Halaman legenda |
Legenda Gunung Bromo
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dahulu ketika dewa-dewa
masih senang turun ke dunia, kerajaan Majapahit mengalami serangan
dari berbagai daerah. Penduduk bingung mencari tempat pengungsian,
demikian juga dengan dewa-dewa. Pada saat itulah dewa mulai pergi
menuju ke sebuah tempat, disekitar Gunung Bromo. Gunung Bromo masih
tenang, tegak diselimuti kabut putih. Dewa-dewa yang mendatangi tempat
di sekitar Gunung Bromo, bersemayam di lereng Gunung Pananjakan. Di
tempat itulah dapat terlihat matahari terbit dari Timur dan terbenam
di sebelah Barat.
Di sekitar Gunung Pananjakan, tempat dewa-dewa bersemayam, terdapat
pula tempat pertapa. Pertapa tersebut kerjanya tiap hari hanyalah
memuja dan mengheningkan cipta. Suatu ketika hari yang berbahagia,
istri dari pertapa itu melahirkan seorang anak laki-laki. Wajahnya
tampan, cahayanya terang. Benar-benar anak yang lahir dari titisan
jiwa yang suci. Sejak dilahirkan, anak tersebut menampakkan kesehatan
dan kekuatan yang luar biasa. Saat ia lahir, anak pertapa tersebut
sudah dapat berteriak. Genggaman tangannya sangat erat, tendangan
kakinya pun kuat. Tidak seperti anak-anak lain. Bayi tersebut dinamai
Joko Seger, yang artinya Joko yang sehat dan kuat.
Di tempat sekitar Gunung Pananjakan, pada waktu itu ada seorang anak
perempuan yang lahir dari titisan dewa. Wajahnya cantik dan elok. Dia
satu-satunya anak yang paling cantik di tempat itu. Waktu dilahirkan,
anak itu tidak layaknya bayi lahir. Ia diam, tidak menangis sewaktu
pertama kali menghirup udara. Bayi itu begitu tenang, lahir tanpa
menangis dari rahim ibunya. Maka oleh orang tuanya, bayi itu dinamai
Rara Anteng.
Dari hari ke hari tubuh Rara Anteng tumbuh menjadi besar. Garis-garis
kecantikan nampak jelas diwajahnya. Termasyurlah Rara Anteng sampai ke
berbagai tempat. Banyak putera raja melamarnya. Namun pinangan itu
ditolaknya, karena Rara Anteng sudah terpikat hatinya kepada Joko
Seger. Suatu hari Rara Anteng dipinang oleh seorang pembajak yang
terkenal sakti dan kuat. Pembajak tersebut terkenal sangat jahat. Rara
Anteng yang terkenal halus perasaannya tidak berani menolak begitu
saja kepada pelamar yang sakti. Maka ia minta supaya dibuatkan lautan
di tengah-tengah gunung. Dengan permintaan yang aneh, dianggapnya
pelamar sakti itu tidak akan memenuhi permintaannya. Lautan yang
diminta itu harus dibuat dalam waktu satu malam, yaitu diawali saat
matahari terbenam hingga selesai ketika matahari terbit. Disanggupinya
permintaan Rara Anteng tersebut.
Pelamar sakti tadi memulai mengerjakan lautan dengan alat sebuah
tempurung (batok kelapa) dan pekerjaan itu hampir selesai. Melihat
kenyataan demikian, hati Rara Anteng mulai gelisah. Bagaimana cara
menggagalkan lautan yang sedang dikerjakan oleh Pelamar itu? Rara
Anteng merenungi nasibnya, ia tidak bisa hidup bersuamikan orang yang
tidak ia cintai. Kemudian ia berusaha menenangkan dirinya. Tiba-tiba
timbul niat untuk menggagalkan pekerjaan itu.
Rara Anteng mulai menumbuk padi di tengah malam. Pelan-pelan suara
tumbukan dan gesekan alu membangunkan ayam-ayam yang sedang tidur.
Kokok ayam pun mulai bersahutan, seolah-olah fajar telah tiba, tetapi
penduduk belum mulai dengan kegiatan pagi.
