup keningku. Mendapat
perlakuan seperti itu, mataku terpejam dan perasaanku langsung
menerawang ke alam biru. Karena ini adalah pengalaman pertamaku
dengan seorang pria. Melihat tak ada reaksi apa pun dariku, Jamal
mulai berani. Sambil memagut bibir tipisku yang merah, tangan-tangan
jahilnya menggerayangi sekujur tubuhku, khususnya pada bagian-bagian
sensitif yang membuatku menggelinjang.
Kemudian kedua tangannya
membuka kancing celanaku, sambil bibirnya tak henti melumat bibir
serta payudaraku. Antara sadar dan tidak, aku melarang Jamal
melakukan apa yang menjadi tujuannya. Dasar keras kepala, dengan
senyuman nakalnya, Jamal malah meneruskan aksinya. Setelah semua
pakaianku terlepas, Jamal pun melucuti pakaiannya. Selanjutnya hanya
suara erangan serta rintihan yang keluar dari mulutku yang sesekali
diiringi oleh desah nafasnya.
Setelah semuanya selesai,
aku hanya bisa menangis menyesali semua perbuatan yang baru saja
terjadi. Keperawananku yang seharusnya kupersembahkan pada sang
suami pada malam pertama, kini terenggut sudah. Sambil memelukku,
Jamal membisikan janji-janji manisnya, bahwa dia akan bertanggung
jawab dan akan menikahiku secepatnya. Mendengar ucapannya aku pun
merasa tenang.
Merasa yakin dengan apa
yang dikatakannya, hari-hari pun kami lewati layaknya suami istri.
Banyak hotel dan penginapan di Jakarta pernah kami jejaki untuk
menuntaskan birahi. Tidak terkecuali di rumah kontrakan. Tentu saja
hal itu kami lakukan ketika Rita tak ada di rumah. Kadang meskipun
ada, sepertinya Rita sudah mengerti. Tanpa disuruh dia langsung
meninggalkan kami berdua.
DIREBUT SAHABAT--Hingga
suatu hari, aku harus pulang ke Jambi karena ada kerabatku yang
meninggal dunia. Karena tidak sempat bertemu, aku coba mengabari
Jamal lewat telepon genggamnya, namun sedang tidak aktif. Akhirnya
aku titipkan nomor telepon rumahku di Jambi pada Rita. Selama satu
minggu di Jambi, tak sekalipun Jamal menghubungiku. Saat itu, aku
hanya berpikir, mungkin dia sedang sibuk kerja.
Hingga tiba di Jakarta, aku bertemu kembali dengan Jamal. Pada saat
itu juga dia langsung menyarankan agar aku pindah kontrakan.
Alasannya, kami merasa bebas dan privasiku juga tidak terganggu
Rita.
Aku menurut. Dengan bantuan Jamal, aku mendapatkan
kontrakan di daerah Margonda, Depok. Di kontrakan baru inilah aku
menjalani hidup berdua layaknya suami istri. Tapi belakangan aku
mulai curiga karena dia jarang pulang. Alasannya klasik, yang
lemburlah, menginap di rumah temanlah, dan segala macam alasan lain
yang kadang-kadang tidak masuk di akalku. Tentu saja aku semakin
curiga dan ingin mencari tahu.
Kecurigaanku akhirnya terbukti. Ketika sedang berbelanja di Blok
Mall, Jakarta Selatan, aku memergoki Jamal sedang bergandengan mesra
dengan seorang wanita. Bagaikan mendengar petir di siang bolong,
wanita itu ternyata adalah Rita. Dengan perasaan campur baur, aku
langsung berlari pulang. Bila boleh aku mengibaratkan, sebuah tong
besar pun tak akan sanggup menampung air mataku saat itu. Dan ketika
malam harinya Jamal pun tiba aku langsung menanyakan ‘adegan’nya
dengan Rita tadi siang.
Dengan mimik tak berdosa,
Jamal menjelaskan, hubungannya dengan Rita sudah berlangsung sejak
aku di Jambi. Dari pengakuan Jamal, sebenarnya Rita telah jatuh hati
padanya sejak pertama bertemu di kantor. Namun karena saat itu Rita
merasa tidak enak, dia hanya memendam perasaan.