Pelamar itu mendengar ayam-ayam berkokok, tetapi benang putih
disebelah timur belum juga nampak. Berarti fajar datang sebelum
waktunya. Sesudah itu dia merenungi nasib sialnya. Tempurung (Batok
kelapa) yang dipakai sebagai alat mengeruk pasir itu dilemparkannya
dan jatuh tertelungkup di samping Gunung Bromo dan berubah menjadi
sebuah gunung yang dinamakan Gunung Batok.
Dengan kegagalan Pembajak membuat lautan di tengah-tengah Gunung Bromo,
suka citalah hati Rara Anteng. Ia melanjutkan hubungan dengan
kekasihnya, Joko Seger. Kemudian hari Rara Anteng dan Joko Seger
sebagai pasangan suami istri yang bahagia, karena keduanya saling
mengasihi. Pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger membangun pemukiman dan
kemudian memerintah di kawasan Tengger dengan sebutan Purbowasesa
Mangkurat Ing Tengger, maksudnya "Penguasa Tengger Yang Budiman". Nama
Tengger diambil dari akhir suku kata nama Rara Anteng dan Jaka Seger.
Kata Tengger berarti juga Tenggering Budi Luhur atau pengenalan moral
tinggi, simbol perdamaian abadi.
Dari waktu ke waktu masyarakat Tengger hidup makmur dan damai, namun
sang penguasa tidaklah merasa bahagia, karena setelah beberapa lama
pasangan Rara Anteng dan Jaka Tengger berumahtangga belum juga
dikaruniai keturunan. Kemudian diputuskanlah untuk naik ke puncak
gunung Bromo untuk bersemedi dengan penuh kepercayaan kepada Yang Maha
Kuasa agar karuniai keturunan.
Tiba-tiba ada suara gaib yang mengatakan bahwa semedi mereka akan
terkabul namun dengan syarat bila telah mendapatkan keturunan, anak
yang bungsu harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo, Pasangan Roro
Anteng dan Jaka Seger menyanggupinya dan kemudian didapatkannya 25
orang putra-putri, namun naluri orang tua tetaplah tidak tega bila
kehilangan putra-putrinya. Pendek kata pasangan Rara Anteng dan Jaka
Seger ingkar janji, Dewa menjadi marah dengan mengancam akan
menimpakan malapetaka, kemudian terjadilah prahara keadaan menjadi
gelap gulita kawah Gunung Bromo menyemburkan api.
Kesuma anak bungsunya lenyap dari pandangan terjilat api dan masuk ke
kawah Bromo, bersamaan hilangnya Kesuma terdengarlah suara gaib "Saudara-saudaraku
yang kucintai, aku telah dikorbankan oleh orang tua kita dan Sang
Hyang Widi menyelamatkan kalian semua. Hiduplah damai dan tenteram,
sembahlah Sang Hyang Widi. Aku ingatkan agar kalian setiap bulan
Kasada pada hari ke-14 mengadakan sesaji kepada Sang Hyang Widi di
kawah Gunung Bromo. Kebiasaan ini diikuti secara turun temurun oleh
masyarakat Tengger dan setiap tahun diadakan upacara Kasada di Poten
lautan pasir dan kawah Gunung Bromo.
Disamping pemandangan alam yang indah Gn.Bromo juga memiliki daya
tarik yang luar biasa karena tradisi masyarakat tengger yang tetap
berpegang teguh pada adat istiadat dan budaya yang menjadi pedoman
hidupnya. Upacara Kasada terkenal hingga manca negara dan selalu ramai
di hadiri turis luar negeri maupun lokal. Suku Tengger berjumlah
sekitar 40 ribu (1985) tinggal di lereng G.Semeru dan di sekitar
kaldera Tengger. Mereka sangat dihormati karena mereka hidup jujur,
tidak iri hati, dan tidak suka bertengkar. Masyarakat Tengger adalah
keturunan Roro Anteng (putri raja Majapahit) dan Joko Seger (putera
seorang brahmana). Mereka sangat menjunjung tinggi persamaan,
demokrasi, dan kehidupan bermasyarakat. Bahasa daerah yang digunakan
Masyarakat Tengger dalam kehidupan sehari-hari adalah bahasa Jawa
Tengger, yakni bahasa Jawa Kuno. Mereka tidak menggunakan tingkatan
bahasa, berbeda dengan bahasa Jawa yang dipakai pada umumnya memiliki
beberapa tingkatan.
Tengger dikenal sebagai tanah hila-hila (suci) sejak jaman Majapahit,
para penghuninya dianggap sebagai abdi dibidang keagamaan dari Sang
Hyang Widi Wasa. Hingga kini Masyarakat masih mewarisi tradisi Hindu
sejak jaman kejayaan Majapahit. Agama Hindu di Bali dan di Tengger
pada dasarnya sama yaitu Hindu Dharma, tetapi Masyarakat Tengger tidak
mengenal kasta, dan masih menganut tradisi yang pernah berkembang pada
jaman Majapahit.
Tidak seperti halnya masyarakat Hindu di Bali, Masyarakat Tengger
tidak memiliki Istana, pustaka, maupun kekayaan seni-budaya
tradisional, meski memiliki beberapa obyek penting semacam lonceng
perunggu dan sebuah padasan di lereng bagian utara Tengger yang telah
menjadi puing. Namun demikian mereka kaya akan kepercayaan dan upacara
adat, diantaranya ialah:
Upacara Karo
Hari raya terbesar masyarakat Tengger adalah Upacara Karo atau Hari
Raya Karo. Masyarakat menyambutnya dengan penuh suka cita, mereka
mengenakan pakaian baru kadang membeli pakaian baru hingga 2-5 pasang,
perabotpun juga baru. Makanan dan minumanpun melimpah.
Tujuan penyelenggaraan upacara karo adalah: Mengadakan pemujaan
terhadap Sang Hyang Widi Wasa dan menghormati leluhurnya. Memperingati
asal usul manusia. Untuk kembali pada kesucian. Untuk memusnahkan
angkara murka.
Upacara Kapat
Upacara Kapat jatuh pada bulan keempat (papat) menurut tahun saka
disebut pujan kapat, bertujuan untuk memohon berkah keselamatan serta
selamat kiblat, yaitu pemujaan terhadap arah mata angin.
Upacara Kawulu
Upacara ini jatuh pada bulan kedelapan (wolu) tahun saka. Pujan Kawolu
sebagai penutupan megeng. Masyarakat mengirimkan sesaji ke kepala desa,
dengan tujuan untuk keselamatan bumi, air, api, angin, matahari, bulan
dan bintang.
Upacara
Kasanga
Upacara ini jatuh pada bulan sembilan (sanga) tahun saka. Masyarakat
berkeliling desa dengan membunyikan kentongan dan membawa obor.
Upacara diawali oleh para wanita yang mengantarkan sesaji ke rumah
kepala desa, untuk dimantrai oleh pendeta. Selanjutnya pendeta dan
para sesepuh desa membentuk barisan, berjalan mengelilingi desa.
Tujuan upacara ini adalah memohon kepada Sang Hyang Widi Wasa untuk
keselamatan Masyarakat Tengger.
Upacara Kasada
Upacara ini
diadakan pada saat purnama bulan Kasada (ke dua belas) tahun saka,
upacara ini disebut juga sebagai Hari Raya Kurban. Biasanya lima hari
sebelum upacara Yadnya Kasada, diadakan berbagai tontonan seperti;
tari-tarian, balapan kuda di lautan pasir, jalan santai, pameran.
Sekitar pukul 05.00 pendeta dari masing-masing desa, serta masyarakat
Tengger mendaki Gn.Bromo untuk melempar Kurban (Sesaji) ke Kawah
Gn.Bromo. Setelah pendeta melempar Ongkeknya (tempat sesaji) baru
diikuti oleh masyarakat lainnya.
Upacara
Unan-Unan
Upacara ini
diadakan hanya setiap lima tahun sekali. Tujuan dari unan-unan adalah
untuk mengadakan penghormatan terhadap Roh Leluhur. Dalam upacara ini
selalu diadakan penyembelihan binatang ternak yaitu Kerbau. Kepala
Kerbau dan kulitnya diletakkan diatas ancak besar yang terbuat dari
bambu, diarak ke sanggar pamujan.