Sebaliknya, ternyata Jamal
pun memililiki perasaan sama terhadap Rita, hingga ketika aku berada
di Jambi, kesempatan itu digunakannya untuk mendekati Rita. Lebih
gila lagi, dalam waktu dekat mereka bahkan akan melangsungkan
pernikahan. Tak sanggup menerima kenyataan itu, aku langsung tak
sadarkan diri.
Ketika sadar, aku
mendapatkan diriku di rumah sakit yang semua biayanya sudah
ditanggung Jamal, namun dia sudah pergi entah kemana. Menyadari hal
itu, air mataku kembali tumpah. Bagaimana tidak, setiap aku
mengingat bahwa dia telah menjadikan aku sebagai pemuas nafsu
ranjangnya, dia pun baru mengakui bahwa wanita yang selama ini ada
di hatinya adalah Rita, sahabatku sendiri.
Setelah dua tahun berlalu
kepedihan itu tak juga lenyap. Berkali-kali aku menghibur diri
dengan mengatakan bahwa Jamal bukanlah jodohku, namun rasa marah itu
tak mampu kuredam. Hingga pada tahun 1999 aku tidak sanggup lagi
menahan perasaan dan desakan orangtua agar aku menikah.
Dengan perasaan hambar aku
menerima perjodohan dari mereka. Perhelatan besar dilangsungkan di
Jambi. Dan bisa ditebak, pernikahanku dengan Dojo yang sebenarnya
cukup tampan itu hanya berumur lima bulan.
KASAR DI RANJANG--Kemarahan orang tua tidak
ku gubris. Aku kembali meninggalkan kampung halaman dan mencari
pekerjaan lain di Jakarta. Dan awal tahun 2000 aku berjumpa dengan
seorang pria asal Kanada di sebuah pusat belanja di Jakarta Selatan.
Namanya Vincent. Entah
mengapa, aku merasa nyaman ketika berada di sampingnya. Tanpa restu
orangtua, aku akhirnya menikah dengan Vincent setelah dua bulan
tinggal serumah di apartemennya di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.
Awalnya aku tidak tahu
bila perilaku Vincent di ranjang persis seperti binatang. Bagaimana
tidak, ketika sudah melucuti pakaianku, dia kerap terlihat menggeram
seperti singa lapar. Selanjutnya dia melumat bibirku dengan gigitan.
Tidak hanya sampai di sana,
puting payudaraku pun kerap jadi santapan empuknya. Ulah gilanya itu
sering membuatku histeris. Entah mengapa, setelah ‘magma’nya
bertebaran di mana-mana, dia pun kembali minta maaf, bahkan sambil
berlutut. Sebaliknya, setelah mendengar permintaan maafnya, aku
kembali luluh dan bersikap wajar. Padahal tubuhku sudah dibuatnya
hancur.
Namun akhirnya, tepat
pertengahan 2001 aku tak mampu lagi bertahan. Dengan segala risiko
yang bisa saja datang aku pergi meninggalkan Vincent. Tentu saja
setelah sebelumnya aku berhemat dan menabung dari uang belanja yang
dia berikan. Dan yang paling kuandalkan adalah deposito sebanyak Rp.
50 juta yang pernah dia berikan padaku. Mungkin dengan uang yang
tidak seberapa itu aku kembali bisa merajut hati dan perasaanku.
Meskipun sempat merasakan
nikmatnya kebersamaan dengan Vincent, toh aku tidak mampu menerima
perilaku ranjangnya. Dan semua itu berawal dari kekecewaanku
terhadap Jamal yang tega meninggalkan aku setelah selama
berbulan-bulan menjadikan aku pelacurnya.
Dan selanjutnya dia pergi
dengan sahabat karibku. Hingga sekarang rasa pedih itu tetap belum
sirna. Aku tidak tahu apakah perceraianku dengan Dojo juga karena
rasa marah terhadap Jamal. Dan pelarianku dari Vincet juga karena
rasa kecewaku dengan sikap Jamal. Entahlah. Yang jelas, sebagai
wanita normal, aku masih ingin mencari pasangan hidup. Bukan pria
seperti Jamal, Dojo, terlebih Vincent. *Diceritakan Mila di
Kuningan kepada budi
|